Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Duta Besar Vincent Piket: Tidak Ada Diskriminasi Minyak Sawit

Uni Eropa menegaskan tidak ada diskriminasi minyak sawit, di tengah meningkatnya tensi dengan Indonesia dan Malaysia.

25 Januari 2023 | 20.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja memuat tandan buah kelapa sawit untuk diangkut dari tempat pengumpul ke pabrik CPO di Pekanbaru, provinsi Riau, 27 April 2022. Jokowi terpaksa mengambil kebijakan ini karena kelangkaan dan melonjaknya harga minyak goreng yang tak kunjung selesai hingga empat bulan lamanya. REUTERS/Willy Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Uni Eropa meyakinkan tidak ada diskriminasi minyak sawit, di tengah meningkatnya tensi dengan Indonesia dan Malaysia menyusul kebijakan ketat blok Benua Biru berkaitan dengan deforestasi. Indonesia dan Malaysia adalah produsen komoditas kelapa sawit di Asia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tidak ada diskriminasi terhadap minyak sawit. Tidak ada larangan untuk negara atau komoditas apa pun: Semua negara dapat terus menjual komoditas mereka di pasar Uni Eropa, jika operator (yaitu mereka yang menempatkannya di pasar Uni Eropa) dapat menunjukkan bahwa komoditas tersebut bebas deforestasi dan legal," kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket pada Rabu, 25 November 2023, memberikan klarifikasi mengenai masalah ini kepada Tempo.

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket/Uni Eropa

Kebijakan Uni Eropa soal deforestasi dan degradasi hutan disepakati pada awal Desember lalu. Ketika aturan baru mulai berlaku, semua perusahaan terkait harus melakukan uji tuntas yang ketat jika barang mereka ingin ditempatkan di pasar Uni Eropa atau mengekspor darinya. 

Komoditas yang dimaksud, di antaranya minyak kelapa sawit, sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet serta produk turunannya (seperti daging sapi, furnitur, atau coklat). Undang-undang tersebut menimbulkan protes dari Indonesia dan Malaysia, produsen utama minyak sawit. 

Secara terpisah, Indonesia dan Malaysia telah meluncurkan pengaduan ke WTO. Peraturan Uni Eropa tersebut dianggap diskriminatif dan merupakan hambatan perdagangan.

Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, saat pertemuan bilateral di Istana Bogor pada awal bulan ini sepakat untuk memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit" dan memperkuat kerja sama melalui Dewan Negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC).

Malaysia, melalui Menteri Komoditas Fadillah Yusof, bahkan menyatakan sekitar dua pekan lalu pihaknya berpeluang setop ekspor komoditas itu ke Uni Eropa. Kementerian Perdagangan RI belum memberikan tanggapan saat dimintai keterangan mengenai kebijakan deforestasi Uni Eropa ini.

Piket dalam pernyataannya mengatakan, peraturan deforestasi dan degradasi hutan tersebut akan berlaku pada akhir 2024 atau pertengahan 2025. Oleh karena itu, Uni Eropa telah merencanakan kerja sama dengan mitra untuk mempersiapkan implementasi peraturan tersebut. 

Menurut Piket, Uni Eropa akan menerbitkan pedoman kepatuhan operator dan pedagang, khususnya UKM, untuk persyaratan peraturan ini. Piket menuturkan, Komisi Eropa juga akan terlibat dalam dialog khusus dengan negara-negara yang sedang atau rentan diklasifikasikan sebagai berisiko tinggi, dengan tujuan untuk mengurangi tingkat risikonya.

"Uni Eropa akan bekerja sama dengan pemerintah dan sektor swasta untuk membantu menunjukkan legalitas komoditas lain dan mendokumentasikan persyaratan bebas deforestasi untuk semua komoditas," kata Piket, dengan mencatat bahwa Indonesia memiliki keuntungan yang signifikan untuk kayu dan produk turunannya karena sistem legalitas FLEGT.

Aktivis lingkungan menyalahkan industri kelapa sawit atas maraknya pembukaan hutan hujan Asia Tenggara. Indonesia dan Malaysia telah membuat standar sertifikasi keberlanjutan wajib untuk semua perkebunan.

Menurut data Dewan Minyak Sawit Malaysia, Uni Eropa adalah konsumen minyak sawit terbesar ketiga di dunia. Badan supranasional benua biru itu menyumbang 9,4 persen dari ekspor minyak sawit dari Malaysia, dengan 1,47 juta ton pada 2022. Angka itu turun 10,5 persen dari tahun sebelumnya.

Permintaan Uni Eropa untuk minyak sawit diperkirakan akan menurun secara signifikan selama 10 tahun ke depan bahkan sebelum undang-undang baru disetujui. Pada 2018, arahan energi terbarukan Uni Eropa mengharuskan penghapusan bahan bakar transportasi berbasis kelapa sawit secara bertahap pada 2030 karena dianggap terkait dengan deforestasi.

DANIEL A. FAJRI | REUTERS

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini

Daniel Ahmad Fajri

Daniel Ahmad Fajri

Bergabung dengan Tempo pada 2021. Kini reporter di kanal Nasional untuk meliput politik dan kebijakan pemerintah. Bertugas di Istana Kepresidenan 2023-2024. Meminati isu hubungan internasional, gaya hidup, dan musik. Anggota Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus