DI saat kehidupan organisasi massa menderita "lesu darah ",
Muhammadiyah justru mengadakan Mu'tamar ke-40 di Surabaya pekan
terakhir Juni lalu dengan penuh kemeriahan. Dibuka oleh Wakil
Presiden H. Adam Malik di stadion "Sepuluh Nopember", ada pawai,
kompetisi sepakbola memperebutkan Surono Cup, ada pameran
lukisan Amri Yahya - Affandi.
Tamu-tamu luar negeri pun berdatangan. Dari Islamic Centre
Jepang yang tertarik usaha-usaha sosial Muhammadiyah. Juga dari
Universitas al-Azhar Kairo, yang menyanggupi memberi bea-siswa
kepada lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Karangan bunga yang besar-hesar tampak berderet di depan Gedung
Wanita, tempat pertemuan tertinggi Muhammadiyah itu
dilangsungkan. Ada karangan bunga yang dikirim oleh "warga
Partai Muslimin Indonesia". Entah mengapa nama partai yang sudah
berfusi dalam PPP itu masih tertera tanpa kata eks di depannya.
Kemeriahan itu menarik perhatian, lantaran menyimpang dari
kebiasaan Muhammadiyah. Tapi ternyata sengaja diciptakan. "Untuk
menggairahkan ummat Islam yang belakangan ini kelihatan beku,
terutama di Jawa Timur," ujar HAR Fachruddin, Ketua Umum
Muhammadiyah. Kebekuan itu disebutkan akibat kejadian sebelum
dan sesudah Pemilu 1977, termasuk adanya "Komando Jihad."
13 Besar
Agenda Mu'tamar sebenarnya tidak ada yang menarik. Soal
"kepercayaan" dan P4 misalnya, hanya disinggung sepintas lalu
dalam situasi "apa boleh buat". Bahkan soal "kemandegan"
organisasi (padahal Muhammadiyah dikenal sebagai pembaharu)
sebagaimana banyak disorot oleh kalangan muda Muhammadiyah
belakangan ini, juga tidak dibicarakan sama sekali.
Yang agak menarik acara pemilihan pengurus baru. Menurut
Sekretaris PP Muhammadiyah, Djarnawi Hadikusumo, sebulan
sebelum Mu'tamar, dalam susunan pengurus baru akan ditampilkan
tokoh-tokoh muda. Tapi yang terjadi ternyata lain. HAR
Fachruddin yang sudan tiga periode memangku jabatan ketua umum
terpilih kembali untuk keempat kalinya. Bahkan dari 13 anggota
Pimpinan Pusat, hanya seorang wajah baru yang muncul. Yaitu drs
M. Djazman. Lainnya, seperti Mr Kasman Singodimedjo, dr Kusnadi,
ir HM Sanusi, Dr Ismail Sunny, Djindar Tamimy, adalah nama-nama
yang sudah beken.
Majelis Tanwir (semacam steering committee) sebenarnya sudah
mengajukan 39 nama -- campuran tua-muda -- untuk dipilih 13.
Tetapi, seperti dikatakan drs Lukman Harun, peserta Mu'tamar
yang mayoritas sudah tidak muda lagi itu rupanya lebih senang
memilih yang sebaya dengan mereka. Maka dari "13 besar" pilihan
peserta, yang dapat dikatakan muda hanya 2 orang. Yaitu Lukman
Harun dan Djazman. Drs Fahmy Chatib yang dalam pengurus lama
dikenal sebagai golongan muda, hanya menduduki ranking ke 14
sehingga keluar dari "13 besar".
"Kader-kader muda sebetulnya banyak. Tapi mereka belum diberi
kesempatan," kata Lukman Harun. Meskipun seperti diakui sendiri
oleh Lukman, "pendiri-pendiri Muhammadiyah sendiri, adalah kaum
muda, KHA Dahlan misalnya, waktu mendirikan Muhammadiyah baru
berumur duapuluh tahun," tambah Lukman.
KORPRI
Dalam hal da'wah, tidak dihasilkan pola atau strategi baru.
Kecuali penekanan pada da'wah di kalangan suku terasing. Meski
begitu, para peserta pulang ke daerah masing-masing dengan nafas
lapang. Terutama setelah Kas Kopkamtib Yoga Sugama memberikan
ceramah yang mendapat tepukan panjang. "Anggota KORPRI boleh
masuk Muhammadiyah," ujar Kepala Bakin itu, tanpa menyebutkan
pertimbangan terperinci.
Selama ini anggota Muhammadiyah memang tidak sedikit yang
pegawai negeri. Namun banyak di antaranya, terutama di
daerah-daerah, yang tidak mau disebut terang-terangan sebagai
Muhammadiyah sejak berlakunya "asas monoloyalitas". Masih belum
jelas apakah perlakuan yang sama juga akan diberikan kepada NU
misalnya, yang kini sudah kembali ke bentuknya semula sebagai
organisasi da'wah dan bukan parpol lagi.
Ceramah Menko Kesra Surono juga mendapat tepukan panjang.
Terutama pada kesediaannya menyumbang Rp 15 juta.
Sebagaimana pengalaman yang sudah sudah, Mu'tamar kali ini pun
tidak menimbulkan perpecahan pendapat. "Mu'tamar Muhammadiyah
memang dikenal sebagai kongres yang paling rukun," kata Lukman
Harun. Meskipun ada juga perbedaan pendapat itu, tampaknya yang
menonjol adalah tenggang rasa.
Misalnya ketika Ismail Sunny yang kini dalam tahanan Laksus,
terpilih dalam "13 besar". Ada yang minta supaya nama itu
dicoret saja lantaran bisa menimbulkan kesan kurang enak. Tapi
ada pula yang mengancam mengundurkan diri kalau nama itu
dicoret. Sekali lagi Fachruddin menunjukkan kemampuannya. Jalan
tengah pun diambil: Sunny tidak dicoret, tapi di belakang
namanya diberi penjelasan "dinyatakan belum aktip."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini