Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Amerika Serikat pada Jumat mengatakan bahwa mereka tidak memiliki petunjuk apa pun bahwa Israel dengan sengaja menargetkan jurnalis di Jalur Gaza menyusul kematian jurnalis Al Jazeera yang terbunuh dalam serangan Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami masih belum mempunyai petunjuk apa pun bahwa Israel sengaja menargetkan para jurnalis,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby kepada wartawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dalam konflik dinamis yang sedang berlangsung seperti ini, kami tidak akan menjadikan diri kami sendiri sebagai hakim dan juri atas setiap serangan udara dan setiap peristiwa yang terjadi di medan perang,” tambahnya.
Juru kamera Al Jazeera Samer Abudaqa, ayah dari empat anak, terbunuh di Khan Younis, Gaza selatan, setelah pesawat-pesawat nirawak Israel menembakkan rudal ke sebuah sekolah yang menjadi tempat pengungsian, lapor media yang berbasis di Qatar itu.
Abudaqa terluka dalam serangan itu, kemudian meninggal kehabisan darah setelah selama lima jam terluka karena pasukan Israel mencegah ambulans dan petugas kesehatan memberikan pertolongan pertama kepadanya.
Kirby menyatakan bahwa para pejabat AS terus menekan Israel untuk melancarkan serangan mereka di Gaza secara hati-hati dan tepat sasaran.
“Jurnalis harus bisa bebas meliput konflik di seluruh dunia,” katanya, menambahkan bahwa serangan apa pun terhadap jurnalis tak dapat diterima.
Puluhan jurnalis Palestina terbunuh di Gaza sejak perang antara Hamas dan Israel pecah lebih dari dua bulan lalu, menurut Komite untuk Perlindungan Jurnalis (CPJ).
Berdasarkan penghitungan CPJ, jumlah jurnalis yang meninggal dunia mencapai 57 orang, dan menyebut para jurnalis di Gaza memiliki risiko yang sangat tinggi dalam melaksanakan tugas mereka.
“CPJ menekankan bahwa jurnalis adalah warga sipil yang melakukan pekerjaan penting selama masa krisis dan tidak boleh menjadi sasaran pihak-pihak yang bertikai,” kata Sherif Mansour, koordinator program CPJ di Timur Tengah dan Afrika Utara.
“Jurnalis di seluruh kawasan ini melakukan pengorbanan besar untuk meliput konflik yang memilukan ini. Masyarakat di Gaza, khususnya, telah menanggung dan terus menanggung kerugian yang belum pernah terjadi sebelumnya dan menghadapi ancaman yang sangat besar,” ujar Mansour.
CPJ mengatakan konflik di Gaza adalah yang paling mematikan bagi jurnalis yang pernah tercatat sepanjang sejarah.
“Kami marah dengan harga yang mahal, menurut saya harga yang ekstrim, yang harus dibayar oleh jurnalis Palestina,” kata Carlos Martinez de la Serna dari CPJ kepada Al Jazeera, sambil menambahkan bahwa ada “rasa impunitas yang jelas.”
“Kita memerlukan investigasi internasional yang independen untuk menilai semua pembunuhan ini dan mereka yang bertanggung jawab harus bertanggung jawab,” kata de la Serna.
“Penting untuk diingat bahwa jurnalis berdasarkan hukum humaniter internasional adalah warga sipil, dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam perang adalah melindungi mereka, dan apa yang kami lihat adalah jurnalis dibunuh.”
Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) mengatakan pihaknya “terkejut” dengan serangan itu.
“Kami mengutuk serangan itu dan menegaskan kembali tuntutan kami agar nyawa jurnalis harus dilindungi,” katanya dalam sebuah postingan di X.
Laporan IFJ yang diterbitkan pekan lalu menemukan bahwa 72 persen jurnalis yang meninggal saat bekerja tahun ini tewas dalam perang Gaza.
Koresponden Al Jazeera Wael Dahdouh, yang keluarganya terbunuh oleh serangan udara Israel, sedang dalam perjalanan bersama Abudaqa ketika mereka diserang.
Dahdouh mengatakan mereka sedang pergi bersama tim penyelamat yang berusaha mencapai sebuah rumah yang dibom dengan harapan bisa menyelamatkan korban yang selamat.
Setidaknya 18.800 warga Palestina terbunuh, sekitar dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak, dan 50.897 orang terluka selama perang yang berlangsung lebih dari dua bulan tersebut, menurut angka resmi dari otoritas kesehatan Gaza pada Jumat.
ANADOLU | AL JAZEERA