Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ambisi Kekuasaan Erdogan

Presiden Erdogan gencar berkampanye saat pemilu parlemen. Berambisi mengubah Turki dari sistem parlementer menjadi presidensial.

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yenikapi Square, Istanbul, menjadi lautan manusia pada Sabtu dua pekan lalu. Ratusan ribu orang mengibarkan bendera berlambang bulan sabit, bendera Turki, membuat area itu memerah. Jet-jet tempur berparade di angkasa dan mengeluarkan asap, yang juga merah. Di panggung raksasa, 600 anggota marching band membuat peringatan 562 tahun penaklukan Konstantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah itu semakin riuh.

Meski demikian, seperti dilaporkan The New York Times, orang yang berdasarkan konstitusi Turki paling berkuasa, yaitu Perdana Menteri Ahmet Davutoglu, hanya berpidato singkat. Sebaliknya, Presiden Recep Tayyip Erdogan lebih dominan berbicara di panggung. Memulai orasi dengan kutipan ayat Al-Quran, pria 61 tahun itu membuat pendukungnya meneteskan air mata. Erdogan mengisyaratkan tantangan kepada kalangan sekuler yang tak suka pada pemerintahnya. "Kita tidak akan memberi jalan kepada mereka yang menentang seruan kita untuk beribadah," ujarnya, disambut pekik takbir oleh massa.

Secara tersirat, Erdogan mengkampanyekan partainya, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), menjelang pemilihan umum parlemen dengan 50 juta pemilih pada Ahad pekan ini. "Saya ada di jarak yang sama dengan semua partai, tapi tentu saja ada partai yang dekat dengan hati saya," kata Erdogan, seperti dilaporkan ABC News, Rabu pekan lalu. Padahal, menurut konstitusi, presiden harus bersikap netral.

Erdogan berbicara lantang tentang perubahan yang dibuat AKP selama 12 tahun, yaitu menggeser rezim sekuler, membuka keran kebebasan beragama, dan menyingkirkan militer dari politik. "Memutar balik nasib negara ini selama 12 tahun adalah penaklukan. Berhasil melewati titik balik menuju Turki yang baru adalah penaklukan. Jika Tuhan menghendaki, 7 Juni akan jadi penaklukan," katanya.

Sebenarnya jajak pendapat menunjukkan AKP bisa menang mudah dalam pemilu parlemen. Sekarang saja AKP sudah menguasai 312 kursi di parlemen. Namun partai Islam ini harus menguasai dua pertiga parlemen atau 367 dari total 550 kursi untuk mencapai tujuannya: menulis ulang konstitusi agar sistem parlementer Turki berubah menjadi sistem presidensial. Jika tidak meraup jumlah itu, AKP butuh 330 kursi untuk menggelar referendum guna merombak konstitusi. Perombakan konstitusi langsung atau lewat referendum hanya berselisih 37 suara.

Upaya Erdogan untuk semakin menancapkan kekuasaannya itu dikritik sebagai bentuk Putinisasi-mengacu pada Presiden Rusia Vladimir Putin yang terkenal otoriter. Sejak Erdogan terpilih pada 2002, dukungan rakyat terhadap dia terus menurun. Di antara yang dianggap sebagai penyebabnya adalah AKP mengendalikan birokrasi serta membatasi media massa dan Internet. Salah satu bentuk penyalahgunaan media yang dicatat lembaga pengawas televisi Turki: Turkish TV menyiarkan secara langsung kampanye Erdogan selama lebih dari 44 jam dalam sepekan.

Erdogan dianggap menggunakan periode akhir kekuasaannya untuk mengekang institusi penting negara, dari pengadilan konstitusi, parlemen, bank sentral, sampai kejaksaan. Ada pula pelajar yang dihukum karena menghina presiden. Citranya yang membawa Turki ke era pembangunan dan pertumbuhan ekonomi memudar. "Sekarang sudah seperti sistem presidensial. Tinggal apakah dia (Erdogan) bisa mengesahkannya," ucap Cengiz Candar, pengamat politik Turki, kepada The Guardian.

Erdogan juga disebut bergaya hidup mewah dengan kediaman presiden yang memiliki 1.150 kamar. Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi sekaligus Ketua Partai Rakyat Republik (CHP), mengatakan dudukan toilet di kediaman presiden berlapis emas. Tapi Erdogan membantah dan berjanji mundur jika toilet emas ditemukan. Melalui pengacaranya, Erdogan menuntut Kilicdaroglu 100 ribu lira atau sekitar Rp 494 juta atas tuduhan memfitnah.

Selain itu, ada kekuatan politik yang berpotensi menghadang dominasi AKP, yaitu Partai Demokrasi Rakyat (HDP). Jika bisa mencapai ambang batas jumlah suara, yaitu 10 persen, HDP bisa merebut 50 kursi di parlemen. Ini berarti tak akan ada satu pun partai yang bisa membentuk pemerintah tanpa berkoalisi. "Faktor penting dalam pemilu ini adalah HDP," kata Behlul Okzan, profesor ilmu hubungan internasional Universitas Marmara, Istanbul, seperti dilansir The Washington Times, Senin pekan lalu.

Meski belum pernah masuk parlemen, partai pendukung etnis Kurdi itu mulai menuai simpati. HDP mengajak kalangan muda memprotes kontrol berlebihan Erdogan pada 2013. Isu yang diangkat antara lain lingkungan, kesetaraan gender, dan keberpihakan pada kaum homoseksual.

Ziya Pir, salah satu calon anggota parlemen dari HDP, mendapat sambutan hangat dari warga Kurdi dan warga asli Turki saat berkampanye. Pir mengatakan, walaupun bukan etnis Kurdi, dia bergabung dengan HDP karena partai ini untuk semua warga Turki. "Ini bukan partai Kurdi, ini partai Turki. Kami ingin Turki menjadi tempat semua orang bisa menemukan diri," katanya kepada BBC. Dia membantah tudingan keterkaitan dengan Partai Pekerja Kurdi (PKK), meski pamannya, Kemal, adalah salah satu pendiri. "Saya tidak sama dengan paman saya." PKK adalah organisasi yang dicap teroris oleh Turki, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Di samping itu, tak disangka, pemimpin HDP, Selahattin Demirtas, menjadi bintang kampanye. Mantan pengacara hak asasi manusia berusia 42 tahun ini muda, ramah, persuasif, dan memukau di televisi. Tidak hanya didukung etnis Kurdi, Demirtas menuai simpati dari golongan kiri dan liberal. Kadir Karapinar, pemilik pabrik sepatu di Istanbul, salah seorang warga yang terpesona. "Demirtas politikus yang baik. Saya suka ucapannya," katanya.

Warga lain, Firat Inci, menyatakan hal senada. Pengusaha restoran di Siirt di kawasan selatan Turki ini selalu mendukung AKP dan Erdogan. Tapi kini, untuk pertama kali, dia akan beralih mendukung HDP. Dia menyatakan tak lagi nyaman dengan sikap Erdogan. "Dia mabuk kekuasaan. Sistem presidensial tidak baik untuk Turki," ujar pria 32 tahun ini.

Bila HDP gagal, perolehan suara akan dialihkan ke partai kedua pendulang suara terbanyak di tiap provinsi, yang tak lain adalah AKP. Bukan hanya itu, sebagai etnis minoritas terbesar di Turki, Kurdi harus rela kembali memperjuangkan haknya di luar parlemen. Itu sebabnya Erdogan berupaya menggoyang HDP, antara lain dengan menyebutnya partai perpanjangan tangan PKK.

Lebih dari itu, kegagalan HDP juga bisa membahayakan proses perdamaian pemerintah Turki dengan pemberontak Kurdi. Konflik ini telah berlangsung 30 tahun. Kurdi, yang berjumlah 15 juta atau 20 persen dari penduduk Turki, lama mengalami diskriminasi dan dianggap ancaman bagi kesatuan Turki. Sejak 1980-an, pemberontakan Kurdi dipimpin PKK. Mereka menuntut wilayah otonomi hingga kemerdekaan kepada pemerintah.

Yang mengesankan ada ironi, Erdogan adalah inisiator proses perdamaian pemerintah dan pemberontak. Seperti ditulis ABC News, sekarang Erdogan justru tampak menangguhkan kelanjutan perundingan karena khawatir kehilangan suara dari Partai Gerakan Nasionalis (MHP), yang sejak awal memang menentang negosiasi dengan pemberontak Kurdi. Akibatnya, banyak warga Kurdi pendukung AKP beralih ke HDP.

Namun Erdogan percaya diri dengan kekuatan partainya. "Ada dua partai di negara ini. Satu terikat nasionalisme Turki, satu lagi nasionalisme Kurdi. Mari kita beri mereka pelajaran di pemungutan suara," ujarnya.

Atmi Pertiwi (the New York Times, Abc News, The Guardian, Bbc, Christian Science Monitor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus