Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peringatan 5 tahun genosida terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, pada Kamis, 25 Agustus 2022, ditandai dengan peluncuran buku bergambar 'Quilting for Justice' di Network Plus, Menteng, Jakarta. Buku ini menceritakan kehidupan etnis Rohingya di kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain peluncuran buku, Asia Justice and Rights (AJAR) juga mengadakan pameran multimedia, seperti foto-foto pengungsi etnis Rohingya dari Bangladesh dan Aceh, instalasi seni, hingga pertunjukan musik. Peringatan 5 tahun genosida terhadap etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, diharapkan bisa memberi penguatan pada etnis Rohingya korban genosida dan meningkatkan demokrasi di Myanmar serta penegakan HAM di Asia Tenggara.
Tulang manusia terlihat di sebuah kuburan dangkal di Inn Din, Rakhine, Myanmar, 26 Oktober 2017. Laporan pembantaian etnis Rohingya oleh militer Myanmar kembali terkuak. Sebanyak 10 pria muslim Rohingya di Inn Din dibantai dan dikubur dalam satu lubang. REUTERS
Atika Yuanita, Ketua Perkumpulan Suaka, saat sesi diskusi dalam acara tersebut menyoroti pelanggaran kemanusiaan berat terhadap etnis Rohingya. Ia menyerukan kepedulian dan keterlibat dalam membantu pencari suaka atau pengungsi dari Rohingya di Indonesia.
Sedangkan anggota Komnas Perempuan, Soraya Ramli, menyoroti dampak kekerasan yang terjadi terhadap pengungsi perempuan. Ia menyatakan, keadilan bagi perempuan Rohingya harus terus dipantau, bukan hanya saat kejadian saja, melainkan juga saat proses pemulihan.
Adapun, Kepala Misi Pencari Fakta PBB untuk Myanmar, Marzuki Darusman, menilai situasi kemanusiaan di Myanmar harus terus disuarakan. Sebab, penderitaan tidak cukup hanya diatasi dengan hukum saja, namun harus digambarkan melalui sebuah kekuatan atau konsistensi narasi.
Tentara Myanmar pada lima tahun lalu, tepatnya pada Agustus 2017, melancarkan "operasi pembersihan" terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, yakni wilayah barat laut di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. Banyak warga sipil dibunuh, termasuk perempuan dan anak perempuan mengalami perkosaan serta desa tempat tinggal mereka dibakar habis.
Diperkirakan ada 700 ribu warga etnis Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Sampai saat ini mereka masih tinggal di kamp-kamp pengungsi di wilayah tersebut.
Militer Myanmar menyebut operasi yang terjadi tersebut sebagai respon atas serangan kelompok bersenjata Arakhan Rohingya Salvation Army (ARSA), yakni sebuah kelompok perlawanan militan Rohingya, yang telah menyerang beberapa kantor polisi beberapa hari sebelumnya.
PBB dan organisasi HAM mengutuk operasi militer itu. Tentara Myanmar dicap telah melakukan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, hingga genosida. Saat ini gugatan sudah diajukan ke Pengadilan Internasional di Den Haag.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.