Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Membangun dengan demokrasi. impian di dacca

Penduduk yang padat diusahakan untuk ber-kb. revolusi sekop terjadi. perkembangan ekonomi 4%/ tahun pertumbuhan penduduk sekitar 2,8%. 70% anggaran pembangunan tergantung bantuan luar negeri.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA rajin pergi meninjau ke pedalaman -- seringkali harus jalan kaki. Untuk berjalan itu, dia sudah terbiasa dan diakui "sangat kuat" oleh para pengiringnya yang kehabisan napas. Dan dengan berjalan jauh itu, dia berkesempatan melihat sendiri keadaan rakyat Bangladesh, yang tergolong paling melarat di dunia. Kalau tidak bepergian ke luar Jawa, Presiden Zia ur Rahman suka bekerja keras sampai 14-16 jam sehari. Kerja keras, kerja keras -- itulah pesannya selalu. Pesan itu diulanginya lagi pekan ini untuk memperingati kelahiran Bangladesh 9 tahun lalu. Tahun 1971, masih berpangkat mayor dalam Resimen Bengal Timur ke-8 di Chittagong, Zia membuat pengumuman lewat radio -- suatu pemberontakan terhadap Pakistan. Barisan tank dan pesawat perang India kemudian menyerbu, membantu pemberontakan itu. Hingga lahirlah suatu bangsa baru di bawah pimpinan Sheik Mujibur Rahman. Tapi Mujib, betapa pun dia dihormati rakyatnya, telah gagal memulihkan keadaan ekonomi negeri itu. Pemimpin Liga Awami itu bahkan memaksakan pemerintahan satu partai, yang otoriter sifatnya. Agustus 1975, ketika suasana kekerasan masih bersisa, segerombolan bersenjata membunuh Mujib dan keluarganya. Itu adalah zaman Bangladesh masih menjadi perhatian pers dunia. Zaman pergolakan itu sudah lewat. Belakangan ini jarang sekali negara itu menjadi berita dunia. Memang keadaan politik stabil di sana. Keadaan ekonominya pun semakin baik. Tidak terdengar lagi rakyatnya kelaparan di bawah kepemimpinan Zia. Zia, yang tadinya kembali ke tangsi militer, menonjol lagi sesudah kematian Mujib. Tahun 1977, Zia menjadi presiden. Jabatan itu diperkokohnya lewat pemilihan presiden setahun kemudian dengan 77% dari jumlah suara dimenangkannya. Dan Februari 1979, Bangladesh National Party pimpinan Zia dalam pemilihan umum memenangkan 207 dari semua 300 kursi Parlemen. Segera setelah pemilu itu Zia mencabut berlakunya hukum darurat, sesuai dengan apa yang dijanjikannya. Ternyata Zia, letnan jenderal (purnawirawan), bisa bertahan -- dan roda pemerintahannya lancar -- tanpa hukum darurat itu. Demokrasi diterapkannya secara nyata. Namun di Parlemen, memang tidak ada ancaman berarti dari pihak oposisi. Partai oposisi utama ialah Liga Awami -- peningalan Mujib tapi kepemimpinannya tidak kuat. Masih tinggal di kompleks tentara Zia tampaknya didukung para jenderal. Ini penting di Bangladesh yang tentaranya disegani dalam politik. Pembangunan yang berarti di Bangladesh baru berlangsung sejak 1976. Sebelum itu, sama sekali tiada perencanaan. Tahun fiskal 1978/79, pertumbuhan ekonominya mencapai 4% Hingga laporan terakhir Bank Dunia bernada optimistis. Banyak negara donor bersedia membantunya. Lebih 70% dari anggaran pembangunannya bergantung pada bantuan luar negeri, terutama dari Barat. Banjir Atau kemarau Ancaman tradisional bagi ekonomi Bangladesh itu hanya dua macam: banjir atau kemarau. Tahun lalu kemarau itu sangat mencemaskannya. Biasanya mengimpor 1,5 juta ton bahan pangan setahun, pemerintahan Zia segera memutuskan untuk melipatgandakan jumlah impor itu, guna mengatasi keadaan bencana alam tadi. Maka selama 6 bulan sudah 2 juta ton diimpor. Pelabuhan Chittagong 'tercekik' karena besarnya arus impor itu. Bangladesh yang berpenduduk 85 juta buat sementara terhindar dari kelaparan. Namun tingkat pertumbuhan penduduknya (sekitar 2,8%) masih terlalu tinggi, sedang kemampuan negara itu menghasilkan pangan masih dipertanyakan. Antara laitn karena pertaniannya masih sangat tergantung pada cuaca. Namun Zia punya impian. Yaitu dua atau tiga tahun lagi Bangladesh bisa cukup menghasilkan bahan pangan, tanpa mengimpornya lagi, bahkan 5 tahun lagi Insyaallah bisa mengekspornya. Walau sebagian orang di Dacca agak skeptis, zia dengan impiannya berhasil membangkitkan enthusiasme bangsa. Misalnya, Zia menggerakkan kampanye menggali kanal. Banyak sungai di sana yang airnya hendak disalurkannya untuk keperluan pertanian, dan supaya bertambah areal yang bisa ditanami. Zia sendiri turut menyekop tanah bersama rakyat. Tenaga kerja yang banyak itu diberi imbalan bahan pangan, tanpa upah berupa uang. Dan tanpa alat-alat besar. Ini sungguh suatu "revolusi sekop," komentar orang. Selain memperkenalkan padi unggul, pemerintahan Zia ingin mendorong petani bertanam gandum. Dengan gandum, lebih sedikit diperlukan air. Tanah di negeri itu subur. Tapi Bangladesh sudah padat. Kepadatan penduduknya hampir sama dengan di Jawa-Madura. Lebih 85% penduduknya hidup di pedesaan dan sangat bergantung pada pertanian. Sebagian besar petaninya tidak memiliki tanah, melainkan menyewa sawah-ladang atau membagi hasil (50-50) dengan pemilik. Ditaksir hanya 29% dari semua tanah yang bisa ditanami di sana dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. "Jika penduduk Bangladesh jadi dua kali lipat yang sekarang pada akhir abad ini," kata Zia tanpa bosan, "kita mungkin punah." Zia ingin menyetop penduduknya sampai 100 juta, dengan mempromosikan program KB. Maka sedikitnya 500 pejabat KB akan dikirim Bangladesh ke Indonesia untuk belajar selama 5 tahun mendatang. Bangladesh terutama mengekspor jute (untuk karung goni) dan teh. Pendapatan ekspornya sangat miskin, hingga defisit perdagangannya tahun ini ditaksir mencapai US$ 1,8 milyar (Rp 1.125 milyar). Dengan harga minyak dunia yang menggila terus, Bangladesh jelas terpukul. Masih untung negeri itu punya sumber gas alam yang akan dikembangkannya sebagai energi pengganti. Tapi betapa pun melaratnya, Bangladesh menjaga gengsi sebagai anggota non-blok. Pernah Dacca dianggap pro Soviet. Anggapan demikian kini tidak tepat lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus