Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegaduhan mengungkung Ka'bah. Bukan karena umat Islam yang menyemut menjalankan ibadah umrah selama Ramadan, tapi oleh alat-alat berat raksasa yang berdiri di sekeliling kiblat salat di Mekah itu. Belalai-belalai metal yang menjulur ke langit sibuk bergerak memindahkan bahan bangunan. Suara yang dihasilkan mengganggu kemerduan dan kesyahduan zikir orang-orang yang beribadah. Debu mengepul di mana-mana. "Selama melakukan tawaf, suara riuh alat berat bergantian dengan lantunan talbiyah," kata Ijar Karim dari Tempo, yang menjalankan ibadah umrah pada awal Juli lalu.
Semua ketidaknyamanan ini merupakan bagian dari proyek akbar perluasan Masjidil Haram, yang dimulai pada 26 Agustus 2011. Kawasan Ka'bah, yang sebelumnya berkapasitas 48 ribu anggota jemaah, berkurang menjadi 22 ribu per jam. Saat meletakkan batu pertama, Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz menegaskan bahwa proyek perluasan ketiga ini akan menambah area masjid seluas 400 ribu meter persegi, yang memperbanyak daya tampung Masjidil Haram menjadi 1,2 juta orang dalam satu waktu.
Seperti dilansir Gulfnews, Raja Abdullah saat itu mengatakan proyek perluasan akan meningkatkan kapasitas Masjidil Haram, baik di ruang ibadah maupun ruang terbuka. Proyek ini diharapkan akan mengurangi kepadatan jemaah haji saat beribadah di sekitar Masjidil Haram.
"Pembangunan ini terhitung yang terbesar," kata Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa bin Ibrahim al-Mubarak, dalam konferensi pers di Jakarta, akhir Juni lalu. Salah satu konsekuensi dari proyek ini juga berimbas pada pemotongan jumlah anggota jemaah haji setiap negara hingga 20 persen. Indonesia pun merasakan dampaknya.
Proyek dengan anggaran 40 miliar riyal atau sekitar Rp 91 triliun itu antara lain akan menghubungkan pintu keluar Masjidil Haram dengan Masaa, yang merupakan jalur sai (lari kecil) antara Safa dan Marwah, melalui serangkaian jembatan. Beraneka fasilitas juga akan dipasang untuk melengkapi pembangunan perluasan Masjidil Haram, seperti penyejuk udara, tangga berjalan, tempat sampah, dan sistem keamanan canggih.
Proyek perluasan juga meliputi pembangunan transportasi kereta api untuk jemaah haji dan umrah, proyek terowongan yang menghubungkan Mina, MuzdaÂlifah, dan Arafat, sampai perluasan akses jemaah, sehingga mudah mengambil air zamzam di Mekah. "Proyek ini bagian dari upaya memberi layanan terbaik bagi jemaah," ujar Habib Zain al-Abideen, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Arab Saudi.
Sayang, megaproyek itu memakan korban. Seperti dikatakan Mustafa, proyek kali ini akan menghancurkan 44 tiang berusia ratusan tahun dari Dinasti Ottoman dan Abasid. Kepada Tempo dari London, Irfan al-Alawi, Direktur Eksekutif Islamic Heritage Research Foundation, menyayangkan kejadian ini. "Saya tidak menentang perluasan. Tapi ada solusi lain daripada menghancurkan situs bersejarah," tutur Alawi melalui surat elektronik kepada Tempo, pertengahan bulan lalu.
Bagi Alawi dan yayasan yang berusaha menyelamatkan situs bersejarah di dua kota suci Mekah-Madinah, keberadaan tiang yang telah menjadi bagian dari MasjiÂdil Haram itu memiliki arti sangat penting bagi umat muslim sedunia. "Beberapa tiang menandai tempat Rasulullah pernah duduk dan berdoa," ia menambahkan.
Toh, tak semua menyayangkan hancurnya kenangan itu. Mufti Besar Syekh Abdul Aziz bin Abdullah al-Sheikh, pemimpin spiritual tertinggi Kerajaan Arab Saudi, seperti dilansir situs televisi Iran, Press TV, menegaskan tidak ada yang salah dengan penghancuran situs-situs bersejarah di Masjidil Haram. "Penghancuran ini memang harus dilakukan. Bahkan seharusnya Anda berterima kasih kepada pemerintah karena penghancuran ini bertujuan meningkatkan kapasitas Masjidil Haram," katanya.
Sebenarnya perataan situs sejarah demi alasan kenyamanan jemaah haji dan umrah telah terjadi sejak Dinasti Saud berkuasa di Al-Haramain. Pada 2002, perang diplomatik antara Arab Saudi dan Turki sempat berkobar gara-gara penghancuran Benteng Ajyad yang berhadapan langsung dengan Masjidil Haram. Benteng berusia 220 tahun itu dihancurkan bersama bukit di bawahnya, untuk melempangkan pembangunan Makkah Royal Clock Tower, menara jam tertinggi di dunia yang dihiasi tulisan "Allah" pada puncaknya.
Gedung setinggi 601 meter yang juga dikenal sebagai Abraj al-Bait itu memiliki tujuh menara dengan 120 lantai. Menempati lahan dua kali luas Pentagon, gedung terbesar di Amerika Serikat, bangunan ini menampung sejumlah hotel bintang lima hingga pusat belanja mewah.
Dengan geram Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Turki saat itu, Istemihan Talay, menyatakan langkah tersebut sebagai tindakan barbar. "Benteng yang didirikan dinasti Ottoman untuk melindungi Ka'bah dari bandit saat itu merupakan salah satu peninggalan bersejarah terbesar bagi umat manusia. Penghancurannya tak berbeda dengan penghancuran monumen Buddha oleh Taliban di Afganistan," ucap Talay.
Tanggapan Arab Saudi memerahkan telinga Turki. Menteri Urusan Islam Arab Saudi Saleh al-Syaikh saat itu menegaskan bahwa penghancuran benteng seluas 23 ribu meter persegi itu merupakan hak kedaulatan negaranya. "Tidak ada yang boleh turut campur, karena ini untuk proses perluasan dan pembangunan Masjidil Haram," kata Syaikh.
Pemugaran Masjidil Haram memang ekstrem. Zulhusni Siregar sempat bengong ketika dibawa ustad pembimbing kelompok umrahnya berjalan mendekati pusat belanja mewah di Abraj al-Bait pada akhir April lalu. Pria 39 tahun yang bekerja sebagai tenaga teknologi informasi di sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu menegur sang ustad karena dia tidak berniat berbelanja, tapi beribadah. "Pak Ustad kemudian menceritakan, di mal mewah itu, dulu pernah berdiri kediaman sahabat Nabi sekaligus mertuanya, Abu Bakar," katanya.
Belum lepas dari rasa terkejut, rombongan umrah kemudian dibawa sang ustad menuju kakus umum di dekat Masjidil Haram. Dia melanjutkan penjelasan, di lokasi itulah dulu letak kediaman Khadijah, istri pertama Rasulullah. Situs ini hilang saat perluasan Masjidil Haram pada 1980-an. Tak ada lagi jejak rumah bersejarah tempat Rasulullah menerima wahyu pertama dan tinggal selama 29 tahun. Mendengar itu, sejumlah anggota jemaah perempuan menangis histeris. Termasuk ibunda Zulhusni, Murni Rambe, yang berusia 64 tahun. "Dengan air mata bercucuran, ibu saya hanya dapat mendaras astagfirullah," dia berkisah.
Penghancuran berbagai situs bersejaÂrah di dua kota suci umat Islam itu memang sudah mencapai titik kritis. Gulf Institute, lembaga berbasis di Washington, DC, Amerika Serikat, melansir sekitar 95 persen situs bersejarah berusia ribuan tahun di Mekah telah hancur hanya dalam dua dekade terakhir.
Rumah tempat Nabi Muhammad dilahirkan dan dibangun pada 570 Masehi pun turut menjadi korban. Kementerian Haji Arab Saudi dalam situsnya menjelaskan, lokasi rumah yang pernah menjadi pasar ternak itu berjarak sekitar 500 meter dari MasjiÂdil Haram. Rumah itu kini berganti menjadi gedung perpustakaan dan sekolah. "Bila tidak ada yang memberi tahu, saya bahkan tidak mengira gedung itu dibangun di atas rumah Nabi," kata Ijar Karim.
Kepada Tempo, Direktur Gulf Institute Ali Abbas al-Ahmed menuding penghancuran situs bersejarah, terutama yang berkaitan dengan keluarga Nabi, didalangi kelompok Wahabi. Menurut mereka, jangankan berdoa di situs, hanya peduli terhadap tempat peninggalan yang berbau religius itu saja akan menjauhkan orang dari tauhid alias syirik. "Dengan menghancurkan situs-situs itu, Wahabi yakin mereka justru membantu umat," demikian tulis Ahmed dalam surat elektroniknya, pertengahan Juli lalu.
Ahmed mendesak seluruh umat muslim di dunia berseru menghentikan perusakan situs. "Mengkritik pemerintah Arab Saudi tidak sama dengan mengkritik Islam," ia menegaskan. Alawi mendukung sikap Ahmed. "Bagaimana mungkin Anda menentang pembuatan film tentang Nabi, tapi berdiam diri saat melihat peninggalan beliau dan keluarganya berkalang tanah?"
Sita Planasari Aquadini (The Independent, BBC,Gulf News)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo