DIA rajin pergi meninjau ke pedalaman -- seringkali harus jalan
kaki. Untuk berjalan itu, dia sudah terbiasa dan diakui "sangat
kuat" oleh para pengiringnya yang kehabisan napas. Dan dengan
berjalan jauh itu, dia berkesempatan melihat sendiri keadaan
rakyat Bangladesh, yang tergolong paling melarat di dunia.
Kalau tidak bepergian ke luar Jawa, Presiden Zia ur Rahman
suka bekerja keras sampai 14-16 jam sehari. Kerja keras, kerja
keras -- itulah pesannya selalu. Pesan itu diulanginya lagi
pekan ini untuk memperingati kelahiran Bangladesh 9 tahun lalu.
Tahun 1971, masih berpangkat mayor dalam Resimen Bengal Timur
ke-8 di Chittagong, Zia membuat pengumuman lewat radio -- suatu
pemberontakan terhadap Pakistan. Barisan tank dan pesawat perang
India kemudian menyerbu, membantu pemberontakan itu. Hingga
lahirlah suatu bangsa baru di bawah pimpinan Sheik Mujibur
Rahman.
Tapi Mujib, betapa pun dia dihormati rakyatnya, telah gagal
memulihkan keadaan ekonomi negeri itu. Pemimpin Liga Awami itu
bahkan memaksakan pemerintahan satu partai, yang otoriter
sifatnya. Agustus 1975, ketika suasana kekerasan masih bersisa,
segerombolan bersenjata membunuh Mujib dan keluarganya.
Itu adalah zaman Bangladesh masih menjadi perhatian pers dunia.
Zaman pergolakan itu sudah lewat. Belakangan ini jarang sekali
negara itu menjadi berita dunia. Memang keadaan politik stabil
di sana. Keadaan ekonominya pun semakin baik. Tidak terdengar
lagi rakyatnya kelaparan di bawah kepemimpinan Zia. Zia, yang
tadinya kembali ke tangsi militer, menonjol lagi sesudah
kematian Mujib. Tahun 1977, Zia menjadi presiden. Jabatan itu
diperkokohnya lewat pemilihan presiden setahun kemudian dengan
77% dari jumlah suara dimenangkannya. Dan Februari 1979,
Bangladesh National Party pimpinan Zia dalam pemilihan umum
memenangkan 207 dari semua 300 kursi Parlemen. Segera setelah
pemilu itu Zia mencabut berlakunya hukum darurat, sesuai dengan
apa yang dijanjikannya.
Ternyata Zia, letnan jenderal (purnawirawan), bisa bertahan --
dan roda pemerintahannya lancar -- tanpa hukum darurat itu.
Demokrasi diterapkannya secara nyata. Namun di Parlemen, memang
tidak ada ancaman berarti dari pihak oposisi. Partai oposisi
utama ialah Liga Awami -- peningalan Mujib tapi kepemimpinannya
tidak kuat.
Masih tinggal di kompleks tentara Zia tampaknya didukung para
jenderal. Ini penting di Bangladesh yang tentaranya disegani
dalam politik.
Pembangunan yang berarti di Bangladesh baru berlangsung sejak
1976. Sebelum itu, sama sekali tiada perencanaan. Tahun fiskal
1978/79, pertumbuhan ekonominya mencapai 4% Hingga laporan
terakhir Bank Dunia bernada optimistis. Banyak negara donor
bersedia membantunya. Lebih 70% dari anggaran pembangunannya
bergantung pada bantuan luar negeri, terutama dari Barat.
Banjir Atau kemarau
Ancaman tradisional bagi ekonomi Bangladesh itu hanya dua macam:
banjir atau kemarau. Tahun lalu kemarau itu sangat
mencemaskannya. Biasanya mengimpor 1,5 juta ton bahan pangan
setahun, pemerintahan Zia segera memutuskan untuk
melipatgandakan jumlah impor itu, guna mengatasi keadaan
bencana alam tadi. Maka selama 6 bulan sudah 2 juta ton diimpor.
Pelabuhan Chittagong 'tercekik' karena besarnya arus impor itu.
Bangladesh yang berpenduduk 85 juta buat sementara terhindar
dari kelaparan. Namun tingkat pertumbuhan penduduknya (sekitar
2,8%) masih terlalu tinggi, sedang kemampuan negara itu
menghasilkan pangan masih dipertanyakan. Antara laitn karena
pertaniannya masih sangat tergantung pada cuaca.
Namun Zia punya impian. Yaitu dua atau tiga tahun lagi
Bangladesh bisa cukup menghasilkan bahan pangan, tanpa
mengimpornya lagi, bahkan 5 tahun lagi Insyaallah bisa
mengekspornya. Walau sebagian orang di Dacca agak skeptis, zia
dengan impiannya berhasil membangkitkan enthusiasme bangsa.
Misalnya, Zia menggerakkan kampanye menggali kanal. Banyak
sungai di sana yang airnya hendak disalurkannya untuk keperluan
pertanian, dan supaya bertambah areal yang bisa ditanami. Zia
sendiri turut menyekop tanah bersama rakyat. Tenaga kerja yang
banyak itu diberi imbalan bahan pangan, tanpa upah berupa uang.
Dan tanpa alat-alat besar. Ini sungguh suatu "revolusi sekop,"
komentar orang.
Selain memperkenalkan padi unggul, pemerintahan Zia ingin
mendorong petani bertanam gandum. Dengan gandum, lebih sedikit
diperlukan air. Tanah di negeri itu subur.
Tapi Bangladesh sudah padat. Kepadatan penduduknya hampir sama
dengan di Jawa-Madura. Lebih 85% penduduknya hidup di pedesaan
dan sangat bergantung pada pertanian. Sebagian besar petaninya
tidak memiliki tanah, melainkan menyewa sawah-ladang atau
membagi hasil (50-50) dengan pemilik. Ditaksir hanya 29% dari
semua tanah yang bisa ditanami di sana dikerjakan sendiri oleh
pemiliknya.
"Jika penduduk Bangladesh jadi dua kali lipat yang sekarang pada
akhir abad ini," kata Zia tanpa bosan, "kita mungkin punah." Zia
ingin menyetop penduduknya sampai 100 juta, dengan mempromosikan
program KB. Maka sedikitnya 500 pejabat KB akan dikirim
Bangladesh ke Indonesia untuk belajar selama 5 tahun mendatang.
Bangladesh terutama mengekspor jute (untuk karung goni) dan
teh. Pendapatan ekspornya sangat miskin, hingga defisit
perdagangannya tahun ini ditaksir mencapai US$ 1,8 milyar (Rp
1.125 milyar).
Dengan harga minyak dunia yang menggila terus, Bangladesh jelas
terpukul. Masih untung negeri itu punya sumber gas alam yang
akan dikembangkannya sebagai energi pengganti.
Tapi betapa pun melaratnya, Bangladesh menjaga gengsi sebagai
anggota non-blok. Pernah Dacca dianggap pro Soviet. Anggapan
demikian kini tidak tepat lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini