Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Yusril Sebut Tragedi Mei 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat, Bivitri Susanti: Mencoba Memutihkan Dosa

Bivitri sebut pernyataan Yusril strategi politik untuk menghilangkan kesan pelanggaran HAM berat benar-benar terjadi, terutama tragedi Mei 1998.

22 Oktober 2024 | 11.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kembali menggelar aksi Kamisan ke-827 merefleksi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 79 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 15 Juli 2024. Hingga kini mereka terus bersuara mencari keadilan bagi para korban dan keluarga Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan korban pelanggaran HAM lainnya, menuntut diwujudkannya keadilan dan penuhi hak-hak korban. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai pernyataan Yusril Ihza Mahendra soal peristiwa tragedi Mei 1998 tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat merupakan upaya klasik untuk menutupi atau "memutihkan" dosa-dosa masa lalu. Bivitri mengungkapkan, tindakan ini sering dilakukan oleh pihak yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dengan menggunakan narasi yang menyesatkan untuk mempengaruhi persepsi publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ini tipikal, bagaimana biasanya para pelanggar HAM dan kelompoknya mencoba untuk memutihkan dosa-dosa mereka,” ujar Bivitri Susanti kepada Tempo saat dihubungi Senin, 21 Oktober 2024.

Menurut dia, pernyataan yang dibuat oleh Yusril sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan yang baru adalah bagian dari strategi politik untuk menghilangkan kesan bahwa pelanggaran HAM berat benar-benar terjadi, terutama yang berkaitan dengan tragedi Mei 1998.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akademikus Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera itu berpandangan, pernyataan Yusril sebagai upaya sistematis untuk membentuk narasi bahwa sejarah kelam itu tak pernah ada. "Biasanya, orang yang punya kekuasaan akan bilang bahwa 'oh enggak ada itu pelanggaran HAM berat.' Kemudian itu yang akan menjadi kepercayaan atau persepsi publik," tutur dia.

Bivitri menambahkan bahwa strategi seperti ini umum terjadi di banyak negara. Pihak yang terlibat atau yang merasa terancam dengan penyelidikan pelanggaran HAM biasanya akan berusaha menutupi atau meminimalkan fakta. Mereka mencoba membangun narasi bahwa peristiwa-peristiwa tersebut tidak termasuk pelanggaran HAM berat, sehingga masyarakat tidak lagi menuntut keadilan.

Ia memperingatkan bahwa narasi yang dibangun melalui pernyataan politik tanpa dasar hukum ini sangat berbahaya, karena dapat mempengaruhi opini publik dan menghambat upaya penegakan keadilan. Pernyataan semacam itu seharusnya dibantah dengan tegas dan diproses melalui jalur hukum yang sah.

"Yang namanya pelanggaran HAM berat itu harus diselesaikan melalui pengadilan hak asasi manusia, bukan pernyataan politik," katanya.

Pernyataan Yusril bahwa pelanggaran HAM berat tidak terjadi dalam beberapa dekade terakhir adalah salah satu contoh dari pola tersebut.

Dengan menyebutkan bahwa pelanggaran HAM berat hanya mencakup genosida atau ethnic cleansing, Yusril mengabaikan sejumlah peristiwa kekerasan yang telah diakui sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Beberapa di antaranya adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, serta peristiwa Trisakti dan Semanggi pada 1998-1999.

Pernyataan itu disampaikan Yusril usai pelantikan sebagai menko bidang hukum pada Senin siang. “Pelanggaran HAM berat itu kan genosida, ethnic cleansing,” ujar Yusril seusai dilantik sebagai di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin. “Mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal kemerdekaan kita 1960-an.”

Menurut dia, tidak semua kejahatan HAM dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.

Padahal, Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo mengakui adanya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Jokowi mengakui hal itu setelah membaca laporan dari tim yang dibentuknya. "Saya telah membaca dengan saksama dari tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat," kata Jokowi dalam konferensi pers yang dilihat dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu, 11 Januari 2023. Bahkan, sebagai kepala negara, Jokowi juga menyesalkan adanya peristiwa tersebut. 

Bivitri pun menggarisbawahi bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tidak boleh hanya berhenti pada pernyataan politik, melainkan harus dituntaskan melalui mekanisme hukum yang sah. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah mengatur dengan jelas bahwa pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk peristiwa kekerasan yang terjadi pada 1998.

Upaya untuk menutupi atau meminimalkan kejahatan ini, lanjut Bivitri, tidak akan mengubah kenyataan bahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi dan harus diselesaikan. Penegakan hukum dan keadilan bagi para korban merupakan langkah penting yang tidak boleh diabaikan, meskipun ada upaya dari pihak-pihak tertentu untuk mengaburkan fakta.

“Pernyataan ini tidak bisa menghapus fakta bahwa yang namanya pelanggaran HAM berat harus diadili di pengadilan HAM. Itu mekanisme yang sah dan harus dilakukan,” tutup Bivitri.

Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Naik Setelah 12 Tahun, Ini Daftar Kenaikan Gaji Hakim

Intan Setiawanty

Intan Setiawanty

Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2023. Alumni Program Studi Sastra Prancis Universitas Indonesia ini menulis berita hiburan, khususnya musik dan selebritas, pendidikan, dan hukum kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus