Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Presiden Iran dijadwalkan digelar Jumat, 28 Juni 2024. Kampanye yang makin memanas telah menciptakan dinamika politik yang intens di tengah masyarakat, mencerminkan ketegangan internal rezim. Serta perbedaan pandangan di kalangan pemilih muda yang memainkan peran krusial dalam pesta demokrasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Para Pejabat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 21 Juni, pemimpin shalat Jumat di Arak, Ghasem Abdollahi, menyampaikan kritik keras terhadap apa yang disebutnya "munafik" yang merujuk pada Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (PMOI/MEK).
"Diskusi singkat mengenai para munafik: Jika bukan karena mereka, Revolusi Islam, sebagaimana yang dirancang oleh Imam Khomeini, akan berjalan sesuai rencana. Namun, musuh telah menyerang, dan tentu saja pukulan dari para munafik kadang-kadang menghentikan jalur yang dinamis yang kita mulai," kata Ghasem Abdollahi seperti dikutip dari NCRI.
Abdollahi mengklaim bahwa PMOI bertanggung jawab atas kematian 176.000 pasukan rezim dan terus beroperasi hingga hari ini. Ia mengimbau masyarakat untuk waspada dan mengenali ancaman ini menjelang pemilu. Abdollahi juga menekankan pentingnya partisipasi dalam pemilu, menolak narasi yang menyatakan bahwa pemilu telah direkayasa.
Di Ilam, pemimpin shalat Jumat, Allahnoor Karimitabar, menegaskan bahwa "munafik" berusaha menyusup ke markas pemilu dan menciptakan polarisasi.
"Para munafik berupaya untuk menyusup ke markas kampanye pemilu dan menciptakan polarisasi. Kita perlu meningkatkan kampanye iklan dan motivasi untuk pemilu," ujarnya.
Ia mengajak pendukung setiap kandidat untuk memperkuat kampanye mereka tanpa merendahkan kandidat lain. Karimitabar menyebut bahwa presiden selanjutnya harus melanjutkan jalur yang telah ditempuh oleh presiden syahid, Ebrahim Raisi.
Perwakilan Khamenei di Mashhad, Ahmad Alamolhoda, menekankan bahwa kedekatan dengan kepemimpinan adalah kriteria terpenting dalam proses pemilu. Ia mengajak masyarakat untuk memilih kandidat yang mendukung kepemimpinan dan memastikan publik juga menyadari pentingnya hal ini.
"Apa yang harus kita perhatikan adalah kelanjutan dan pengembangan mazhab pemikiran Haji Qassem (Komandan Pasukan Quds IRGC Qassem Soleimani) setelah kesyahidannya, yang terlihat jelas dalam manajemen eksekutif dan kemajuan Syuhada Ayatullah Raisi," tegas Alamolhoda.
Kritik Terhadap Kandidat
Di tengah ketegangan ini, media pemerintah seperti surat kabar Ebtekar mengkritik slogan kandidat presiden, menyebutnya sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan pahit yang dialami rakyat Iran. Kritik tajam ini mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap janji-janji yang dianggap tidak realistis dan hanya muncul saat kampanye.
Surat kabar Shargh juga mengkritik perdebatan pemilu untuk Presiden Iran baru yang dianggap mempromosikan model politik yang salah kepada pemuda religius, mengajarkan bahwa dalam politik, tindakan sembrono dan fitnah adalah hal yang wajar. Hal ini memperkuat sentimen bahwa para kandidat hanya memperburuk situasi dengan janji-janji kosong dan retorika berlebihan.
Bentrokan Dalam Kampanye
Di Kashan, pidato mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif menjadi sorotan setelah terjadi bentrokan fisik saat ia berbicara mendukung Masoud Pezeshkian. Pendukung faksi saingan mengganggu pidato Zarif dengan mengangkat gambar Ebrahim Raisi, menyebabkan keributan. Zarif, yang menghadapi tuduhan sebagai "pembohong", dengan tegas membela dirinya dan menegaskan dukungannya kepada pemimpin tertinggi.
Pemilu dan Generasi Muda
Di sisi lain, pengaruh pemilih muda semakin tampak jelas. Seperti yang diungkapkan dalam laporan Reuters, perbedaan pendapat antara Atousa dan Reza, dua pemuda Iran yang memilih jalan yang berbeda setelah protes tahun 2022, mencerminkan perpecahan dalam masyarakat yang akan mempengaruhi hasil pemilu ini.
Atousa memilih untuk tidak memberikan suara, menganggap pemilu sebagai lelucon yang tidak memiliki makna nyata. Atousa, yang kehilangan mimpinya menjadi arsitek setelah diusir dari universitas karena ikut dalam protes, merasa bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan yang diinginkannya.
"Mengapa saya harus memilih ketika saya ingin rezim ini digulingkan?" kata Atousa kepada Reuters.
Sebaliknya, Reza, anggota milisi Basij, merasa bahwa memberikan suara adalah tugas religiusnya untuk memperkuat sistem yang ada. Ia bertekad untuk mendukung kandidat garis keras yang mendukung ekonomi "perlawanan" Khamenei, meskipun perekonomian negara dilanda mismanajemen, korupsi, dan sanksi internasional.
REUTERS | NCR.IRAN.ORG
Pilihan editor: Ini Enam Kandidat Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad Gagal Lolos