ADA dua buah Yaman. Ada dua presiden. Dan dalam kurun waktu dua
hari, kedua presiden dari kedua negara Yaman itu tewas.
Korban pertama adalah Leman Kolonel Ahmad Al Gashmi. Ia Presiden
Yaman Utara yang baru 8 bulan memegang jabatan kepresidenan,
setelah menggantikan presiden sebelumnya yang tewas oleh
penembak tak dikenal. Al Gashmi sendiri serta beberapa orang
lainnya tewas dalam istana Sanaa oleh sebuah bom yang dibawa
oleh seorang utusan Presiden Yaman Selatan. Salem Robaya Ali.
Kematian Al Gashmi kemudian menimbulkan pergolakan di Yaman
Selatan. Pergolakan ini berakhir dengan kematian Presiden Salem
Robaya Ali.
Kejadian tragis yang melanda dua negara bertetangga yang sejak
lama memang sukar akur itu, berlangsung dalam tempo yang amat
cepat. Komunikasi ke dunia luar diputuskan oleh kedua
pemerintah. Bagaimana kabar yang pasti mengenai apa yang
sebenarnya terjadi di kedua negara itu, sulit diperoleh.
Untunglah bahwa beberapa perwakilan negara Arab di Aden dan
Sanaa telah mempergunakan hubungan radio mereka untuk mewartakan
kejadian-kejadian yang melanda dua negara Arab Selatan tersebut.
Berita pertama tersiar dari Sanaa ibukota Yaman Utara.
Pemerintah Sanaa menuduh pemerintah Yaman Selatan yang Marxistis
itu sebagai pelaku utama pembunuhan Presiden Al Gashmi, tanggal
24 Juni yang lalu. Buktinya? Bom yang meledak itu dibawa dalam
tas utusan Presiden Yaman Selatan. Utusan itu dikabarkan mati
bersama Al Gashmi.
Pada hari yang sama, Yaman Utara mengumumkan pemutusan hubungan
diplomatik dengan Yaman Selatan. Pilot pesawat milik Yaman
Selatan yang mengangkut utusan yang malan itu ditahan di
Sanaa. Tapi ia ternyata tidak mengenal penumpangnya.
Di tengah-tengah misteri mengenai utusan yang tewas itu, harian
Mesir, Al Goumhuria, terbitan 26 Juni yang lalu mengungkapkan
sebuah keterangan lain. Satu sumber yang dikutip oleh
koresponden surat kabar itu di ibukota Yaman Utara, Sanaa,
menyebutkan bahwa sehari sehelum Al Gashmi terbunuh, terjadi
pembicaraan telepon antara dia dengan kepala negara tetangganya.
Lewat telepon, Presiden Salem Robaya memberi tahu Presiden Al
Gashmi mengenai rencana dan maksud kunjungan utusan khusus dari
Aden. Utusan itulah yang kemudian ternyata tasnya mengandung
bom. Ia mati bersama Al Gashmi. Pada pembicaraan yang sama Salem
juga memohon kepada Al Gashmi agar bermurah hati untuk
membebaskan sejumlah pemberontak yang masih ditahan oleh
pemerintah Yaman Utara.
Sehari setelah koran Mesir menyiarkan berita hubungan telepon
tersebut surat kabar terkemuka Amerika Serikat, The New York
Times, muncul pula dengan sebuah cerita lain.
Berdasarkan beberapa sumber -- antara lain Deplu Amerika di
Washington -- koran New York itu mengungkapkan bahwa kejadian
terakhir di kedua Yaman itu telah mengakibatkan tertundanya
kunjungan utusan khusus Amerika ke Aden, Joseph W. Twinam,
pejabat tinggi Deplu Amerika Serikat merencanakan untuk bertemu
dengan Presiden Salem Kobaya Ali pada tanggal 27 Juni.
Dan tentu saja pertemuan itu gagal, sebab sehari sebelumnya,
Sentral Komite Front Pembebasan Nasional Yaman -- partai
tunggal yang berkuasa -- telah menjatuhkan hukuman mati atas
Salem Robaya. Ia dipersalahkan telah terlibat dalam pembunuhan
atas diri Presiden Al Gashmi serta kemudian mencoba merebut
kekuasaan dari tangan Sentral Komite Partai.
Selain menyebutkan nama orang yang berada di balik keputusan
hukumm mati atas diri Robaya Ali -- yakni Abdul Fatah Ismail,
Sekjen Front Pembebasan Nasional yang amat pro Moskow -- surat
kabar New York itu juga mengungkapkan latar belakang rencana
kunjungan utusan khusus Amerika tersebut. Konon, lewat
kontak-kontak diplomatiknya, almarhum Salem Robaya Ali telah
menyatakan hasratnya untuk memulihkan hubungan diplomatik
negerinya dengan Washington, yang terputus sejak kaum Marxis
mengambil kekuasaan di Aden pada tanggal 22 Juni 1969.
Sebuah Teori
Salem Robaya kabarnya bukan cuma berhasrat berbaikan dengan
Washington -- dan dengan Saudi Arabia. Ia butuh bantuan ekonomi
bagi Yaman Selatan yang miskin. Tapi ia juga diduga dongkol
terhadap tingkah laku Uni Soviet di negerinya, dan di kawasan
Afrika.
Sumber-sumber diplomatik Arab di Beirut pekan silam
mengungkapkan sikap tidak senang Salem terhadap keterlibatan Uni
Soviet di tanduk Afrika. Pemimpin Yaman Selatan itu juga tidak
menyukai penggunaan lapangan terbang Aden bagi pengangkutan
senjata dan tentara Rusia ke Afrika.
Sikap Salem yang tidak menguntungkan Moskow itu kabarnya sejak
beberapa waktu telah menjadi masalah yang merusak hubungannya
dengan Fatah Ismail, salah satu dari tokoh yang pada tahun 1969
bersama Salem berhasil merebut kekuasaan dan mengubah Yaman
Selatan menjadi sebuah negara Marxistis.
Baik pihak Deplu Amerika di Washington maupun kalangan
diplomatik Arab di Beirut, semuanya berkesimpulan bahwa Presiden
Al Gashmi telah jadi korban pergolakan dalam tubuh rezim yang
berkuasa di Aden. "Sulit untuk mempercayai bahwa Salem Robaya
yang merencanakan pembunuhan atas diri Al Gashmi," kata seorang
dipomat Arab di Beirut. Lalu siapa? "Pihak lawan Salemlah yang
melakukannya," begitu dugaan yang beredar di Washington.
Apa dan bagaimana pun dugaan tentang pergolakan di kawasan Arab
Selatan itu, yang pasti pemenang langsung di sana sekarang ini
adalah pihak Uni Soviet. Ini terbukti dengan diumumkannya
sejumlah rencana-rencana militer Uni Soviet di Aden --
pembangunan pangkalan militer, perjanjian keamanan bersama --
beberapa saat setelah pemerintahan Salem Robaya berhasil
digulingkan. Bahkan sebelum penggulingan itu terjadi, 600
tentara Kuba kabarnya telah berada di Yaman Selatan. Pasukan
asing yang datang ke Yaman sebagai "Penasehat Militer" itu
dilaporkan oleh sebuah koran Beirut, sebagai ikut berperan dalam
penggulingan Salem Robaya. Dan Naser Ali, perdana menteri yang
kini juga merangkap ketua dewan presiden, adalah orang yang
dianggap amat mencerminkan fikiran-fikiran pro Moskow Fatah
Ismail.
Yaman Selatan yang berpenduduk kurang 2 juta dengan penghasilan
per kapita 125 dolar itu, rupanya sekali lagi menarik minat
negara besar, Uni Soviet, setelah sejak lama menarik minat
negara-negara Barat, khususnya Inggeris. Semua itu sebabnya cuma
satu: letak yang strategis. Dulu Yaman Selatan penting bagi lalu
lintas perdagangan Timur-Barat, kini penting bagi lalu lintas
militer Utara-Selatan.
Uni Soviet yang kini sedang giat di berbagai penjuru Afrika
memang bisa punya suatu pangkalan transit bagi senjata dan
personilnya yang mondar-mandir antara Soviet dan Afrika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini