Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi partai pemerintah pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terancam bubar setelah Mahkamah Agung Israel menetapkan bahwa siswa seminari Yahudi ultra-ortodoks harus ikut wajib militer pada Selasa, 25 Juni 2024. Mahkamah menyatakan bahwa tidak ada undang-undang yang membedakan antara siswa seminari Yahudi dan peserta wajib militer lainnya sehingga sistem wajib militer Israel berlaku untuk mereka seperti warga negara lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Israel, penduduk berusia 18 hingga 40 tahun yang memenuhi syarat harus ikut wajib militer selama dua hingga dua setengah tahun. Namun, selama Perang Kemerdekaan tahun 1948, Perdana Menteri David Ben-Gurion membuat kesepakatan dengan para pemimpin Yahudi Haredi, komunitas Yahudi ultra-ortodoks, bahwa anggotanya yang bekerja penuh waktu mempelajari Taurat dikecualikan dari wajib militer. Mekanisme ini memungkinkan laki-laki Haredi untuk “menunda” wajib militer dengan belajar di seminari Yahudi. Pengaturan mengenai hal ini hanya ditetapkan dalam regulasi Kementerian Pertahanan, sedangkan Undang-Undang Dinas Militer tetap mewajibkan setiap penduduk untuk masuk wajib militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Protes sudah dilakukan berkali-kali sejak 2014, tapi pemerintah tetap bergeming. Keputusan Mahkamah Agung kali ini menjadi tonggak pertama yang mewajibkan pemerintah untuk menghapus pengecualian itu. Pengecualian itu menjadi masalah besar sekarang karena angkatan bersenjata Israel, yang sebagian besar terdiri dari remaja wajib militer dan warga sipil lanjut usia yang dimobilisasi sebagai tentara cadangan, kewalahan akibat perang Israel-Hamas di Gaza dan Libanon, yang telah menewaskan 600 tentara Israeli.
“Pada puncak perang yang sulit, beban ketidaksetaraan menjadi semakin akut,” demikian keputusan pengadilan yang diambil dengan suara bulat itu, seperti dikutip Al Arabiya.
Dua partai Yahudi ultra-ortodoks, Shas dan Yudaisme Torah Bersatu (UTJ), menganggap pengecualian wajib militer bagi siswa seminari Yahudi yang sudah berlangsung lama itu sebagai kunci untuk menjaga konstituen mereka tetap berada di seminari dan menjauh dari militer, yang mungkin akan mempengaruhi sikap konservatif mereka.
Masalahnya, Netanyahu menggantungkan kelangsungan hidup pemerintahannya pada dua partai itu. Saat ini, “kamp nasional”, koalisi partai yang dipimpin Netanyahu lewat Partai Likud, juga beranggotakan kedua partai tersebut. Koalisi ini sekarang menguasai parlemen dengan 64 dari 120 kursi. Shas memegang 11 kursi dan UTJ 7 kursi.
Bila Netanyahu menjalankan putusan Mahkamah Agung dengan menghapus pengecualian siswa seminari Yahudi dari wajib militer, dua partai tersebut sangat mungkin keluar dari koalisi. Bila ini terjadi, maka Netanyahu harus membubarkan pemerintahannya karena koalisinya tak lagi mendominasi parlemen dan segera menggelar pemilihan umum.
Yitzhak Goldknopf, pemimpin UTJ yang menjadi Menteri Perumahan dan Pembangunan, menyatakan bahwa putusan Mahkamah itu “disayangkan dan mengecewakan”. “Negara Israel didirikan untuk menjadi rumah bagi orang-orang Yahudi yang Tauratnya menjadi landasan keberadaannya. Taurat Suci akan menang,” tulisnya di X tanpa menyebut soal langkah partainya selanjutnya.
Bagaimana rakyat dan politikus Israel menentang kebijakan Netanyahu atas perang Gaza? Baca selengkapnya: Ancaman dari Dalam: Masa Depan Pemerintahan Netanyahu Setelah Invasi ke Gaza