Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Paus Fransiskus Akhirnya Sebut Kata Rohingya di Bangladesh

Paus Fransiskus akhirnya mengucapkan kata Rohingya untuk pertama kalinya dalam hari terakhir tur Asianya.

2 Desember 2017 | 14.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Paus Fransiskus bertemu dengan kelompok pengungsi Rohingya selama konferensi antar-agama di Katedral St. Mary di Dhaka, Bangladesh, 1 Desember 2017. Para pengungsi ini menghindari kekerasan dan konflik yang terjadi di Myanmar. Osservatore Romano/Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Paus Fransiskus akhirnya mengucapkan kata Rohingya untuk pertama kalinya di hari terakhir tur Asianya. Paus mengatakan itu saat bertemu dengan kelompok multiagama di Gereja Katederal St. Mary di Dhaka, Jumat, 1 Desember 2017. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kehadiran Tuhan hari ini juga disebut Rohingya," kata Paus Fransiskus seperti dikutip dari CNN. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Paus Fransiskus mengucapkan kata Rohingya setelah sejumlah kritikus mengecamnya karena dianggap menghindari pembahasan penganiayaan Rohingya selama kunjungannya ke Myanmar.

Paus Fransiskus  juga mendengarkan keluhan penderitaan dan pengalaman pahit dari 16 pengungsi Rohinhgya yang dihampirinya satu per satu.

"Tragedi Anda sangat berat , kami memberi ruang hati kami untuk Anda. Atas nama semua orang, dari orang-orang yang menganiaya Anda, orang-orang yang menyakiti Anda, dan terutama ketidakpedulian dunia, saya meminta maaf. Maafkan kami," kata Pemimpin umat Katolik sedunia ini. 

Baca: Paus Fransiskus Tak Gunakan Kata Rohingya Selama di Myanmar

Foyez Ali Majhi,  pengungsi dari kamp Balukhali yang bertemu dengan Paus Fransiskus, mengatakan bahwa dia meminta Paus untuk memberitahukan kepada dunia tentang penderitaan mereka. Foyez mengatakan militer Myanmar membunuh dan memperkosa keluarga dan tetangga mereka.

Abul Syed, pengungsi Rohingya lainnya yang bertemu dengan Paus Fransiskus, mengatakan,  mereka berbicara mengenai tuntutan tertentu.

"Yang utama adalah memberi identitas kami kembali. Kami menginginkan kewarganegaraan Rohingya di Myanmar," ujar Syed. 

Paus Fransiskus selama ini kerap mengadvokasi pengungsi dan kelompok minoritas yang rentan terhadap penganiayaan. Dia berulang kali mengutuk kekerasan terhadap sebagian besar minoritas Muslim, menyebut mereka sebagai saudara laki-laki dan perempuannya dan memberi label kepada orang-orang Kristen yang menolak untuk memperlakukan mereka manusiawi sebagai orang munafik.

Baca: Ini Harapan Damai Minoritas Myanmar kepada Paus Fransiskus

Lebih dari 620.000 orang Rohingya telah melarikan diri melintasi perbatasan Myanmar ke negara tetangga Bangladesh sejak serentetan kekerasan dimulai pada Agustus 2017. Mereka terpaksa melarikan diri dari kekejaman yang dilakukan oleh militer Myanmar.

Pemerintah Myanmar tidak menggunakan istilah Rohingya untuk merujuk pada pengungsi itu. Rohingya dianggap imigran gelap dari Bangladesh, meskipun beberapa keluarga telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad. Rohingya tidak diakui sebagai minoritas resmi di Myanmar, yang secara efektif berarti mereka ditolak kewarganegaraannya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat dan Inggris telah menuduh militer Myanmar melakukan pembersihan etnis secara sistematis melalui pembunuhan, pemerkosaan dan teror.

Baca: Myanmar Sebut Tak Ada Diskriminasi Agama ke Paus Fransiskus

Militer Myanmar mengklaim bahwa pihaknya mengejar teroris yang bertanggung jawab atas serangan mematikan terhadap pasukan keamanan pada Agustus lalu dan membantah telah menganiaya Rohingya secara sistematis.

Selama kunjungannya ke Myanmar, Paus Fransiskus bertemu dengan dua pemimpin terpenting di negara ini, yakni pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima tertinggi angkatan bersenjata Myanmar.

Dalam sebuah pertemuan singkat dengan Paus, Hlaing menegaskan bahwa semua agama dapat beribadah dengan bebas di Myanmar. Namun banyak pengamat Myanmar mengatakan bahwa klaim Hlaing keliru.

Aung San Suu Kyi, \ pemenang Hadiah Nobel Perdamaian untuk perlawanan tanpa kekerasannya terhadap junta militer yang memerintah Myanmar selama beberapa dekade, juga membantah bahwa pembersihan etnis sedang berlangsung di negaranya.

Dia membahas krisis ini secara umum selama pidato di samping Paus Fransiskus, dengan mengatakan bahwa pemerintahnya bertujuan untuk mewujudkan keindahan keragaman dan menjadikannya kekuatan bangsa dengan melindungi hak, mendorong toleransi, memastikan keamanan bagi semua orang.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus