Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai Lira Turki turun ke rekor terendah pada Senin, 20 Desember 2021, meskipun ada intervensi bank sentral senilai 6 miliar dolar bulan ini, setelah Presiden Tayyip Erdogan menggandakan kebijakan suku bunga rendahnya yang tidak ortodoks dengan mengacu pada ketentuan anti-riba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dorongan presiden untuk penurunan suku bunga sebesar 500 basis poin sejak September telah memicu krisis mata uang terburuk Turki dalam dua dekade, dengan lira jatuh 35 persen dalam 30 hari terakhir.
Mata uang jatuh ke 17,6 terhadap dolar, terendah sepanjang masa, dan berada di 17,44 pada pukul 10.47.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erdogan membela kebijakan ekonominya dan menyamakan volatilitas mata uang dengan serangan terhadap ekonomi negara yang berakar pada protes nasional 2013, yang dimulai di Taman Gezi Istanbul.
"Kami menurunkan suku bunga. Jangan mengharapkan apa-apa lagi dari saya. Sebagai seorang Muslim, apapun (ajaran Islam) mengharuskan saya akan terus melakukan itu," katanya mengacu pada keuangan Islam di mana bunga tinggi atau riba dihindari, Minggu.
Terlepas dari kritik meluas dan dampak yang cepat terhadap ekonomi - termasuk pendapatan dan tabungan Turki yang turun dengan cepat - Erdogan terus maju dengan apa yang disebutnya program ekonomi baru yang memprioritaskan ekspor dan pinjaman.
Di bawah tekanan dari presiden, bank sentral memangkas suku bunga lagi pekan lalu sebesar 100 poin, mengirim suku bunga riil lebih dalam ke wilayah negatif, sebuah bendera merah bagi investor dan penabung.
Inflasi melonjak menjadi 21 persen bulan lalu dan diperkirakan akan melewati 30 persen tahun depan. Ekonom dan anggota parlemen oposisi mengatakan pelonggaran moneter yang cepat itu sembrono dan telah membuat harga impor melonjak.
Lira telah kehilangan lebih dari setengah nilainya tahun ini dan sejauh ini merupakan yang berkinerja terburuk di antara mata uang lainnya selama tiga tahun berturut-turut, sebagian besar karena kredibilitas moneter yang rusak, kata para analis.
Dalam upaya untuk memperlambat penjualan dan mengatasi apa yang disebutnya harga "tidak sehat", bank sentral telah melakukan intervensi lima kali bulan ini. Perhitungan bankir menunjukkan telah menjual lebih dari $6 miliar atau Rp86,4 triliun dari cadangan devisa yang semakin menipis.
REUTERS