"BUAT saya piano dan politik saling mengisi," kata Ibrahim
Sousse, Kepala Perwakilan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina)
di Paris. Dia baru saja mengadakan pergelaran piano di Pusat
Kebudayaan Rennes, dengan menampilkan karya Liszt, Chopin dan
Debussy, serta sebuah sonata ciptaannya sendiri yang dia namakan
Mythos Sisyphus. "Sejak kembali ke dunia musik saya merasa
menemukan keseimbangan dan semakin dewasa," ujarnya lagi.
Ibrahim Sousse lahir di Jerusalem tahun 1943. Ketika dia berusia
6 tahun keluarganya mengungsi ke Jordania. Mereka menetap di
sebuah rumah yang ditinggalkan pemiliknya dan kemudian menjadi
tempat penampungan pengungsi setelah terjadinya perang
Arab-lsrael tahun 1948. Di tempat itulah Sousse menemukan sebuah
piano tua. Setelah 3 tahun belajar sendiri dia berhasil
menciptakan sebuah komposisi musik. Mengetahui bakat sang anak,
orang tuanya mengirimkan Sousse ke sekolah musik di Munchen,
Jerman Barat. Dan di situ dia pertama kali mendapatkan ijazah
musik.
Kemudian dengan beasiswa pemerintah Prancis, Sousse melanjutkan
studinya (1961-1964) di Ecole Normale de Musique, Paris. "Anda
harus jadi pianis terkemuka," kata Alfred Cortet, pendiri
sekolah itu kepada Sousse ketika dia lulus sebagai juara di
kelasnya. Tahun '65 dia kembali ke Jordania dan mendirikan
sekolah musik di sana. Tapi karena tekanan terhadap bangsa
Palestina begitu keras dia terpaksa membatalkan rencananya.
Setahun kemudian dia melanjutkan lagi studinya di Akademi Musik
London. Dan mendapat diploma pada tahun '68 di bawah bimbingan
mendiang Cyril Smith.
Dan sementara studi di London itu dia bahkan berhasil
menciptakan sebuah simfoni yang diberi nama Image of an Exodus.
Namun kekalahan Arab pada perang 1967 melawan Israel yang
kemudian melahirkan gerakan Pembebasan Palestina membuat Sousse
meninggalkan dunia musik untuk sementara. Tahun '68 dia
bergabung dengan kelompok gerilya Al Fatah.
Tapi sekali lagi dia dapat beasiswa dari pemerintah Prancis,
untuk studi di Akademi Ilmu Politik pada tahun 1971. Selama masa
kuliah dia terpilih sebagai Ketua Persatuan Mahasiswa Palestina.
Ketika itu pulalah Sousse juga mulai menulis artikel untuk Le
Monde, dan Le Monde Diplomatique.
Sousse sekarang menetap di Paris bersama istrinya Monique, orang
Prancis, dan dua anaknya -- Sami dan Mona. Mereka tinggal di
sebuah flat yang sepanjang hari dikawal oleh anggota PLO yang
berpakaian preman. Karena 2 kepala perwakilan PLO sebelum Sousse
mati akibat pembunuhan. Yaitu Mahmoud Hamchari dan Ezzedine
Kelak. Dan sejak Mei yang lalu dia menggunakan waktunya beberapa
jam untuk berlatih kembali. "Sudah 11 tahun saya tak muncul di
depan publik," katanya kepada wartawan Guardian yang berkunjung
ke rumahnya.
Suatu kesibukan yang luar biasa bagi Sousse November lalu adalah
menghadapi interpiu yang diselenggarakan radio dan televisi
dalam hubungan pergelaran piano yang diadakannya itu. Sementara
itu dia juga harus muncul dalam dua siaran teve tentang 'potret
Palestina'. Paling tidak pemunculannya ini semakin mengubah
citra PLO yang selama ini selalu dikaitkan dengan sebutan
'kelompok teroris'. Apalagi aktivitas diplomasi PLO di
negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) semakin gencar.
"Politik itu sendiri sebenarnya tak menarik saya," kata Sousse.
"Kelak kalau sudah terbentuk negara Palestina yang merdeka, saya
akan mencurahkan perhatian saya kepada musik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini