DUA tahun sesudah berintegrasi dengan Republik Indonesia,
suasana mendekati normal akhirnya pulih juga di Timor Timur. Ini
ditandai dengan rencana kunjungan Presiden Soeharto untuk
pertama kalinya ke propinsi ke-27 ini 16 dan 17 Juli mendatang.
Presiden direncanakan akan meresmikan beberapa proyek
pembangunan dan juga membuka rute penerbangan komersil ke Dili.
Beberapa menteri, termasuk Menko Ekuin Widjojo Nitisastro dan
Menhankam Jenderal Jusuf, bulan lalu telah mengunjungi Tim-Tim
untuk mempersiapkan kunjungan kepala negara. Sebelumnya, kepada
Antara, Menpen Ali Murtopo menjelaskan bahwa maskapai
penerbangan Garuda akan menghubungkan Dili dengan daerah-daerah
lain di Indonesia Tim-Tim selanjutnya juga akan terbuka untuk
dikunjungi, tidak lagi tertutup seperti sekarang.
Pihak Garuda sendiri belum tahu persis kapan penerbangan tetap
ke Dili akan dimulai. "Tapi kalau diminta, Garuda siap untuk
melaksanakan," kata R.A.J. Lumenta, Sekretaris Perusahaan
Garuda. Apakah Garuda melihat rute penerbangan baru ini secara
komersiil menguntungkan? "Garuda melihat prospek yang baik di
mana ada pembangunan," kata Lumenta.
Pembangunan memang sedang digalakkan di propinsi termuda ini.
Bulan lalu Gubernur Araujo menyerahkan bantuan pemerintah pusat
melalui Inpres pada para bupati yang untuk pertama kalinya
diterima daerah ini. Menjelang kunjungan Presiden, pembangunan
ini tampaknya lebih digiatkan lagi.
Tapi sejauh mana Tim-Tim sudah siap untuk masa pembangunan yang
lebih panjang? Mungkin baik juga didengar suara di luar kalangan
pemerintah daerah. Menjelang kunjungan Presiden, TEMPO berhasil
menemui Guilherme A. Goncalvez (59 tahun), ketua DPRD Tim-Tim.
Sebelumnya lebih dikenal sebagai Lturai (Raja) Atsabe, bekas
salah satu ketua partai Apodeti ini ada di Jakarta selama 2
bulan untuk mengobati penyakit hatinya. Diakuinya, tata
pemerintahan di Tim-Tim belum sepenuhnya berjalan seperti di
propinsi lain, tapi DPRD yang diketuainya tetap berusaha
menjalankan hak kontrolnya, termasuk mengeluarkan resolusi yang
mengecam korupsi di Dili sekarang. Beberapa petikan dari
wawancaranya dengan wartawan TEMPO George Y. Adicondro.
Timor Timur dinyatakan akan ikut Repelita III mendatang. Apakah
persiapan di sana sudah matang?
Di antara rakyat harus ada kedamaian dan ketenangan lebih dulu.
Sekarang rakyat masih bisa bekerja di tempat-tempat konsentrasi
tentara kita, seperti di Dili, Same atau Maliana. Ini bukan
karena kekuatan Fretilin begitu hebat, juga bukan karena tentara
kita bergerak terlalu lambat. Tapi satu dua orang Fretilin yang
beroperasi secara terpisah sudah bisa mengacau dan menyebarkan
ketakutan di antara rakyat. Sering kali gerombolan-gerombolan
kecil pengacau Fretilin keluar bukan untuk berperang, tapi untuk
sekedar mencuri makanan dari rakyat.
Terlepas dari soal keamanan, apakah aparat pemerintah daerah
sudah siap memasuki Pelita III?
Sudah mampukah pemerintah daerah kita menyalurkan aspirasi
rakyat? Ini sulit dijawab. Pusat sudah mendrop begitu banyak
uang untuk Timor Timur, tapi menghadapi Repelita III perlu
dipertebal jaminan bagi pemerintah pusat bahwa uang itu
betul-betul akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat Timor.
Bagaimana cara terbaik untuk mengetahui aspirasi rakyat setelah
tidak ada lagi parpol sekarang ini?
Parpol di Timor sebenarnya masih barang baru yang muncul setelah
revolusi di Portugal. Tapi sementara ini, aspirasi rakyat dapat
diketahui melalui para liurai (raja) serta seluruh struktur
tradisionil di bawahnya. Orang-orang sederhana biasanya lebih
menghargai pemimpin tradisionil yang lebih dikenalnya. Para
liurai pun tak dapat mengambil keputusan sendiri. Mereka harus
mendapat persetujuan lebih dulu dari para kepala suku yang
dibawahinya. Seorang liurai dapat dicopot dari kedudukannya bila
kebijaksanaannya ditentang para kepala suku.
Sementara itu, kepala suku yang dipilih oleh para kepala knua
(clan), juga harus mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya pada
puak-puak dalam sukunya. Begitulah seterusnya sampai pada para
kepala keluarga. Di jaman Portugis pun, meski ada struktur
kolonial yang diwakili para administrator (bupati) atau chef de
posto (camat), sukses tidaknya kebijaksanaan Gubernur di Dili
tergantung dukungan para pemimpin tradisionil ini. Saat ini
hanya 7 liurai yang duduk dalam DPRD Tim-Tim. Sebelum perang ada
35 orang liurai, tapi banyak yang hilang, gugur atau mungkin
ditawan Fretilin di hutan.
Bagaimana tentang keadaan ekonomi?
Memang betul perdagangan umumnya kembali dikuasai para pedagang
Tionghoa yang sudah jaya sejak di jaman Portugis dulu. Soalnya,
orang Timor tidak punya modal. Kebanyakan kehilangan semua harta
bendanya dalam perang saudara yang lalu. Lalu apa lagi yang mau
dijadikan jaminan untuk meminjam modal dari bank? Akibatnya ya
tetap kalah bersaing dengan pedagang Tionghoa.
Bagaimana tentang perdagangan kopi?
Saya belum mengerti betul mekanisme perpajakan kopi ini. Tapi
kalau monopoli perdagangan kopi ini dipegang pihak sipil, saya
khawatir akibatnya akan lebih buruk. Orang akan berebutan
memetik kopi dari kebun orang lain, bukan dari kebunnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini