Yang Dibunuh karena Tonggek Seorang nelayan dibunuh rekan-rekannya karena suka "menggauli" teman-temannya itu. Mayatnya dibuang ke laut. TAK ada yang peduli terhadap jerit tangis Halomoan Hutagaol, 19 tahun. Tak juga ada yang bisa menolong karena pembantaian itu terjadi di jermal, bangunan yang didirikan di laut untuk menjaring ikan. Ketujuh temannya, tanpa kasihan, bergantian menghajarnya dengan kayu beroti. Nyawanya pun lepas dari badan, begitu salah seorang pengeroyoknya menghantamkan sebuah batu bata ke bagian belakang kepalanya. Tubuh korban kemudian dibenamkan para pembantai itu ke laut perairan Betingbawal, Tanjungtiram, Asahan, Sumatera Utara. Sebelumnya mereka memberati tubuh Halomoan dengan karung berisi 26 batang batu bata. Agar lebih sempurna, pemimpin pekerja di jermal itu, Sugito, 31 tahun, yang juga pelaku, siangnya melapor ke Polsek Labuhanruku, Asahan. "Teman kami Halomoan hilang ditelan ombak," kata Sugito kepada Kapolsek setempat, Lettu. P.O. Sianturi. Bersama anak buahnya, Sianturi mencari Halomoan dalam radius dua kilometer di sekitar jermal itu. Tapi korban tak ditemukan, sementara Sugito diminta polisi tetap tinggal di Polsek tersebut. Baru dua hari kemudian, pada 26 Januari lalu, mayat itu ditemukan patroli TNI-AL, terapung-apung 100 meter dari jermal tersebut. Mayat yang sudah gembung, berikut pemberatnya, diserahkan kepada Sianturi. Tentu saja Sianturi tak percaya bahwa korban mengalami kecelakaan. Ia mencurigai Sugito. Tapi pimpinan jermal ini mengaku tak tahu bahwa anak buahnya yang sudah lima tahun bekerja bersamanya itu terbunuh. Polisi tak kehilangan akal. Kepada anak buah Sugito, Sianturi "jual kecap" bahwa pimpinan mereka telah mengaku ikut membunuh Halomoan. Keenam anak buah Sugito langsung terjebak. "Saya cuma memegang tangannya saja. Sedang yang memukulinya Siagian," kata salah seorang di antara mereka. Berkat taktik itu, dengan gampang Sianturi meringkus enam orang anak buah Sugito, di antaranya Mulya Siagian, 16 tahun -- bukan nama sebenarnya. Sugito pun tak bisa lagi mengelak ketika dikonfrontasi dengan anak buahnya. "Kami memang bermaksud menghabisinya," kata Sugito. Motifnya, menurut Sugito, semata-mata karena kelakuan Halomoan sendiri yang tak menyenangkan kawan-kawannya. "Pantat kami sering dielus-elusnya," kata seorang tersangka, Paimin, 16 tahun -- juga bukan nama sebenarnya -- kepada TEMPO. Siagian, yang kebetulan berpantat tonggek, bahkan mengaku sudah empat kali "digemblaki" Halomoan. Awal Desember lalu, pertama kalinya Siagian, yang kebetulan tidur hanya bercelana dalam, diganggu Halomoan. "Saya diciuminya," kata Siagian, yang berkulit kuning langsat itu, kepada TEMPO. Tak sekadar begitu, Halomoan malah "menggauli" rekannya itu. "Saya pasrah, takut, karena badannya besar," kata Siagian. Akibatnya, menurut Siagian, tubuhnya sakit, dan bila buang air besar kotorannya bercampur darah. Perbuatan Halomoan itu dibeberkan Siagian kepada Sugito dan teman-temannya. Sugito menasihati Halomoan supaya menghentikan tingkahnya. Tapi dua pekan kemudian Halomoan kembali "menyebadani"' Siagian. Kejadian itu sempat diketahui rekan-rekan pekerja yang lain. "Saya ditertawakan dan diejek, hingga saya malu," kata Siagian. Toh Halomoan masih tak kapok. Pada kali yang terakhir, sekitar pukul 11 malam, 23 Januari, Siagian tak tahan lagi. Ia membangunkan Sugito, yang tidur di kamar sendiri. "Aku tak tahan lagi, Bang. Kita habisi saja dia," kata Siagian kepada Sugito. Sugito sependapat. "Bangunkan semua temanmu," perintah Sugito kepada Siagian. Bersama teman-temannya, Sugito dan Siagian menarik Halomoan ke pelataran depan jermal. Di situ eksekusi berlangsung. "Mereka memang benci kepada Halomoan karena dia punya kelainan seks," kata Kapolres Asahan, Letkol. Sutomo Tj.A., kepada TEMPO. MS dan Sarluhut Napitupulu (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini