Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cerita Dari Yaman Ke Yaman

Presiden Yaman Selatan, Salem Robaya Ali terbunuh. Dua hari sebelumnya presiden Yaman Utara, Ahmad Al Gashmi tewas. Pengamat LN berkesimpulan Gashmi tewas akibat pergolakan rezim penguasa di Aden.(ln)

8 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA dua buah Yaman. Ada dua presiden. Dan dalam kurun waktu dua hari, kedua presiden dari kedua negara Yaman itu tewas. Korban pertama adalah Leman Kolonel Ahmad Al Gashmi. Ia Presiden Yaman Utara yang baru 8 bulan memegang jabatan kepresidenan, setelah menggantikan presiden sebelumnya yang tewas oleh penembak tak dikenal. Al Gashmi sendiri serta beberapa orang lainnya tewas dalam istana Sanaa oleh sebuah bom yang dibawa oleh seorang utusan Presiden Yaman Selatan. Salem Robaya Ali. Kematian Al Gashmi kemudian menimbulkan pergolakan di Yaman Selatan. Pergolakan ini berakhir dengan kematian Presiden Salem Robaya Ali. Kejadian tragis yang melanda dua negara bertetangga yang sejak lama memang sukar akur itu, berlangsung dalam tempo yang amat cepat. Komunikasi ke dunia luar diputuskan oleh kedua pemerintah. Bagaimana kabar yang pasti mengenai apa yang sebenarnya terjadi di kedua negara itu, sulit diperoleh. Untunglah bahwa beberapa perwakilan negara Arab di Aden dan Sanaa telah mempergunakan hubungan radio mereka untuk mewartakan kejadian-kejadian yang melanda dua negara Arab Selatan tersebut. Berita pertama tersiar dari Sanaa ibukota Yaman Utara. Pemerintah Sanaa menuduh pemerintah Yaman Selatan yang Marxistis itu sebagai pelaku utama pembunuhan Presiden Al Gashmi, tanggal 24 Juni yang lalu. Buktinya? Bom yang meledak itu dibawa dalam tas utusan Presiden Yaman Selatan. Utusan itu dikabarkan mati bersama Al Gashmi. Pada hari yang sama, Yaman Utara mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Yaman Selatan. Pilot pesawat milik Yaman Selatan yang mengangkut utusan yang malan itu ditahan di Sanaa. Tapi ia ternyata tidak mengenal penumpangnya. Di tengah-tengah misteri mengenai utusan yang tewas itu, harian Mesir, Al Goumhuria, terbitan 26 Juni yang lalu mengungkapkan sebuah keterangan lain. Satu sumber yang dikutip oleh koresponden surat kabar itu di ibukota Yaman Utara, Sanaa, menyebutkan bahwa sehari sehelum Al Gashmi terbunuh, terjadi pembicaraan telepon antara dia dengan kepala negara tetangganya. Lewat telepon, Presiden Salem Robaya memberi tahu Presiden Al Gashmi mengenai rencana dan maksud kunjungan utusan khusus dari Aden. Utusan itulah yang kemudian ternyata tasnya mengandung bom. Ia mati bersama Al Gashmi. Pada pembicaraan yang sama Salem juga memohon kepada Al Gashmi agar bermurah hati untuk membebaskan sejumlah pemberontak yang masih ditahan oleh pemerintah Yaman Utara. Sehari setelah koran Mesir menyiarkan berita hubungan telepon tersebut surat kabar terkemuka Amerika Serikat, The New York Times, muncul pula dengan sebuah cerita lain. Berdasarkan beberapa sumber -- antara lain Deplu Amerika di Washington -- koran New York itu mengungkapkan bahwa kejadian terakhir di kedua Yaman itu telah mengakibatkan tertundanya kunjungan utusan khusus Amerika ke Aden, Joseph W. Twinam, pejabat tinggi Deplu Amerika Serikat merencanakan untuk bertemu dengan Presiden Salem Kobaya Ali pada tanggal 27 Juni. Dan tentu saja pertemuan itu gagal, sebab sehari sebelumnya, Sentral Komite Front Pembebasan Nasional Yaman -- partai tunggal yang berkuasa -- telah menjatuhkan hukuman mati atas Salem Robaya. Ia dipersalahkan telah terlibat dalam pembunuhan atas diri Presiden Al Gashmi serta kemudian mencoba merebut kekuasaan dari tangan Sentral Komite Partai. Selain menyebutkan nama orang yang berada di balik keputusan hukumm mati atas diri Robaya Ali -- yakni Abdul Fatah Ismail, Sekjen Front Pembebasan Nasional yang amat pro Moskow -- surat kabar New York itu juga mengungkapkan latar belakang rencana kunjungan utusan khusus Amerika tersebut. Konon, lewat kontak-kontak diplomatiknya, almarhum Salem Robaya Ali telah menyatakan hasratnya untuk memulihkan hubungan diplomatik negerinya dengan Washington, yang terputus sejak kaum Marxis mengambil kekuasaan di Aden pada tanggal 22 Juni 1969. Sebuah Teori Salem Robaya kabarnya bukan cuma berhasrat berbaikan dengan Washington -- dan dengan Saudi Arabia. Ia butuh bantuan ekonomi bagi Yaman Selatan yang miskin. Tapi ia juga diduga dongkol terhadap tingkah laku Uni Soviet di negerinya, dan di kawasan Afrika. Sumber-sumber diplomatik Arab di Beirut pekan silam mengungkapkan sikap tidak senang Salem terhadap keterlibatan Uni Soviet di tanduk Afrika. Pemimpin Yaman Selatan itu juga tidak menyukai penggunaan lapangan terbang Aden bagi pengangkutan senjata dan tentara Rusia ke Afrika. Sikap Salem yang tidak menguntungkan Moskow itu kabarnya sejak beberapa waktu telah menjadi masalah yang merusak hubungannya dengan Fatah Ismail, salah satu dari tokoh yang pada tahun 1969 bersama Salem berhasil merebut kekuasaan dan mengubah Yaman Selatan menjadi sebuah negara Marxistis. Baik pihak Deplu Amerika di Washington maupun kalangan diplomatik Arab di Beirut, semuanya berkesimpulan bahwa Presiden Al Gashmi telah jadi korban pergolakan dalam tubuh rezim yang berkuasa di Aden. "Sulit untuk mempercayai bahwa Salem Robaya yang merencanakan pembunuhan atas diri Al Gashmi," kata seorang dipomat Arab di Beirut. Lalu siapa? "Pihak lawan Salemlah yang melakukannya," begitu dugaan yang beredar di Washington. Apa dan bagaimana pun dugaan tentang pergolakan di kawasan Arab Selatan itu, yang pasti pemenang langsung di sana sekarang ini adalah pihak Uni Soviet. Ini terbukti dengan diumumkannya sejumlah rencana-rencana militer Uni Soviet di Aden -- pembangunan pangkalan militer, perjanjian keamanan bersama -- beberapa saat setelah pemerintahan Salem Robaya berhasil digulingkan. Bahkan sebelum penggulingan itu terjadi, 600 tentara Kuba kabarnya telah berada di Yaman Selatan. Pasukan asing yang datang ke Yaman sebagai "Penasehat Militer" itu dilaporkan oleh sebuah koran Beirut, sebagai ikut berperan dalam penggulingan Salem Robaya. Dan Naser Ali, perdana menteri yang kini juga merangkap ketua dewan presiden, adalah orang yang dianggap amat mencerminkan fikiran-fikiran pro Moskow Fatah Ismail. Yaman Selatan yang berpenduduk kurang 2 juta dengan penghasilan per kapita 125 dolar itu, rupanya sekali lagi menarik minat negara besar, Uni Soviet, setelah sejak lama menarik minat negara-negara Barat, khususnya Inggeris. Semua itu sebabnya cuma satu: letak yang strategis. Dulu Yaman Selatan penting bagi lalu lintas perdagangan Timur-Barat, kini penting bagi lalu lintas militer Utara-Selatan. Uni Soviet yang kini sedang giat di berbagai penjuru Afrika memang bisa punya suatu pangkalan transit bagi senjata dan personilnya yang mondar-mandir antara Soviet dan Afrika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus