TIDAK akan banyak kegiatan di gedung PBB, New York, selama awal
pekan bulan September. Sejumlah besar sekretaris dan penterjemah
dari situ lantas menerima tawaran untuk pergi ke Havana, ibukota
Kuba. Kenapa tidak? Pemerintahan Fidel Castro menyediakan
honorarium tinggi, sedang sekretariat PBB mengizinkan pula.
Castro memerlukan sebanyak mungkin tenaga terlatih dalam
konperensi internasional untuk KTT- non-blok yang dijadwalkan
3-7 September di Havana KTT sekali ini akan terbesar yang pernah
diadakan gerakan non-blok tapi terbesar pula koritroversinya.
Bahkan dicurigai bahwa KTT Havana akan membuat gerakan non-blok
tidak murni lagi tujuannya.
Kini ada 86 negara--masih mungkin bertambah--yang menyatakan
dirinya non-blok, dibanding hanya 25 anggotanya ketika di
Beograd, ibukota Yugoslavia, KTT-nya pertama kali
diselenggarakan September 1961. Presiden Yugoslavia Josip Broz
Tito kini satu-satunya tokoh pendiri gerakan non-blok yang masih
hidup. Dalam usianya yang 87 tahun, Tito pun turut cemas
menjelang KTT Havana.
Adalah almarhum Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India, yang
diakui pertama kali mencetuskan gagasan nonblok pada 28 April
1954 dalam konperensi Kolombo. "Masalah utama dunia sekarang
adalah berkepanjangannya 'Perang Dingin' antara dua blok
negaranegara besar. Hampir semua negara yang hadir di konperensi
ini mencoba mengikuti suatu politik non-blok dengan blok
kekuatan besar ini dan menjalankan hidup mereka sesuai dengan
keinginan sendiri tanpa pengaruh atau paksaan asing," kata Nehru
di Kolombo itu.
Konperensi Kolombo inilah yang mendahului Konperensi Asia-Afrika
pril 1955 yang melahirkan Dasa Sila Bandung yang terkenal.
Sepuluh prinsip ini kemudian mendasari gerakan non-blok. ebagai
satu-satunya alternatif lain di samping blok Kapitalis dan
Sosialis, gerakan non-blok di awal masa kelahirannya pernah
merupakan kekuatan yang hebat dan memainkan peran penting dalam
percaturan politik dunia.
Tapi itu cerita dulu. Setelah 18 tahun, sulit mengatakan gerakan
nonblok ini masih utuh. Para anggotanya terpecah dengan
mundurnya rasa solidaritas dan menonjolnya kepentingan nasional
masing-masing.
Bahasa Komunis
KTT Havana jelas akan dipayungi bayangan perpecahan ini. Terlalu
banyak masalah yang diselesaikan dengan kompromi sementara yang
hanya merupakan penyelesaian semu. Itu tercermin dalam pertemuan
tingkat menteri Biro Koordinasi Negara Non-Blok awal Juni lalu
di Kolombo yang mempersiapkan KTT Havana.
Dua masalah mendominasi pertemuan Kolombo. Yaitu siapa yang
berhak mewakili Kambodia dan usul pembekuan Mesir dari
keanggotaan non-blok. Kompromi sementara yang hanya berlaku
untuk Kolombo: wakil Pol Pot menduduki kursi Kambodia tapi
dengan hak partisipasi terbatas, tanpa hak berbicara kecuali
kalau diserang. sul pembekuan Mesir tidak berhasil disele
saikan pertemuan Kolombo dan akan di bawa ke Havana.
Apa yang akan terjadi di Havanai Kuba sebagai tuan rumah
belakangan ini menunjukkan sikap rendah dan menahan diri. Ini
tampaknya untuk tidah mengundang serangan terutama dari beberapa
negara Afrika yang pernah gusar karena campur tangan Kuba dengan
mengirimkan pasukannya ke Afrika.
Awal Juli lalu Kuba mengirim rencana deklarasi akhir KTT pada
semua peserta. Menurut Wapres Adam Malik rencana itu bersifat
terlalu umum tapi disusun dengan "bahasa komunis".
Kabarnya Presiden Tito gusar karena dalam rencana deklarasi itu
Kuba mengaitkan non-blok "yang mempunyai ikatan alamiah dengan
masyarakat Sosialis." Ini dianggap usaha membelokkan prinsip
non-blok. Ditambah lagi dengan adanya usaha Uni Soviet untuk
membagi anggota gerakan ini dalam kelompok "progresif" dan
"reaksioner."
Untuk mempertahankan kemurnian non-blok, Tito beberapa bulan
terakhir ini giat menggalang dukungan suara dengan mengunjungi
Uni Soviet, Irak, Siria, Kuwait, Yordania, Aljazair, Libia dan
Malta. Ia juga mengirim berbagai erutusan, antara lain ke Asia
Tenggara termasuk Indonesia.
"Sikap dasar yang akan dibawa delegasi Rl ke KTT Havana ialah
memperjuangkan kembalinya non-blok pada kemurnian semangat dan
tujuan gerakan non-blok," kata Presiden Soeharto dalam pidato
kenegaraan 16 Agustus lalu. Ia juga menekankan perlunya
penekanan perjuangan ini pada usaha pembentukan Tata Ekonomi
bunia Baru.
Setelah 18 tahun melewati pasang surut, tampaknya gerakan
non-blok ingin memasuki lembaran baru. Makin disadari,
perjuangan politik harus diimbangi perjuangan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini