Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang profesor di Amerika Serikat berencana menggugat sebuah universitas di Minnesota tempatnya mengajar. Gugatan dilayangkan setelah ia dipecat karena menunjukkan lukisan yang menggambarkan Nabi Muhammad selama pelajaran seni Islam.
Baca: 12 Tempat Bersejarah di Madinah dan Mekah, Ada Kota yang Dihindari Nabi Muhammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Universitas Hamline, sebuah sekolah swasta kecil di kota St Paul, memilih untuk tidak memperpanjang kontrak Ajun Profesor Erika Lopez Prater. Kontrak diputus setelah seorang siswa keberatan saat dia menunjukkan lukisan abad ke-14 yang menggambarkan Nabi Muhammad dalam pelajaran seni Islam. Pelajaran itu adalah bagian bagian dari Kursus seni global Lopez Prater.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi banyak Muslim, penggambaran visual Nabi Muhammad dilarang keras dan dipandang sebagai pelanggaran iman. Menurut pengacara Lopez Prater pada Selasa, 17 Januari 2023, gugatan akan segera diajukan ke pengadilan.
Dalam gugatannya, Lopez menyatakan bahwa dia telah memberikan peringatan kepada siswanya sebelum menunjukkan gambar Nabi Muhammad. Peringatan itu termasuk pula dalam silabus dan segera sebelum menunjukkan gambar. Dia telah meminta para siswa yang tidak nyaman melihat penggambaran Nabi Muhammad untuk mengajukan diri.
Lopez menuduh universitas melakukan diskriminasi agama dan pencemaran nama baik, serta merusak reputasi profesional dan pribadinya. "Universitas Hamline, melalui administrasinya, menyebut tindakan Dr Lopez Prater sebagai Islamofobia yang tidak dapat disangkal," kata pengacaranya dalam sebuah pernyataan.
“Komentar seperti ini, yang sekarang telah diterbitkan dalam berita di seluruh dunia, akan mengikuti Dr Lopez Prater sepanjang kariernya, yang berpotensi mengakibatkan ketidakmampuannya untuk mendapatkan posisi tetap di lembaga pendidikan tinggi mana pun.”
Insiden itu terjadi pada Oktober tahun lalu. Perdebatan muncul tentang keseimbangan pertimbangan beragama dan kebebasan akademik. Administrasi sekolah telah mengubah pendiriannya tentang masalah tersebut di tengah munculnya reaksi.
Menurut New York Times, wakil presiden Universitas Hamline untuk keunggulan inklusif mengatakan kepada staf dalam email yang dikirim pada November bahwa tindakan Lopez di kelas itu tidak dapat disangkal, tidak sopan, dan Islamofobia.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, Presiden Universitas Hamline Fayneese Miller dan Ketua Dewan Pengawasnya Ellen Watters mengambil pendekatan yang lebih hati-hati. Mereka menyatakan, "komunikasi, artikel, dan opini baru-baru ini telah mengarahkan sekolah untuk meninjau dan memeriksa kembali tindakan kami".
"Seperti semua organisasi, terkadang kami salah langkah," kata pernyataan itu. “Untuk kepentingan mendengar dari dan mendukung siswa Muslim kami, bahasa yang digunakan tidak mencerminkan sentimen terhadap kebebasan akademik. Berdasarkan semua yang telah kami pelajari, kami memutuskan bahwa penggunaan istilah 'Islamophobia' adalah cacat.”
Universitas tidak secara langsung menanggapi gugatan tersebut. Pihak universitas akan mengadakan dua pertemuan publik dalam beberapa bulan mendatang. Pertemuan itu akan membahas tentang kebebasan akademik dan perawatan siswa serta lainnya tentang kebebasan akademik dan agama.
Markas besar Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) nasional juga sedang mempertimbangkan masalah ini. CAIR menarik perbedaan antara menunjukkan penggambaran Nabi Muhammad untuk tujuan akademis dan bukan, dalam konteks lalai atau jahat. Sejarah memang menunjukkan ada lukisan yang menggambarkan Nabi ratusan tahun setelah wafat.
"Berdasarkan apa yang kami ketahui sampai saat ini, kami tidak melihat bukti bahwa mantan Ajun Profesor Universitas Hamline Erika Lopez Prater bertindak dengan niat Islamofobia atau terlibat dalam perilaku yang memenuhi definisi kami tentang Islamofobia," kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis pekan lalu.
Mereka menambahkan pernyataan itu adalah satu-satunya posisi resmi CAIR. Setiap pernyataan sebelumnya yang kontradiktif tidak mewakili pendirian CAIR.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan oleh cabang lokal minggu lalu, Aram Wedatalla, seorang senior berusia 23 tahun di sekolah tersebut, mengaku bahwa dia adalah siswa yang mengajukan keluhan di awal. “Sungguh menghancurkan hati saya bahwa saya harus berdiri di sini untuk memberi tahu orang-orang, ada sesuatu yang Islamofobia dan sesuatu yang benar-benar menyakiti kita semua, bukan hanya saya,” kata Wedatalla, Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim Hamline di Amerika Serikat.
Simak: 61 Kumpulan Twibbon Merayakan Maulid Nabi Muhammad, Download Sekarang
AL JAZEERA