KONFLIK Iran-AS masih akan berkepanjangan. Dewan Keamanan PBB,
yang mulai bersidang akhir pekan lalu untuk membicarakan konflik
itu, belum menunjukkan jalan ke arah penyelesaian. Apalagi
pagi-pagi Ayatullah Khomeini sudah mencurigai sidang itu hanya
untuk melayani kepentingan AS. Sebab itu pula Sadeq Ghothzadeh
pekan lalu menggantikan Abolhassan Bani-Sadr sebagai Menlu Iran
secara tiba-tiba.
Sebelum sidang DK-PBB itu AS mengajukan masalah penyanderaan 49
staf kedutaan besarnya di Teheran ke Mahkamah Internasional di
Den Haag. Tapi usaha ini pun hanya merupakan simbolik. Karena
baik PBB maupun Mahkamah Internasional -- yang dibentuk oleh PBB
-- tak memiliki kekuatan polisionil yang mampu memaksakan
keputusannya. Apalagi negara yang dihadapinya masih dalam
suasana 'meriahnya' suatu revolusi.
Bani-Sadr semula meminta diadakannya sidang DK-PBB tersebut. Ia
dicopot dari jabatan Menlu setelah tersiar rencana kepergiannya
ke New York Dewan Kevolusi Iran sengaja bersidang di kota suci
Qom guna membatalkan keberangkatan Bani-Sadr ke New York dan
sekaligus mengangkat Ghothzadeh sebagai penggantinya.
Sadeq Ghotbzadeh, 45 tahun, sebelumnya adalah Direktur Radio &
Televisi Iran. Dia tergolong penganut garis keras dalam
lingkungan kaum revolusioner Iran. Sebelum diumumkan nama 14
anggota Dewan Revolusi Iran awal November lalu, banyak orang tak
menduga dia salah seorang di antara mereka yang ternyata
memiliki kekuasaan yang cukup besar. Dalam suatu jumpa pers
dengan koresponden asing di Intercontinental Hotel di Teheran,
Ghothzadeh yang suka berpakaian rapi itu bercerita tentang
riwayat hidupnya.
Selama 20 tahun dia menetap di luar negeri, termasuk 5 tahun
studi di Universitas Georgetown di Washington. Dan dia terkenal
sebagai mahasiswa pembangkang, dua kali diusir keluar dari AS.
Dia kembali ke Iran bersama Khomeini dari pengungsian di
Neauphlele - Cha teau, 30 km dari Paris.
Para pengamat cenderung melihat pergeseran ke Ghothzadeh ini
sekali lagi membuktikan bahwa Khomeini akan terus menuntut
ekstradisi Syah Iran dari AS. Walaupun konflik Iran-AS ini bisa
membawa malapetaka bagi Iran.
Sementara itu para mahasiswa yang menduduki kedubes AS di
Teheran mulai membeberkan keterlibatan 2 orang sandera sebagai
agen CIA. Bukti yang mereka dapat dari arsip kedubes itu
menunjukkan bahwa Malcolm Kalp dan William Dougherty adalah
anggota CIA yang ditugaskan sebagai diplomat AS di Teheran.
Namun tak semua ulama Syi'ah sependapat dengan Khomeini mengenai
pemulangan Syah Iran. Ayatullah Kazem Shariatmadari yang dikenal
moderat, orang kedua setelah Khomeini, mengatakan bahwa
"Pemulangan itu bukanlah hal yang pokok." Begitupun dalam
wawancara dengan koran Madrid, El Pais, Shariatmadari memahami
bahwa tuntutan itu merupakan aspirasi rakyat Iran. "Jika saya
yang menempati posisi Khomeini, pendudukan kedutaan besar AS itu
tak akan pernah terjadi," ujarnya.
Shariatmadari tak setuju untuk mengkaitkan aksi pendudukan
kedubes AS itu sejalan dengan ajaran Islam. "Pendudukan itu
dilaksanakan atas nama Revolusi, bukan atas nama Islam,"
ujarnya. Tapi, menurut dia, revolusi seharusnya dijalankan
sesuai dengan ajaran Islam.
Memang Islam kembali mendapat sorotan luas karena kasus
penyanderaan itu yang ada huhungannya dengan tindakan
pelanggaran hukum internasional. Dikenal dalam konvensi Wina
(1961) kewajiban pemerintah setempat menjag keselamatan para
diplomat asing.
Nureddin Kianouri, 63 tahun, Sekjen Partai Tudeh (Partai Komunis
Iran mendukung pendudukan kedubes AS itu. "Kami adalah yang
pertama mengumumkan bukti bahwa kedutaan itu merupakan pusat
subversi," kata Kianouri. Dia yang selama 23 tahun mengasingkan
diri di Jerman Timur, mengatakan antara partainya dan Khomeini
terdapat banyak persamaan dalam tujuan. "Perbedaan antara kami
relatif dan tak relevan. "
Pemimpin Libya, Moamar Khadafi ternyata ikut juga menyerukan
agar dibebaskannya para sandera itu. Namun dalam wawancaranya
dengan wartawan Italia Oriana Fallaci, Khadafi tak lupa
memperingatkan AS bahwa Libya akan membantu Iran bila AS
menyerbunya. "Kemenangan ganda rakyat Iran dalam mengenyahkan
Syah dan orang Amerika adalah sesuatu yang menggembirakan," kata
Khadafi.
Terkabul
Presiden Carter tak merasa menyesal dan perlu minta maaf atas
keputusannya menerima Syah yang mengakibatkan konflik AS-lran.
"Tindakan berikutnya akan saya ambil jika usaha secara damai
belum mencukupi," kata arter dalam wawancara teve pekan Ialu .
Syah Iran sudah meninggalkan rumah sakit Cornell Medical
Centre, New York. Sambil menunggu kepastian negara mana yang
akan ditujunya Syah Iran berdiam sementara di suatu rumah sakit
militer di Texas. Besar dugaan dia akan menetap di Afrika
Selatan, tempat pengasingan ayahnya ketika diusir secara paksa
dari Iran, pada peran dunia II. Ayahnya, Pahlevi meninggal
dunia di Afrika Selatan pada tahun 1944.
Di tengah kesibukan penyanderaan dan tanpa melupakan Syah, Iran
masih sempat mengadakan referendum Minggu lalu untuk menerima
atau menolak konstitusi Islam. Walaupun hasil referendum itu
masih ditunggu pekan ini, para pengamat menduga kehendak sang
ayatullah dari kota suci Qom akan terkabul. Di tempat pemungutan
suara banyak penduduk yang menyerahkan kartu kepada para mulah
untuk diisi.
Bila referendum ini menyetujui konstitusi baru itu, kedudukan
Khomeini akan makin kuat. Dia akan menjadi panglima tertinggi
angkatan bersenjata selain sebagai pemimpin agama Islam Syi'ah.
"Khomeini akan menjadi penguasa tak bermahkota seumur hidup,"
kata seorang lawan politiknya. Namun konstitusi yang berisi 22
bab dan 175 pasal itu juga mengatur tentang hubungan agama di
luar Islam dan persamaan hak pria dan wanita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini