Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENYUM sumringah tak henti-hentinya menghias bibir Chusnul Mar’iyah. Sesekali ia tertawa lebar dengan koleganya, Ramlan Surbakti. Seperti Chusnul, wajah pakar politik dari Universitas Airlangga itu juga ceria. ”Ini sukses. Mau diselesaikan kapan pun, yang jelas Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi melanggar Undang-Undang Dasar,” ujar Chusnul. Setelah menyalami sejumlah rekannya, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini bergegas meninggalkan gedung Mahkamah Konstitusi.
Pada Selasa pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan yang membuat Chusnul dan rekan-rekannya gembira. Mahkamah memenangkan gugatan uji materi terhadap Pasal 53 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi—pasal yang memerintahkan dibentuknya pengadilan tindak pidana korupsi—yang mereka ajukan. Menurut Mahkamah, pembentukan pengadilan seperti ini bertentangan dengan konstitusi. Jadi, pasal ini dibekukan.
Pasal 53 hanyalah ”sebagian” dari sederet pasal dalam UU No. 30/2002 tentang KPK yang digugat Chusnul pada Agustus lalu. Bersama anggota KPU lainnya, termasuk Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin dan Ramlan Surbakti, Chusnul juga minta Mahkamah membekukan kewenangan KPK yang lain, seperti melakukan penyelidikan dan penuntutan, menyadap pembicaraan orang, dan larangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Pengadilan tindak korupsi, misalnya, menurut para penggugat, harus dibubarkan karena dibentuk tidak lewat prosedur hukum semestinya, tidak sesuai dengan UUD 45 dan Undang-Undang Kehakiman. Pembentukan pengadilan ini juga menciptakan ”dualisme” hukum, lantaran selain ke pengadilan tindak korupsi, kasus-kasus korupsi juga dibawa ke pengadilan umum.
Bukan hanya Nazaruddin dan Chusnul yang meminta Mahkamah merontokkan kewenangan KPK. Sebulan sebelumnya, Mulyana W. Kusumah dan Tarcisius Walla juga meminta Mahkamah mengoreksi kekuasaan KPK. Seperti Nazaruddin, pakar kriminologi tersebut minta Mahkamah mencabut hak Komisi melakukan penyadapan, hak istimewa yang membuat dirinya ditangkap. ”Karena konstitusi menjamin hak warga negara berkomunikasi dan mendapat perlindungan dalam mencari dan menyampaikan informasi,” ujar Sirra Prayuna, pengacara Mulyana dan Walla.
Walau gugatan dimasukkan terpisah, Mahkamah memutuskan menyidangkan semua gugatan yang diajukan tiga ”kelompok” pemohon itu bersamaan. Alasannya, materi yang dipersoalkan tak berbeda. ”Sama-sama mempersoalkan kewenangan KPK,” ujar Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konsti-tusi. Total, ada sepuluh pasal yang hendak dibekukan penggugat.
Namun, dari semua pasal yang digugat, Mahkamah memang hanya memutuskan Pasal 53 yang bertentangan dengan konstitusi. Menurut Mahkamah, pendirian pengadilan seperti ini harus memakai undang-undang khusus, tidak ”diselipkan” dalam undang-undang. ”Pemberlakuan Pasal 53 Undang-Undang KPK itu melahirkan dualisme sistem peradilan yang berbeda dalam lingkungan peradilan yang sama,” kata Jimly. Adapun soal penya-dapan, misalnya, Mahkamah hanya memerintahkan dibuat aturan lebih terperinci. ”Untuk mencegah kewenangan penyadapan itu disalahgunakan.”
Menurut aturan, setiap putusan Mahkamah langsung berlaku begitu palu diketukkan, tapi untuk putusan ini ada kelonggaran. Dengan alasan mencegah kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan pengadilan tindak pidana korupsi tetap berjalan hingga tiga tahun ke depan. Dalam kurun waktu itulah, pemerintah dan DPR harus bisa membuat undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi. ”Sebelum terbentuk DPR dan pemerintahan baru hasil pemilu 2009, perbaikan undang-undang tersebut harus selesai,” kata Jimly.
Putusan Mahkamah ini tak lahir lewat suara bulat. Hakim konstitusi Lai-ca Marzuki, misalnya, mengeluarkan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang menyebut putusan itu seharusnya langsung berlaku. ”Undang-undang yang telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah, tidak boleh direntang ulur ke depan,” ujarnya. Menurut sumber Tempo, soal penerapan putusan itu, Laica memang sejak awal sudah keras. ”Dia tidak ingin Mahkamah dianggap plinplan,” ujar sumber yang juga staf khusus Mahkamah Konstitusi ini.
Bagi Mohammad Assegaf, pengacara Nazaruddin, putusan ini memang tak berakibat hukum apa pun terhadap kliennya. ”Ini untuk kepentingan publik, untuk klien saya tak ada pengaruhnya,” ujarnya. Menurut Assegaf, jika Mahkamah konsisten, seharusnya putusan itu segera dijalankan. Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Tumpak Hatorangan Panggabean, menegaskan bahwa pihaknya juga tak kecewa atas dicabutnya Pasal 53 itu. ”Ini bukan soal kalah atau menang. KPK akan tetap bekerja seperti biasa,” ujarnya.
Sejumlah anggota DPR mengaku terkejut dengan putusan Mahkamah ini. ”Kami tidak berpikir pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi yang dimasukkan ke UU KPK melanggar konstitusi,” ujar anggota Komisi Hukum Lukman Hakim Saefuddin. Menurut Lukman, saat menggodok Rancangan Undang-Undang KPK, Dewan pernah berencana membuat undang-undang khusus tentang pengadilan korupsi. ”Tapi batal karena itu memerlukan waktu lama,” ujarnya.
DPR, menurut Lukman, akan segera menyusun undang-undang pengadilan tindak pidana korupsi seperti diperintahkan Mahkamah Konstitusi. ”Waktu tiga tahun yang diberikan itu cukup,” ujarnya.
L.R. Baskoro dan Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo