SEKITAR 1000 pengungsi saatini mendiami pusat penampungan di
pulau Galang. Mereka menghuni 10 barak berdinding kayu, beratap
seng gelombang yang selesai dibangun akhir Juni lalu. Mereka
segera akan ditemani sekitar 11.000 pengungsi lain yang sekarang
ditampung di pulau Bintan, kalau saja 100 barak lain selesai
September mendatang.
Pembangunan barak, dilakukan oleh kontraktor PT Karya Titan yang
mendatangkan alat-alat besar untuk membabat hutan dan meratakan
tanah. Dari mana biayanya?
"Semula kita menyediakan modal dan tenaga. Sekarang biaya
ditanggung UNHCR," kata Laksma Kunto Wibisono. Kabarnya pihak
kontraktor mengajukan harga Rp 7,5 juta untuk tiap barak
termasuk pematangan tanah. UHCR kemudian meminta beberapa
tambahan, seperti lantai agar diplester, kamar mandi dan kakus
serta batas dinding untuk tiap keluarga.
Sampai pertengahan Agustus lalu baru 14 barak selesai. Sebuah
tempat penampungan air sedang dibangun di atas bukit tengah
pulau itu. Rencananya air sungai akan disedot, disaring dan
kemudian disalurkan ke barak-barak untuk air minum. Air sumur
arteris mengarami kesulitan rupanya, karena harus digali dalam
sekali di pulau yang kering itu Maka para pengungsi kini memakal
sungai itu untuk minum, mandi, dan cuci pakaian sekaligus.
Tampaknya pulau ini terlalu buru-buru dihuni. Belum semua
perlengkapan yang layak tersedia. Semua kebutuhan pangan dan
sebagainya harus diangkut dengan perahu dari Tanjung Pinang.
Rencananya para pedagang Tg. Pinang akan diijinkan masuk untuk
membuka usaha di pulau ini.
Tapi terbatasnya prasarana yang tersedia tampaknya tidak membuat
kecil hati para pengungsi.
"Yang penting kita bisa keluar dari Vietnam," kata Tran ba
Phuoe, 35 tahun, bekas letnan laut yang menakhodai kapal yang
mengangkut 262 rekannya, dan tiba di pulau Mapua akhir Juni
lalu. Kapal ukuran 22 ton ini sempat mampir di Malaysia. Hanya
semalam mereka diusir para petugas keamanan Malaysia yang juga
merampas semua peta mereka.
Untuk mengurus kesehatan, 2 dokter yang ikut mengungsi, dr.
Nguyen Xuan Mai dan dr. Trang Bach Lien bertugas hampir
sepanjang hari. "Sakit perut dan gatal-gatal banyak sekali,"
kata dr. Trang Bach Lien. Di atas kertas sobekan buku yang harus
disediakan pasien sendiri, dokter menulis resep untuk ditukar
obat yang dikirim ke tempat itu seminggu sekali. Walau bekerja
berat, kedua dokter itu tampak gembira. "Hidup di sini lebih
senang ketimbang Vietnam," kata mereka. Yang mereka keluhkan ada
juga. "Air bersih kurang dan para pengungsi sendiri tldak
disiplin," kata dr. Lien.
Kekurangan pusat penampung pengungsi Galang -- yang terletak 2
km dari rencana lokasi pusat pemrosesan--diakui Kunto Wibisono.
Tempat itu akan layak bagi pengungsi bila semua barak serta
kantor tim negara penerima dan peralatan pemrosesan lain selesai
dibangun. Termasuk ai minum.
Keterbatasan kemampuan angkutan juga belum memungkinkan segera
dipindahkannya para pengungsi yang terserak di 14 tempat
penampungan ke Galang. Sekitar 100 pengungsi yang ada di Galang
dipindahkan sejak opstar mulai berfungsi 1 Juli lalu.
Opstar tampaknya berhasil menghadang mengalirnya lebih banyak
peng ungsi ke Riau. Di samping tentu saja tindakan tegas
pemerintah Vietnam yang menyetop membanirnya peng ungsi keluar.
Banjir pengungsi terbesar terjadi antara 11-30 Juni. Sekitar
14.000 orang masuk Riau selama 3 minggu itu. Sedang sejak Juli
hanya 3.500 orang yang berhasil masuk. Kapal pengungsi yang
dipergoki armala opstar segera diusir keluar.
Tampaknya para pejabat Riau sudah cukup lama menderita
kepusingan berkat kedatangan pengungsi ini. "Kalau bisa, masalah
ini segera selesai agar kita dapat memusatkan perhatian pada
tugas sehari-hari," kata Wibisono. Laksamana yang tinggi tegap
itu mengharapkan agar pusat pemrosesan itu segera bisa
berfungsi. "Supaya tenaga hsa dihemat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini