Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan bahwa pola tindakan polisi dalam menangani berbagai kasus menunjukkan kemiripan dengan pendekatan represif di masa Orde Baru. Ia menyoroti pola penggunaan kekuatan yang cenderung arogan, sewenang-wenang, dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi kami melihat pola bagaimana polisi bertindak itu seperti tentara di zaman Orde Baru, sudah semena-mena. Mereka seperti penguasa, dan tidak punya aturan," kata Isnur kepada Tempo, Kamis, 28 November 2024. Pandangan tersebut, menurut Isnur, mengacu pada berbagai kasus penanganan aksi demonstrasi dan insiden kekerasan oleh polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pola ini, lanjut dia, terlihat jelas dari bagaimana polisi menangani protes damai. Ia menyebut penggunaan gas air mata, water cannon, dan pentungan sering kali dilakukan tanpa alasan yang memadai.
“Brimob turun ke lapangan bahkan sebelum ada situasi yang benar-benar darurat. Padahal, sesuai aturan, Brimob hanya boleh dikerahkan jika situasi sudah chaos atau melampaui kendali satuan kepolisian biasa,” ujarnya.
Dia pun mengkritik kepolisian yang kerap membawa senjata dan peralatan anti huru-hara untuk menghadapi aksi damai. “Belum ada kekacauan apa pun, tetapi perlengkapan untuk menghadapi kerusuhan sudah disiapkan. Ini menunjukkan pendekatan yang tidak demokratis,” katanya.
Di sisi lain, dia menyebut bahwa budaya keras dan tidak demokratis di institusi kepolisian turut memperparah masalah. Dia berpandangan, kultur di dalam kepolisian sering kali tidak memberi ruang untuk pendekatan yang humanis. Ditambah dengan kepemimpinan yang korup dan tidak memberikan teladan sehingga hasilnya adalah ketimpangan dan arogansi.
Menurut Isnur, reformasi institusional merupakan upaya mendesak agar kepolisian tidak kembali ke pola lama yang represif. Ia menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap regulasi, pendidikan, dan mekanisme pengawasan di tubuh kepolisian. Sebab jika pola seperti ini terus dibiarkan, kejadian tersebut akan terus berulang.
Penembakan siswa SMK oleh personel Polrestabes Semarang, Aipda Robig Zaenudin, terjadi pada Ahad, 24 November 2024. Korban tewas dalam insiden ini adalah GRO (17), siswa kelas IX Teknik Mesin di SMK Negeri 4 Semarang.
Menurut keterangan resmi Polrestabes Semarang, peluru mengenai pinggul korban. GRO sempat dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang untuk mendapatkan perawatan. Namun, nyawanya tidak dapat diselamatkan. Jenazah korban dimakamkan pada Ahad sore di Sragen, Jawa Tengah.
Selain GRO, dua remaja lain turut menjadi korban penembakan, tetapi keduanya berhasil selamat meski mengalami luka. Dalam konferensi pers, polisi menunjukkan sejumlah senjata tajam, seperti golok dan celurit, yang diduga digunakan para remaja itu untuk tawuran.
Polrestabes Semarang telah memeriksa 12 saksi pada peristiwa tersebut, sebagian besar masih berusia remaja. Dari hasil pemeriksaan, satu orang, yakni MPL (20), ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tawuran tersebut.