Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin sipil Myanmar dan peraih Nobel bidang perdamaian 1991, Aung San Suu Kyi, tidak akan kehilangan predikatnya sebagai peraih Nobel. Hal itu dikonfirmasi oleh komite penghargaan Nobel di tengah derasnya kritik terhadap Suu Kyi setelah tim investigasi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan pemerintah Myanmar melakukan pembantaian terhadap etnis Rohingya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tidak ada ketentuan untuk merampas status Nobel dari peraihnya. Kami terus menyerukan kepada semua pihak terkait di Myanmar agar mengurangi penderitaan suku Rohingya dan menghentikan pembantaian serta penindasan,” kata Olav Njolstad, Direktur Institute Nobel Norwegia, seperti dikutip dari CNN.com pada Kamis, 30 Agustus 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Daw Aung San Suu Kyi. REUTERS
Suu Kyi mendapatkan penghargaan Nobel bidang perdamaian saat dia tampil sebagai tokoh oposisi di Myanmar. Komite Nobel yang mengukuhkan Suu Kyi sebagai pemenang Nobel mengatakan Suu Kyi telah mendirikan lingkungan masyarakat yang demokratis di negara yang multietnis sehingga bisa bekerja sama secara harmonis.
Sekarang Suu Kyi dihujani kritik menyusul aksi pembantaian terhadap etnis minoritas Rohingya pada Agustus 2017, yang membuat ratusan ribu orang mengungsi ke Bangladesh. Atas kejadian ini, sejumlah pihak menyerukan penghargaan Nobel yang pernah diterima Suu Kyi dicabut.
Sebelumnya, pada Maret 2018, penghargaan Elie Wiesel Award, yang pernah diberikan kepada Suu Kyi oleh Museum Peringatan Pembantaian Manusia di Amerika Serikat, dicabut. Kedutaan Besar Myanmar di Washington mengatakan Museum telah disesatkan dan dieksploitasi oleh orang-orang yang gagal melihat situasi yang sebenarnya dan penilaian yang adil atas situasi di Negara Bagian Rakhine.