Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denni P. Purbasari*
Salah satu agenda penting yang tidak bisa tidak harus dijalankan presiden mendatang adalah mengatasi ketimpangan pendapatan. Seperti banyak diberitakan, indeks Gini (salah satu indikator ketimpangan pendapatan) meningkat dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2013. Secara lebih spesifik data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 40 persen penduduk berpendapatan terendah hanya menerima 16,9 persen dari total pendapatan nasional pada 2013—turun dari 20,8 persen pada 2004. Sebaliknya, 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi menerima kue pendapatan nasional yang semakin besar, dari 42,1 persen pada 2004 menjadi 49 persen pada 2013.
Meskipun demikian, memburuknya indeks Gini tidak berarti bahwa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, karena baik yang kaya maupun yang miskin semuanya tumbuh—tapi dengan laju yang berbeda. Sejak 2004 sampai 2012, misalnya, 20 persen penduduk terkaya mengalami peningkatan pendapatan riil rata-rata 3,4 persen per tahun. Sedangkan 20 persen penduduk termiskin hanya mengalami peningkatan pendapatan 1,3 persen per tahun. Angka ini semakin timpang bila dibandingkan dengan laju pertumbuhan pendapatan penduduk 1 persen terkaya, yang mencapai 6 persen per tahun. Walhasil, jarak kesejahteraan di antara dua kelas ini semakin lebar.
Lantas apa solusinya agar ketimpangan pendapatan menurun? Secara ringkas, ada dua solusi. Pertama, mengoreksi sistem pajak/subsidi yang ada. Kedua, merealokasikan belanja negara pada sektor-sektor atau kegiatan yang memampukan si miskin.
BPS mencatat jumlah tenaga kerja di Indonesia pada 2012 sebanyak 110 juta orang—76 persen di antaranya bekerja di sektor informal. Dari 110 juta pekerja ini, yang punya penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) pada 2012 sebesar 60 juta orang. Dari jumlah ini, yang mendaftarkan diri sebagai wajib pajak hanya 20 juta orang, dan dari jumlah ini yang membayar pajak atau melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak penghasilannya (PPh) hanya 8,8 juta orang.
Untuk badan usaha, nasibnya kurang-lebih sama. Dari yang terdaftar sebanyak 5 juta, badan usaha yang mendaftar sebagai wajib pajak hanya 1,9 juta dan membayar pajak atau melaporkan SPT PPh hanya 520 ribu badan usaha (Manurung, 2013). Kesimpulannya: masih banyak orang ataupun badan usaha yang belum membayar pajak.
Dengan PTKP sebesar Rp 24,3 juta setahun, seorang karyawan yang bekerja di sektor formal dengan penghasilan Rp 2,1 juta per bulan (atau Rp 70 ribu per hari) akan terkena pajak 5 persen. Pertanyaannya adalah apakah wirausahawan yang memiliki usaha di sektor informal dengan penghasilan bersih di atas Rp 70 ribu per hari sudah ditarik pajaknya? Prinsip keadilan pajak mengatakan orang dengan kemampuan ekonomi sama (berbeda) semestinya pajaknya sama (berbeda) dan pajak semestinya didistribusikan di antara pembayar pajak berdasarkan kemampuan membayarnya.
Berpegang pada prinsip ini, wirausahawan di sektor informal yang berpenghasilan bersih Rp 70 ribu per hari semestinya membayar pajak sama besar seperti mereka yang bekerja di sektor formal dengan penghasilan yang sama. Sayangnya, diskursus yang ada di masyarakat acap membela atau melindungi sektor informal secara tidak proporsional. Sektor informal memang berjasa dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Namun harus diakui bahwa sektor ini juga berkontribusi dalam penghindaran pajak. Kita sering underestimate terhadap profitabilitas sektor informal. Padahal banyak di antaranya memiliki omzet Rp 2-10 juta per hari dan menangguk untung di atas Rp 70 ribu per hari, tapi si empunya usaha tidak membayar pajak penghasilan sepeser pun.
Mengagendakan reformasi pajak di sektor informal memang tidak populer. Padahal menarik pajak dari mereka yang mampu—di sektor formal ataupun informal—merupakan keniscayaan dari suatu negara yang ingin menciptakan keadilan sosial. Apa yang sudah diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan menarik pajak penghasilan untuk usaha kecil-menengah sudah tepat dan perlu diintensifkan, bahkan diperluas oleh pemerintah berikutnya. Terkait dengan ini, Indonesia dapat melihat reformasi pajak yang dilakukan di Brasil dan Meksiko.
Selain itu, reformasi pajak harus menyentuh badan usaha atau mereka yang bekerja di sektor formal dan yang sudah membayar pajak. Tujuannya untuk memastikan jumlah pajak yang dibayarkan tepat serta proses klarifikasi, pembetulan, pemeriksaan, hingga pada pengadilan berjalan dengan baik. Kerja sama Direktorat Jenderal Pajak dengan Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, serta Direktorat Jenderal Imigrasi juga perlu ditingkatkan.
Beralih ke soal belanja negara, mempertahankan subsidi bahan bakar minyak dan pupuk seperti sekarang adalah keliru. Sebab, semakin kaya seseorang, semakin banyak jumlah BBM yang dikonsumsi. Begitu juga pupuk: semakin kaya seorang petani, semakin banyak pupuk yang dia gunakan karena berbanding lurus dengan luas lahan yang dimiliki. Artinya, subsidi-subsidi semacam ini lebih menguntungkan si kaya. Apa yang dilakukan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral baru-baru ini dengan menaikkan tarif tenaga listrik sudah tepat. Namun diskriminasi di antara perusahaan publik dan privat pada golongan industri I-3 semestinya dihapuskan.
Untuk mengamankan fiskal, menjaga ekspektasi pasar terhadap rupiah, dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang diwacanakan, imperatif bagi siapa pun Presiden Indonesia mendatang untuk segera menaikkan harga BBM, kalau perlu pada tahun ini juga. Saat ini subsidi BBM dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2014 mencapai Rp 350 triliun atau 19 persen dari belanja negara—lebih besar daripada belanja infrastruktur. Sedihnya, untuk menyediakan dana bagi subsidi BBM ini, belanja infrastruktur terpaksa dipangkas dalam APBN-P. Jadi bukan hanya aspek keadilan ekonomi yang memburuk, efisiensi ekonomi juga tergerus.
Menaikkan harga BBM sesungguhnya bukanlah bunuh diri secara politik. Mengapa? Sebab, bila harga semua jenis BBM dinaikkan Rp 2.000 per liter, dalam setahun pemerintah dapat menghemat anggaran subsidi BBM sekitar Rp 100 triliun. Dengan uang ini, pemerintah dapat mendanai program atau kegiatan pro-poor, seperti meningkatkan elektrifikasi serta membangun atau menyediakan jalan, jembatan, irigasi, dermaga laut/sungai, pelabuhan pendaratan ikan, sanitasi, air bersih, transportasi publik, pasar, pendidikan, kesehatan, kredit, berikut pendampingan dan penyuluhan—secara lebih targeted—baik kepada individu, rumah tangga, komunitas, maupun wilayah yang membutuhkan.
Seperti dilihat, alokasi-alokasi di atas sama-sama memiliki nilai populis, seperti subsidi BBM. Hanya, sekarang alokasinya lebih menyasar pada kelompok miskin. Menariknya, alokasi-alokasi ini juga pro-growth, karena semuanya dapat meningkatkan kapasitas produktif dan mendorong produktivitas—setidaknya dalam jangka panjang. Jadi, semakin cepat pemerintah yang akan datang menaikkan harga BBM, semakin panjang waktu yang tersedia bagi mereka untuk dapat mengimplementasikan program dan kemudian mengklaim hasilnya.
Jika demikian, apa lagi yang ditunggu?
*)Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo