Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalanan di Distrik Central, pusat bisnis dan keuangan di Hong Kong, hampir tak menyisakan celah terbuka, Selasa pekan lalu. Sekitar 500 ribu orang yang memadatinya, di tengah hujan deras, meneriakkan slogan anti-Beijing. Mereka berarak dari Victoria Park, yang berjarak sekitar lima kilometer.
Aksi demonstrasi itu merupakan pernyataan warga Hong Kong menuntut pemilihan pemimpin kota secara demokratis. Protes ini tergolong yang terbesar setelah Hong Kong diserahkan dari Inggris kepada pemerintah Cina pada 1 Juli 1997. "Unjuk rasa ini bukan untuk kita. Ini untuk anak-anak kita. Tanpa hak pilih universal, tidak ada cara untuk memonitor pemerintah," kata Ip Kam-fu, Ketua Serikat Kantor Pos Hong Kong, yang ikut dalam barisan pengunjuk rasa, seperti dilansir Al Jazeera.
Warga Hong Kong merasa kecewa terhadap pemerintah Cina, yang mereka anggap melanggar aturan khusus tentang otonomi luar biasa kota itu, yang berlaku 50 tahun. Panitia penyelenggara mengatakan unjuk rasa kali ini dipusatkan pada usaha menekan pemerintah Cina untuk memberikan kebebasan dalam memilih pemimpin Hong Kong.
Aksi dilakukan setelah warga Hong Kong menggelar referendum tak resmi yang diikuti 792.808 warga pekan lalu. Referendum yang digagas gerakan prodemokrasi Occupy Central ini mengajak warga menggunakan hak pilih lewat situs popvote.hk. Pemungutan suara secara online berlangsung 10 hari, mulai 20 Juni dan berakhir 29 Juni 2014.
"Saya pikir kita melihat beberapa tanda pemerintah Cina memahami bahwa referendum sipil, meskipun tak resmi, adalah ekspresi dari opini publik yang perlu dipertimbangkan secara serius," kata Benny Tai, profesor hukum di Universitas Hong Kong, yang memimpin gerakan Occupy Central, seperti dilansir The New York Times.
Aksi itu berbuntut penangkapan terhadap ratusan pengunjuk rasa oleh polisi. Sehari setelah referendum, 511 orang ditahan karena dinilai mencegah polisi menjalankan tugas membubarkan kerumunan di Chater Road, jantung bisnis Hong Kong.
Dalam referendum itu partisipan diminta memilih satu di antara tiga proposal yang akan digunakan untuk memilih pemimpin pada 2017. Tiga proposal yang disodorkan terkait dengan hak warga Hong Kong untuk menentukan sendiri kandidat kepala eksekutif, semacam gubernur, sebelum diajukan ke pemerintah pusat.
"Hasilnya cukup menggembirakan. Orang-orang telah melakukan yang terbaik untuk menunjukkan aspirasi mereka secara demokratis dan berjuang melindungi hak politik mereka," kata Joseph Cheng Yu-shek, Ketua Aliansi untuk Demokrasi Sejati. Jumlah pemilih dalam referendum mencapai 22,4 persen dari 3,51 juta pemilih terdaftar.
Di antara tiga opsi yang diajukan kelompok masyarakat sipil, pilihan yang paling populer adalah masyarakat, partai politik, dan komite nominasi harus bersama-sama menyusun daftar kandidat menjelang pemilihan langsung pertama kepala eksekutif Hong Kong pada 2017. Dari para pemilih, sekitar 10 persen dari populasi Hong Kong, 88 persen mengatakan parlemen kota, Dewan Legislatif, harus memveto reformasi yang diagendakan Beijing.
Pelaksanaan referendum sebenarnya dipicu sikap pemerintah Cina melalui Pusat Informasi Dewan Negara Partai Komunis Cina, yang mengeluarkan dokumen berupa "buku putih" pada 10 Juni 2014. Dokumen ini menjelaskan pelaksanaan konsep "satu negara dengan dua sistem pemerintahan", yang menetapkan Hong Kong hanya berhak menjalankan urusan lokal berdasarkan persetujuan pemerintah pusat. Beijing juga menegaskan kewenangannya mengatur hak Hong Kong dalam menjalankan pemerintahan. Pernyataan ini memicu kemarahan warga Hong Kong.
Sejak dikembalikan Inggris, Hong Kong merupakan daerah administrasi khusus. Di bawah kebijakan "Satu Negara Dua Sistem", Hong Kong memiliki otonomi sendiri dalam sistem mata uang, hukum, bea-cukai, imigrasi, dan peraturan jalan hingga kebebasan berbicara. Masalah pertahanan nasional dan hubungan diplomatik tetap di bawah kendali Cina.
Seorang juru bicara pemerintah Cina, yang dilansir South China Morning Post, mengatakan perjuangan warga Hong Kong melalui referendum tak memiliki dasar hukum. Menurut juru bicara yang tak disebutkan namanya ini, referendum bertentangan dengan undang-undang yang mengatur kehidupan politik rakyat Hong Kong. Ia menegaskan, penetapan kepala eksekutif harus dipilih komite nominasi.
Secara garis besar, referendum bertujuan meminta pemerintah Cina memberikan tempat bagi calon pemimpin Hong Kong yang berasal dari rakyat Hong Kong sendiri tiga tahun mendatang. Jika ditolak, mereka mengancam akan memblokade sebuah distrik yang menjadi jantung ekonomi kota. "Kami berharap, lewat referendum ini, pemerintah (Cina) bisa memahami bagaimana tuntutan kuat masyarakat dan lebih banyak melakukan pertimbangan ketika akan membuat keputusan," ujar Benny Tai.
Pemerintah Cina sebenarnya telah menjanjikan Hong Kong dapat menggelar pemilihan umum pada 2017. Namun, menurut ketetapan, warga Hong Kong hanya bisa memilih dari daftar kandidat yang diajukan komite di Cina.
Rosalina (Channel News Asia, BBC, Reuters, Al Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo