Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Tokyo – Sekitar seribu orang Kamboja di Tokyo, Jepang, memprotes bantuan pemerintah negara itu untuk pelaksanaan pemilu Kamboja. Para pemrotes menuding proses persiapan pemilu oleh pemerintahan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, sarat dengan berbagai kecurangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pengunjuk rasa berparade di distrik Ginza di Tokyo pada 17 Juni 2018 sambil membawa berbagai spanduk dan berteriak ‘Pemilu Adil untuk Kamboja’, dan ‘Kami tidak butuh diktator’.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca:
“Saya bisa memprediksi hasil pemilu dengan partai berkuasa pimpinan Hun Sen (Partai Rakyat Kamboja) memenangkan pemilu dengan telak,” kata Vanna Hay, 31 tahun, salah seorang pekerja kantoran yang mengikuti parade kelompok anti-Hun Sen ini, seperti dilansir media Asahi, Senin, 18 Juni 2018.
“Kami ingin Jepang, yang merupakan pemberi bantuan paling besar untuk negara kami, mendesak pemerintah Kamboja agar mengaktifkan kembali partai oposisi.”
Baca:
Protes ini digelar oleh kelompok Gerakan Penyelamatan Nasional Kamboja di Jepang. Para aktivis memprotes bantuan pemerintah Jepang sebesar 800 juta yen atau sekitar US$7 juta (sekitar Rp99 miliar) untuk pengadaan kotak suara pada pemilu Kamboja dan keperluan lainnya.
Sekitar seribu warga Kamboja menggelar unjuk rasa di Tokyo pada Ahad, 17 Juni 2018, menuntut penghentian bantuan dana dari pemerintah Jepang kepada Kamboja untuk pelaksanaan pemilu pada 29 Juli 2018, yang dituding sarat kecurangan. Phnompenhpost
Mereka adalah aktivis dari Partai Penyelamat Nasional Kamboja, yang telah dibubarkan oleh Mahkamah Agung negara itu atas permintaan Hun Sen. Alasannya, pemerintah Hun Sen mengatakan partai ini membuat plot untuk mengkudeta pemerintah.
Tokoh oposisi Kamboja, Sam Rainsy, telah menyerukan kepada rakyat Kamboja untuk menggelar gerakan golput pemilu dengan tidak mencoblos pada 29 Juli 2018. Saat ini, Rainsy berada di Eropa dan mencoba menggalang dukungan internasional untuk menjatuhkan pemerintahan otoriter Hun Sen, yang telah berkuasa selama sekitar 30 tahun.
Sejumlah media massa yang kritis terhada Hun Sen juga telah ditutup pemerintah. Pemberangusan kebebasan sipil ini telah membuat pemerintah Uni Eropa dan AS menghentikan berbagai bantuan logistik dan uang kepada pemerintah Kamboja.
Menurut Bora Nep, 38 tahun, yang tinggal di Prefektur Saitama, hidup di era pemerintahan Hun Sen merupakan hal sulit. “Sulit bagi kami menyuarakan keluhan mengenai pemerintah di negara kami,” kata dia. Saya ingin perubahan di politik Kamboja sehingga kami bisa mengatakan apapun secara bebas.”
Sebelumnya, seperti dilansir Channel News Asia, PM Hun Sen mengancam akan memenjarakan tokoh oposisi yang memimpin kampanye jari bersih atau boikot pemilu pada 29 Juli 2018.
Peringatan itu dikeluarkan pada Jumat, 15 Juni 2018. Alasannya, pemerintah beranggapan orang yang menyerukan boikot pemilu sama dengan menghalangi pemilihan dan bisa didakwa dengan tuduhan kriminal.
"Pengadilan dapat mengambil tindakan hukum ... Menurut undang-undang pemilu, orang-orang yang menghalangi pemilihan dapat didenda dan menghadapi tuntutan pidana," kata juru bicara Partai Rakyat Kamboja, Sok Eysan, seperti dilansir Channel News Asia pada Jumat, 15 Juni 2018.