Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengutuk pelecehan terhadap outlet berita Indonesia, Tempo, setelah kepala babi yang terpenggal dikirim ke kantornya di ibu kota Jakarta pada 19 Maret. Seperti dilansir dari laman CPJ, hal ini terjadi beberapa pekan setelah Presiden Prabowo Subianto menuduh organisasi media yang “didanai asing” mencoba "memecah belah" negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari yang sama dengan tuduhan Prabowo, pengunjuk rasa berkumpul di luar gedung Dewan Pers Indonesia dan menuntut untuk mengambil tindakan terhadap Tempo. Massa menuduh Tempo bertindak untuk kepentingan "agen asing" yakni miliarder pemodal George Soros.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini adalah tindakan intimidasi yang berbahaya dan disengaja," kata Koordinator Program Asia CPJ Beh Lih Yi.
"Tempo terkenal secara internasional karena pelaporannya yang sangat independen; menggunakan cara dari otokrat di tempat lain tidak akan berhasil. Presiden Prabowo Subianto harus menjunjung tinggi kebebasan pers dan mengutuk tindakan yang sangat provokatif ini jika dia ingin Indonesia dianggap serius sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia."
Kepala babi, yang dikirim dalam kotak kardus, ditujukan kepada seorang jurnalis perempuan di Tempo yang meliput politik dan menjadi pembawa acara program siniar populer, kata Wahyu Dhyatmika, kepala eksekutif tim digital Tempo.
Dia menyebut insiden itu sebagai upaya untuk "menakut-nakuti dan membungkam" pers Indonesia ke dalam sensor diri, dan mengatakan Tempo mengajukan laporan polisi pada Jumat.
Tempo telah melaporkan secara kritis tentang kebijakan pemerintah Prabowo, termasuk program makanan sekolah gratis bernilai miliaran dolar yang baru diluncurkan.
Didirikan awalnya sebagai majalah mingguan pada 1971 oleh pemenang Penghargaan Kebebasan Pers Internasional dan penulis CPJ Goenawan Mohamad, outlet ini telah dilarang dua kali. Pertama selama dua bulan pada 1982 dan kemudian pada 1994.
Majalah itu kembali diluncurkan pada 1998 setelah jatuhnya diktator Soeharto, yang pernah menjadi bos Prabowo. Soeharto juga dituduh menggunakan tokoh-tokoh militer untuk menindak perbedaan pendapat.
Kantor kepresidenan Indonesia menyatakan "penyesalan" atas insiden itu dan mengatakan bahwa media yang kuat diperlukan di negara itu.
"Kami tidak tahu persis siapa yang melakukannya dan mengapa insiden itu terjadi ... Indonesia tetap berkomitmen untuk menjaga dan melindungi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi," kata juru bicara Philips Vermonte kepada CPJ melalui aplikasi perpesanan.
Kepolisian nasional tidak segera menanggapi permintaan komentar.