Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terjebak Sumur Minyak Aljazair

Setelah gagal di beberapa negara, rencana Pertamina mengakuisisi ConocoPhillips Algeria kembali terganjal. Harga dianggap kelewat tinggi, proyeksi produksi juga diragukan.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tenggat 7 Juni lalu itu lewat begitu saja. Sesuai dengan perjanjian jual-beli yang diteken kedua pihak, pada tanggal itu PT Pertamina (Persero) semestinya menyelesaikan rencana akuisisi alias pembelian saham ConocoPhillips Algeria Ltd, yang menguasai Blok 405a di Aljazair. Tapi hingga menjelang Lebaran pada awal bulan ini, atau dua bulan setelah batas waktu, tak ada pembayaran dilakukan oleh perusahaan minyak pelat merah itu.

Ketika mengumumkan penandatanganan kesepakatan pada pertengahan Desember tahun lalu, Wakil Presiden Eksekutif Komersial, Pengembangan Bisnis, dan Perencanaan Korporat ConocoPhillips Don Wallette mengatakan penjualan unit bisnis mereka di Aljazair itu senilai US$ 1,75 miliar. Dengan kurs rupiah yang berlaku saat itu, yang masih berkisar di angka 10 ribu per dolar, nilai akuisisi itu setara dengan hampir Rp 17,5 triliun.

"Penjualan unit bisnis Algeria ini merupakan tahap penting dalam transformasi basis aset ConocoPhillips dan tahap lanjut hak partisipasi strategis antara Pertamina dan ConocoPhillips," kata Wallette melalui situs resmi perusahaan itu. Tapi proses pengalihan hak pengelolaan ladang minyak di negeri orang jelas tak bisa sembarangan dan bukan hanya jadi urusan kedua perusahaan. Semuanya akan sangat bergantung pada persetujuan pemerintah Aljazair.

Alasan inilah yang disampaikan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan ketika menjelaskan mengapa penyelesaian transaksi akuisisi itu tak terwujud sesuai dengan kesepakatan. "Untuk closing, kami masih menunggu approval dari negara setempat," ujar Karen saat ditemui di sela kunjungan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di terminal BBM Plumpang, Jakarta Utara, Rabu, 31 Juli lalu.

Sumber Tempo di pemerintahan mengatakan, selain penting buat perusahaan, secara pribadi Karen sangat memerlukan keberhasilan akuisisi ini. Diangkat sebagai direktur utama pada Februari 2009, salah satu "jualan" Karen adalah membawa Pertamina menjadi pemain global dalam bisnis minyak dan gas. Dia berencana mengakuisisi ladang minyak milik operator lain di Australia, Venezuela, dan beberapa negara di Asia.

Namun beberapa proyek itu menemui jalan buntu dengan beragam sebab. Di Venezuela, misalnya, rencana Pertamina membeli 32 persen saham Petrodelta SA, yang dikantongi Harvest Natural Resources Inc, terhadang kemenangan kembali Hugo Chavez yang anti-asing sebagai presiden di negeri itu, Oktober tahun lalu. "Ya, kita tahu bagaimana gaya kepemimpinan Chavez selama ini," kata Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Afdal Bahaudin saat itu.

Presiden beraliran kiri yang sudah berkuasa 14 tahun itu dianggap memperbesar risiko politik bagi investasi asing di negeri itu. Chavez tak segan mengusir dan menasionalisasi perusahaan asing yang sudah puluhan tahun beroperasi di wilayahnya. Belasan perusahaan minyak, pertambangan, pembangkit listrik, dan telekomunikasi telah merasakan kebijakan keras Chavez itu pada 2007. Kebanyakan merupakan milik Amerika Serikat, seperti ExxonMobil, ConocoPhillips, Gold Reserve Inc, CMS Energy, dan Verizon. Sebagian besar dari mereka menggugat lewat International Chamber of Commerce (ICC), tapi tak ada yang bisa mengembalikan bisnis mereka seperti semula.

Penggantinya, Nicolas Maduro, dianggap memiliki aliran politik dan pandangan tak berbeda. Itu sebabnya, meski sudah menyetor US$ 5 juta ke rekening penampung sebagai tanda keseriusan, Pertamina akhirnya memilih mundur dari transaksi senilai US$ 725 juta atau sekitar Rp 7,25 triliun itu.

Beberapa rencana akuisisi lain sepanjang tahun lalu juga gagal. Karena itu, menurut sumber di kementerian tersebut, transaksi di Aljazair ini menjadi semakin krusial bagi Karen. Sumber ini menyebutkan kelanjutan rencana ekspansi ke luar negeri itu jadi salah satu pertimbangan saat pemerintah memutuskan memperpanjang masa jabatan Karen. "Walau belum bisa seperti Petronas, supaya ada stabilitas manajemen dan tidak terguncang-guncang," ujar Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan ketika mengumumkan perpanjangan tersebut.

Karen menegaskan, akuisisi ConocoPhillips Algeria berpotensi menambah produksi minyak bagi Pertamina 23 ribu barel per hari. "Mega-akuisisi ini dapat menambah produksi Pertamina secara signifikan dalam waktu cepat dan dengan minyak mentah berkualitas tinggi," katanya setelah menandatangani perjanjian jual-beli.

Blok 405a terdiri atas tiga lapangan utama, yaitu Menzel Lejmat North, Purhoud, dan EMK. Di lapangan Menzel Lejmat North, ConocoPhillips Algeria Ltd menguasai 65 persen hak partisipasi sekaligus bertindak selaku operator. Adapun hak partisipasi anak usaha ConocoPhillips di lapangan Ourhoud 3,7 persen dan di Lapangan EMK 16,9 persen. Dalam perhitungan Pertamina, angka produksi 23 ribu barel per hari pada saat mereka meneken kesepakatan itu masih akan bisa digenjot menjadi sekitar 35 ribu barel per hari pada 2013. "Setelah lapangan EMK mulai berproduksi," Karen menjelaskan.

Menurut dia, akuisisi yang dibiayai dari sebagian penerbitan obligasi global senilai US$ 3,25 miliar pada 10 Mei lalu ini merupakan tahap lanjut bagi pengembangan ekspansi bisnis hulu Pertamina. Ia juga berharap nantinya Pertamina dapat bekerja sama dengan Sonatracht, perusahaan migas milik pemerintah Aljazair, dan perusahaan mitra di Blok 405a untuk memaksimalkan produksi dari ladang dengan cadangan 100 juta barel minyak itu.

Hitungan Karen yang optimistis itulah yang banyak dipertanyakan, bahkan di dalam Pertamina sendiri. Salah satu pejabat perusahaan yang tak mau disebutkan namanya mengatakan, sejak perencanaan, mereka sudah merasa janggal dengan angka-angka proyeksi yang disodorkan. "Janji produksi 23 ribu bahkan 35 ribu barel per hari itu kelewat berani, karena nyatanya sekarang hanya 8.000-an barel per hari yang keluar dari sumur," katanya.

Sumber lain di perusahaan itu merujuk pada beberapa data pembanding yang banyak dikutip di sejumlah media seperti kantor berita Reuters, Wall Street Journal, dan Oil and Gas Journal, tak lama setelah Pertamina mengumumkan rencananya. Menurut catatan media asing internasional itu, net carrying value dari aset ConocoPhillips Algeria Ltd pada akhir tahun lalu disebutkan senilai US$ 850 juta.

Adapun rata-rata jumlah produksi yang tercatat pada waktu perjanjian jual-beli ditandatangani Pertamina adalah 11 ribu barel minyak per hari. Angka itu jauh di bawah klaim yang disebutkan Karen, yakni 23 ribu barel per hari. "Dari angka-angka itu saja kita sudah bisa menebak bahwa nilai akuisisi yang disepakati Pertamina terlalu tinggi atau overvalued," kata Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi. "Ini harus diawasi karena melibatkan uang keluar, apalagi dengan selisih hitungan besar sekali."

Pri Agung juga mengkritik langkah Pertamina yang mengambil jalan pintas atau cara anorganik melalui akuisisi yang hanya memberi mereka hak partisipasi melalui penguasaan sebagian saham. "Akuisisi itu tak selalu menempatkan Pertamina sebagai operator. Jadi tak lebih dari instrumen investasi seperti pembelian saham di bursa," katanya. "Pertamina tak bisa mengklaim cara itu akan menambah pasokan minyak mentah untuk kebutuhan kita."

Sekarang situasi menjadi sulit bagi Pertamina. Menurut sumber itu, meski dengan valuasi yang terlalu tinggi, sulit bagi Pertamina untuk mundur dari transaksi. "Pertamina seperti terjebak. Uang muka sudah dibayarkan 10 persen dari nilai akuisisi. Kalau tak jadi, Pertamina juga terancam digugat di Badan Arbitrase Internasional," ia mengungkapkan. "Sialnya, keterlambatan closing dari tenggat Juni lalu juga berimplikasi denda bagi Pertamina. Besarnya diukur dari bunga Libor (London interbank offered rate) plus 2 persen."

Direktur Hulu Pertamina Muhammad Husen mengaku tidak berkompeten memberi tanggapan tentang akuisisi di Aljazair itu. "Yang menangani Pak Afdal, Direktur Investasi dan Manajemen Risiko," ujarnya. Sementara itu, Afdal, yang ditemui saat mendampingi Karen di terminal BBM Plumpang, menolak memberi penjelasan lebih detail dengan alasan terikat perjanjian kerahasiaan dengan ConocoPhillips. "Kami harap ada progres baik setelah Lebaran ini," ujar Afdal.

Mewakili Karen, Deputi Direktur Komunikasi Korporat Pertamina Ali Mundakir membantah anggapan bahwa perusahaannya terlalu tinggi menawar dalam akusisi di Aljazair. Ia juga menegaskan batas waktu 7 Juni yang disebut-sebut itu tak lebih sebagai harapan kedua pihak untuk bisa menyelesaikan transaksi secepatnya. "Jadi bukan tenggat yang akan menimbulkan denda bagi Pertamina," kata Ali. "Saat ini masih dalam proses."

Ali tak menyangkal bahwa kritik berdatangan, termasuk dari dalam perusahaan, atas strategi ekspansi ke luar negeri. Namun dia memastikan Pertamina telah menjalankan best practice sebagaimana yang berlaku di industri migas. Setiap investasi, termasuk akuisisi di Aljazair, kata dia, telah dianalisis dengan pertimbangan yang rasional berdasarkan data riil di lapangan.

Menurut dia, selain beberapa kegagalan yang lebih sering disebut, Pertamina mempunyai kisah sukses dalam akuisisi Blok Offshore North West Java (ONWJ) dari BP. Sejak diakuisisi, Ali menjelaskan, produksi meningkat dari 22 ribu barel pada 2010 menjadi 36-40 ribu barel minyak per hari saat ini. Sebaliknya, ia mengakui, ada pula investasi di salah satu blok di Australia yang pada saat diakuisisi sedang berproduksi, saat ini operasinya harus dihentikan karena pertimbangan keamanan dan lingkungan.

"Investasi di bidang migas memang penuh risiko. Keberhasilan dan kegagalan bisa terjadi dalam rentang yang lebar," kata Ali Mundakir. Tapi, ia mengingatkan, beberapa rencana akuisisi Pertamina yang dikritik dan harganya dianggap terlalu mahal oleh berbagai pihak ternyata pada akhirnya batal karena dibeli oleh pihak lain dengan harga yang lebih tinggi dari yang ditawarkan Pertamina. "Banyak kritik disampaikan dengan dukungan data minim."

Y. Tomi Aryanto, Ayu Prima Sandi


Tertatih Menggapai Ambisi

Visi Pertamina untuk menjadi perusahaan minyak kelas dunia tampaknya masih jauh dari harapan. Produksi minyak dan gas bumi di dalam negeri seret. Sepanjang semester pertama 2013, produksinya hanya 90 persen dari target perusahaan atau 464,82 juta barel setara minyak.

Masalah klise, menurut Direktur Hulu Pertamina Muhammad Husen, yang mengakibatkan rendahnya realisasi itu. "Soal lahan, perizinan, pengeboran, ya gitu-gitu saja alasannya," katanya. Ada pula masalah teknis yang sulit terselesaikan. Ia mencontohkan proyek pengeboran sumur eksplorasi yang kurang berhasil.

Sambil menyelesaikan masalah klise itu, Pertamina berusaha mengakuisisi ladang minyak di luar negeri. Namun, dalam setahun terakhir, perusahaan pelat merah itu harus tiga kali menelan kegagalan.

Kegagalan pertama ketika ingin mengambil alih 32 persen saham Petrodelta SA (Venezuela) dari perusahaan migas asal Amerika Serikat, Harvest Natural Resources Inc. Petrodelta memiliki hak konsesi seribu kilometer persegi dengan cadangan 486 juta barel ekuivalen setara minyak. Pada akhir Februari lalu, rencana ini tidak berlanjut karena Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan tidak setuju dengan harganya.

Pertamina juga batal membeli 15 persen saham Coastal Energy US$ 2,6 miliar atau sekitar Rp 26 triliun pada akhir tahun lalu. Penyebabnya, harga yang terlalu mahal. Coastal Energy merupakan perusahaan migas asal Kanada yang memiliki 100 persen blok migas di Teluk Thailand. Perusahaan itu juga memiliki empat konsesi migas di wilayah perairan Thailand utara.

Lalu Pertamina juga melepas hak partisipasinya di Blok Basker Manta Gummy, Australia. Alasannya, blok ini sudah tidak lagi berproduksi. Sampai sekarang divestasi 10 persen saham tersebut belum selesai. Nilainya juga belum jelas. Ketika Pertamina membelinya pada 2009, cadangan pasti dan terkiranya sebesar 7,8 juta barel ekuivalen dan 19 juta barel ekuivalen setara minyak. Namun pada 2010 terjadi koreksi menjadi 1,7 juta ekuivalen dan 3,1 juta ekuivalen setara minyak.

Toh, tiga kegagalan itu tidak menyurutkan ambisi Pertamina. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan beberapa bulan lalu mengatakan masih ada empat blok migas asing yang menjadi incarannya. Ia tidak mau menyebutkan dengan rinci di mana saja lokasinya. Menteri Dahlan pernah menyebut Irak menjadi lokasi potensial.

Saat ini blok migas asing milik Pertamina ada di Libya, Sudan, Qatar, Irak, Australia, Vietnam, dan Malaysia. Tapi, menurut pengamat energi dari ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, semuanya sekadar hak partisipasi. "Belum ada yang memposisikan Pertamina jadi operator," katanya. "Apa bedanya dengan main saham?"

Komaidi mengatakan, sebagai badan usaha milik negara, sebaiknya Pertamina tidak hanya mencari margin dan uang, tapi harus bisa menjadi tulang punggung menaikkan produksi minyak nasional. "Mencari blok migas asing boleh saja, tapi jangan sampai meninggalkan fitrahnya," ujarnya.

Sudah lama Pertamina berinvestasi ke luar negeri. Tapi indikator cadangan dan produksi migas tidak naik signifikan. Komaidi mencatat, produksi minyaknya tidak mencapai 20 persen dari produksi nasional. Padahal target lifting minyak pada APBN-P 2013 sudah turun dari 900 ribu menjadi 840 ribu barel per hari. Tetap saja Pertamina kesulitan mencapai angka tersebut.

Langkah ekspansi ke luar negeri memang tak terhindarkan. Kawasan Asia-Pasifik mulai minim cadangan minyak, sementara konsumsinya setengah dari pemakaian dunia. "Tapi idealnya kuat di dalam dulu, seperti perusahaan migas nasional negara lain," kata Komaidi.

Deputi Kementerian Negara BUMN Bidang Manufaktur dan Strategis Dwiyanti Tjahjaningsih tidak mau banyak mengomentari investasi Pertamina di luar negeri. "Setiap investasi di mana pun pasti ada kajian dan feasibility study-nya," ujarnya. "Sepanjang investasi tersebut hasilnya baik dan menguntungkan Pertamina, kami dukung."

Sorta Tobing, Ayu Prima Sandi, Bernadette Christina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus