Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jepang Serukan Negara G20 Berkolaborasi Berantas Sampah Plastik

Jepang mengusulkan kerangka kerja untuk tindakan sukarela setiap anggota G20 dalam mengatasi sampah plastik laut.

15 Juni 2019 | 21.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Lingkungan Hidup Jepang Yoshiaki Harada mengajak negara anggota G20 berkolaborasi secara sukarela mengatasi sampah plastik saat membuka membuka Sesi Lingkungan pada pertemuan tingkat menteri negara-negara anggota G20 di Prince Hotel, Karuizawa, Nagano, Jepang, Sabtu siang, 15 Juni 2019.[JAJANG JAMALUDDIN/TEMPO]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Karuizawa-Pemerintah Jepang menyerukan agar negara anggota G20 bekerja sama memerangi sampah plastik yang terus mencemari laut tanpa mengenal batas teritorial negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Lingkungan Hidup Jepang Yoshiaki Harada mengatakan pencemaran laut oleh sampah plastik tak hanya berdampak negatif pada industri perikanan dan sektor pariwisata di seluruh dunia. Sampah plastik juga memicu kekhawatiran tentang dampak potensial terhadap kesehatan manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kita perlu mengatasi tantangan global ini melalui kolaborasi semua negara, tak hanya negara maju tetapi juga negara berkembang,” kata Harada ketika membuka Sesi Lingkungan pada pertemuan tingkat menteri negara-negara anggota G20 di Prince Hotel, Karuizawa, Nagano, Jepang, Sabtu siang, 15 Juni 2019.

Delegasi dari negara-negara G20 dan lembaga internasional berkumpul selama dua hari, pada 15-16 Juni 2019, di kawasan resor Karuizawa, sekitar 190 kilometer ke arah Barat Laut dari Tokyo. IIni merupakan pertemuan pertama yang dihadiri menteri bidang energi dan lingkungan dari masing-masing negara G20.

Dalam pertemuan bertema “Energy Transition and Global Environment for Sustainable Development” ini, Indonesia diwakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, serta Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar.

Akhir-akhir ini, Jepang memang gencar mengkampanyekan penanggulangan sampah laut, terutama dari pencemaran sampah plastik.

Tak hanya di lautan, Jepang juga menghadapi tantangan besar soal sampah plastik di daratan setelah Cina dan sejumlah negara di Asia Tenggara melarang impor sampah plastik asal negeri Matahari Terbit itu.

Selama ini, saban tahun, Jepang mengekspor sekitar 1,5 juta ton sampah plastik, sebagian besar di antaranya ke Cina. Selebihnya diekspor antara lain ke Thailand, Vietnam, Filipina, dan Indonesia. Adapun total akumulasi sampah plastik di Jepang saban tahunnya sekitar 9 juta ton.

Setelah larangan Cina berlaku sejak akhir 2017, Jepang telah mengucurkan miliaran yen untuk meningkatkan kapasitas pengolahan sampah plastik dalam negerinya. Tahun ini, misalnya, Jepang menganggarkan biaya sebesar 9 miliar yen. Dana itu diperkirakan hanya cukup untuk mengolah sekitar sepertiga (500 ribu ton) sampah plastik yang selama ini diekspor Jepang.

Sementara di lautan, pantai dan perairan di kepulauan Jepang hampir sepanjang tahun menerima kiriman sampah dari pelbagai negara. Survei mutakhir yang pernah dilakukan Jepang menemukan bahwa sampah plastik tersebut antara lain berasal dari Cina, Korea, dan bahkan Rusia.

Di dalam negeri, melalui “Rencana Aksi Nasional untuk Sampah Plastik Laut” (National Action Plan for Marine Plastic Litter), pemerintah pusat Jepang bekerja sama dengan pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, serta industri perikanan.

Endapan lumpur dan sampah plastik terlihat saat Waduk Pluit mengalami pendangkalan, di Jakarta Utara, Selasa, 11 Juni 2019. Selain kondisi tersebut bau tidak sedap juga terasa menyengat saat melintas di pinggir jalan Waduk Pluit. TEMPO/Subekti

Pemerintah Jepang, misalnya, akan memberikan subsidi kepada industri perikanan yang turut membersihkan limbah laut selama operasi penangkapan ikan mereka.

“Kami juga ingin melihat pengembangan dan peralihan dari penggunaan material plastik ke material lain yang memiliki dampak lebih kecil terhadap lingkungan laut,” kata Harada.

Pada 31 Mei 2019, pemerintah Jepang juga menyusun Resource Circulation Strategy for Plastics sebagai pendekatan komprehensif untuk diterapkan di dalam negerinya. Berdasarkan strategi tersebut, menurut Harada, Jepang antara lain akan menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar.

Berdasarkan pengamatan Tempo, tempat-tempat belanja di kota Tokyo, Kawasaki, dan Karuizawa masih menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma. Sebagian besar makanan, juga barang lain yang dijual, masih dibungkus plastik.

Sembari meningkatkan kapasitas pengolahan sampah plastik di dalam negerinya, Jepang juga gencar mengkampanyekan “perang” melawan plastik pada lingkup internasional. Pada pertemuan keempat Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA) pada Maret lalu, Jepang mengusulkan resolusi tentang sampah plastik dan mikroplastik laut.

“Saya senang melaporkan bahwa resolusi tersebut telah berhasil diadopsi,” ujar Harada.

Pada forum Converence of Parties (COP) ke-14 yang menghasilkan Konvensi Basel, Jepang juga mengusulkan amandemen untuk memasukkan plastik yang terkontaminasi sebagai bahan yang akan diatur dalam ekspor-impor sampah antar negara.

Menurut Harada, tantangan terpenting sekarang adalah bagaimana mencegah pembuangan sampah plastik ke lautan.

“Inovasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan ini.” Untuk memfasilitasi inovasi global, kata dia, masing-masing negara penting untuk berbagi informasi tentang praktik terbaik dan belajar satu sama lain.

Pada pertemuan G20 kali ini, Jepang mengusulkan kerangka kerja untuk tindakan sukarela setiap anggota G20 dalam mengatasi sampah plastik laut.

“Saya sangat berharap bahwa G20 akan memimpin dunia untuk mengambil langkah lebih lanjut dalam mengatasi sampah plastik laut,” ujar dia.

Seorang penyelam mengumpulkan sampah yang berada di Laut Adriatic, Taman Nasional Kornati, Kroasia, 12 Mei 2018. Polusi plastik yang berada di Laut Mediterania mendorong Greenpeace di Kroasia, Spanyol, Italia, Yunani, dan Bulgaria mengkampanyekan melawan barang-barang plastik sekali pakai. REUTERS/Antonio Bronic

Jepang juga berjanji melakukan tindakan nyata serta berbagi informasi tentang penanggulangan sampah plastik laut, sejalan dengan kerangka kerja yang akan mereka usulkan.

“Kami juga akan mempromosikan kerja sama internasional dengan negara tetangga di kawasan Asia dan banyak negara lain di dunia.” Dengan cara ini, kata Harada, negara berkembang diharapkan bisa membangun sistem pengumpulan dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, termasuk untuk limbah plastik.

Jepang, misalnya, akan mendirikan Pusat Pengetahuan Regional tentang Sampah Plastik Laut (Regional Knowledge Center on Marine Plastic Litters) di bawah naungan Lembaga Penelitian Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur atau The Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) di Thailand. Lembaga itu akan berfungsi sebagai pusat informasi untuk lebih memahami dan berbagi kebijakan dan praktik terbaik di setiap negara.

Di sektor swasta, Jepang juga mengklaim memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman dalam mengembangkan bahan-bahan alternatif, menerapkan metode 3R (Reduce, Reuse, and Recycle), serta memberikan bantuan internasional untuk negara-negara berkembang.

“Kami bertekad melakukan segala upaya dalam kolaborasi dengan pemangku kepentingan lain untuk memastikan bahwa semua negara mengambil tindakan nyata dalam mengatasi tantangan sampah plastik laut,” ujar Harada. “Kami mengundang semua anggota G20 untuk melakukan lompatan ke depan demi menyelesaikan tantangan sampah plastik laut.”

Faktanya, tidak mudah mencari kata sepakat di antara sesama anggota negara G20 ihwal cara dan tahapan perang melawan plastik. Diskusi pada sesi lingkungan hidup di forum pertemuan menteri G20 masih berlarut-larut.

Pejabat dari Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, Fumio Ito, membeberkan diskusi berkepanjangan bukan karena perbedaan pendapat yang tajam. Sesi pembahasan molor dari jadwal karena semua negara anggota G20 ingin menyampaikan pandangan masing-masing ihwal penanggulangan sampah plastik.

Sebuah alat berat membantu mengangkat sampah plastik yang berhasil dikumpulkan oleh seorang relawan dari dasar laut di Legrena sekitar 60 kilometer (37 mil) selatan Athena, Yunani 15 Februari 2018. Relawan tidak hanya membersihkan sampah di pinggir pantai, tetapi juga di dasar laut dengan cara menyelam. (AP Photo/Thanassis Stavrakis)

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya Bakar yang menghadiri pertemuan G20 mengatakan mendukung kerja sama global untuk menangani sampah plastik laut. Dia pun optimistis bahwa upaya untuk memerangi sampah plastik laut akan mengalami kemajuan. Alasannya, para anggota G20 umumnya memiliki keprihatinan yang sama atas permasalahan tersebut.

“Masalahnya tinggal bagaimana mensinergikan upaya oleh masing-masing negara itu,” kata Siti dalam sesi konferensi pers di Hotel Prince, kemarin.

Indonesia sendiri, menurut Siti, sudah melakukan pelbagai hal untuk mengurangi sampah plastik. Misalnya, sejumlah daerah telah menerbitkan aturan tentang larangan penggunaan kantong plastik gratis di pusat-pusat belanja. Secara khusus, Siti Nurbaya juga mencontohkan Pemerintah Kota Surabaya yang membuat terobosan dengan menjadikan plastik bekas botol minuman untuk membayar angkutan umum. Pemerintah pusat mendukung sepenuhnya inisiatif sepeRti itu agar diterapkan di daerah lain,” ujar dia.


JAJANG JAMALUDIN (KARUIZAWA)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus