Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESABARAN Ruyati Darwin, 67 tahun, sudah mencapai batasnya. Belasan tahun dia menunggu Kejaksaan Agung mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas kematian anak ketiganya, Eten Karyana. Hasilnya, "Kejaksaan seperti tak peduli," kata Ruyati, Rabu pekan lalu.
Eten merupakan salah seorang dari ratusan korban yang tewas dalam huru-hara di Plaza Yogya, Klender, Jakarta Timur, 17 tahun silam. Kala itu, pada 12-15 Mei 1998, kerusuhan meledak di sejumlah kota, seperti Jakarta, Solo, dan Yogyakarta. Massa membakar gedung-gedung dan menjarah pusat-pusat belanja. Ribuan orang dilaporkan meninggal.
Hingga kini Ruyati belum melihat tanda-tanda Kejaksaan bakal mengungkap apa sesungguhnya di balik tragedi yang merenggut nyawa anaknya itu. Padahal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyimpulkan terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut.
Akhir Mei lalu, didampingi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Ruyati mengajukan permohonan uji materi undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Mewakili keluarga korban lainnya, ia menggugat Pasal 20 ayat 3 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Ayat itu menerangkan, penyidik Kejaksaan Agung bisa mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM bila mereka menilai berkas tersebut "kurang lengkap". Nah, menurut Ruyati, frasa "kurang lengkap" itulah yang selama ini menjadi celah bagi Kejaksaan untuk menunda-nunda penyidikan. Ia meminta Mahkamah Konstitusi menafsirkan frasa itu sedetail mungkin. "Supaya kasus tak dipingpong antara Komnas HAM dan Kejaksaan," ujar Ruyati.
Di samping menyelidiki kasus kerusuhan Mei 1998, Komnas HAM bertahun-tahun menyelidiki enam kasus dugaan pelanggaran HAM berat lainnya. Keenam kasus itu adalah tragedi 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Talangsari, Lampung, 1989; penghilangan paksa orang pada 1997-1998; tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; serta peristiwa Wasior dan Wamena 2003.
Berkas ketujuh perkara tersebut sudah belasan kali mondar-mandir dari gedung Komnas HAM di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, ke gedung Kejaksaan Agung di Jakarta Selatan. Pada awal April 2008, sebagian berkas sempat tercecer. Dibawa dalam selusin kardus tanpa segel, berkas diserahkan Kejaksaan kepada satuan pengamanan Komnas HAM. Lazimnya berkas seperti ini diserahkan resmi kepada anggota Komisi.
Baru-baru ini Korps Adhyaksa malah melempar handuk. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan tak bisa melanjutkan penyidikan kasus karena kesulitan mencari barang bukti, saksi, dan tersangka. "Karena insiden itu sudah lama terjadi," kata Prasetyo, Kamis dua pekan lalu.
Meski begitu, menurut Prasetyo, pelanggaran hak asasi di masa lalu tak boleh menjadi beban bagi generasi yang akan datang. Karena itu, "Akan kami tawarkan pendekatan nonyudisial, jalur rekonsiliasi," ujarnya.
Senada dengan Jaksa Agung, Ketua Komnas HAM Hafid Abbas mengatakan rencana rekonsiliasi akan dimatangkan tahun ini. Untuk itu Komnas HAM pun mendorong Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Setelah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terbentuk, kompensasi untuk korban bisa segera dibayar," kata Hafid.
Ruyati menyambut dingin gagasan rekonsiliasi yang dilontarkan pemimpin kedua lembaga itu. "Syaratnya tak mudah," ujarnya. Menurut dia, rekonsiliasi harus disertai pelurusan fakta, pengakuan bersalah para pelaku, permintaan maaf dari negara, dan pemulihan hak korban. "Memaafkan bukan berarti melupakan kasusnya," ucap Ruyati.
Syailendra Persada, Dewi Suci Rahayu, Moyang Suci
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo