Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kematian Mahsa Amini, 22 tahun, pada 16 September 2022 telah memicu gelombang unjuk rasa di Iran. Unjuk rasa ini sekilas mirip dengan gelombang protes pada 1979 atau yang lebih dikenal dengan revolusi Iran 1979. Saat itu, terjadi aksi menentang kewajiban berjilbab bagi perempuan Iran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1979 atau hanya berselang beberapa minggu setelah revolusi, puluhan ribu perempuan Iran turun ke jalan-jalan di Ibu Kota Teheran. Mereka meneriakkan kalimat "Kami tidak mau revolusi untuk mundur." Protes dimulai pada 8 Maret 1979 — Hari Perempuan Internasional. Pemimpin Iran tertinggi Ayatollah Ruhollah Khomeini baru saja mengeluarkan dekrit yang mewajibkan perempuan Iran pakai jilbab.
"Perempuan-perempuan Iran memenuhi jalanan selama enam hari berturut-turut, di mana mereka menghadapi kekerasan dan dicap sebagai pengkhianat, kontra-revolusioner, borjuis, kaki tangan pro-imperialis, atau bahkan pelacur. Tapi mereka berhasil memaksa para pemimpin agama untuk mundur dari posisi mereka di balik tabir meski jika kemenangan mereka berumur pendek," kata peneliti sekaligus kontributor IDEAS, Donya Ziaee, seperti dikutip dari CBC pada Senin, 5 Desember 2022.
Revolusi Iran 1979 menggulingkan Mohammad Reza Pahlavi, seorang raja sekuler yang bersekutu dengan negara-negara Barat. Pada masa itu, terjadi pembalikan tata nilai dan politik yang mengarah pada pembentukan Republik Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini, yang saat itu seorang ulama Syiah. Pada 30 Maret 1979, referendum Iran diadakan dan sekitar 99 persen pemilih mendukung pembentukan Republik Islam.
Minoo Jajali, seorang pensiunan pengacara yang aktif dalam revolusi Iran 1979 dan protes (kebijakan) perempuan setelahnya, menganggap revolusi Iran 1979 adalah tentang sebuah ide kebebasan. Gagasan kebebasan itulah yang juga turut membawa perempuan Iran ikut menentang rezim Pahlavi.
"Itu adalah titik balik ketika tentara menyerang dan saya pikir sekitar 100 orang terbunuh, Anda dapat melihat bahwa orang-orang (sekarang) tidak menunjukkan rasa takut," kata Jajali.
Tapi Jalali percaya, kekuatan progresif pada saat itu meremehkan kekuatan agama, yang pada akhirnya ulama mengambil-alih kuasa.
"Itu kenaifan kami - kenaifan bersejarah," kata Jalali.
Pada 1981, diberlakukan aturan semua perempuan Iran usia sembilan tahun keatas wajib mengenakan cadar. Perubahan lain juga mengikuti, seperti pemisahan gender di tempat kerja, sekolah, pantai, dan acara olahraga. Banyak undang-undang baru yang mengatur perceraian, hak asuh anak, warisan, kewarganegaraan, dan retribusi - semuanya memberi aturan khusus terhadap perempuan.
Buntut dari aturan itu, para aktivis feminis mengorganisir berbagai kampanye selama bertahun-tahun. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, perempuan Iran terus melawan.
Amini meninggal saat ditahan polisi moral Iran karena diduga tidak mengenakan jilbabnya dengan benar. Kematiannya pada 16 September 2022 lalu, membangkitkan protes besar-besaran di Iran. Sejumlah tokoh-tokoh masyarakat terkemuka keluar untuk mendukung gerakan tersebut, termasuk aktor papan atas Iran Taraneh Alidoosti.
Iran sekarang dicengkeram oleh gelombang protes yang pertama kali dipicu oleh kematian Amini. Pihak berwenang telah melakukan tindakan keras terhadap para demonstran sehingga menimbulkan banyak korban jiwa.
Jaksa Agung Iran Mohammad Jafar Montazeri mengatakan pada pekan lalu parlemen dan kehakiman Iran sedang mengevaluasi lagi undang- undang wajib pakai jilbab di negara itu. Menurut outlet pro-reformasi Entekhab, polisi moral Iran yang ditakuti, telah dihapuskan.
CBC | REUTERS
Baca juga: Terkini: Jokowi Ingin Inflasi Ditangani seperti Covid-19, Pengusaha RI Khawatir Lockdown Cina
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.