Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, - Warga Selandia Baru memperingati dua tahun serangan teror ke dua masjid di Christchurch yang menewaskan 51 jemaah. Dalam acara ini pemerintah dan keluarga korban kembali menyerukan untuk hidup berdampingan apapun agama dan latar belakangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan orang berkumpul di Christchurch Arena pada Sabtu untuk mengenang para korban teror.
Kiran Munir, yang suaminya menjadi salah satu korban, mengatakan kepada orang banyak bahwa dia telah kehilangan cinta dalam hidupnya dan belahan jiwanya. Dia berujar suaminya adalah ayah yang penyayang dari dua anak mereka dan baru saja menyelesaikan gelar doktor sambil menangi upacara kelulusannya.
“Sedikit yang saya tahu bahwa hari tergelap dalam sejarah Selandia Baru telah menyingsing. Hari itu hatiku hancur berkeping-keping, seperti hati 50 keluarga lainnya," katanya dikutip dari Aljazeera, Ahad, 14 Maret 2021.
Temel Atacocugu, yang selamat dari penyerangan itu, mengatakan pembantaian ini disebabkan oleh rasisme dan ketidaktahuan. "Mereka menyerang seluruh umat manusia," katanya.
Menurut dia, para korban mungkin tidak akan pernah bisa menghapus rasa sakit di hati mereka. “Namun, masa depan ada di tangan kita. Kami akan terus maju dan kami akan menjadi positif bersama," ucap dia.
Selama acara ini berlangsung, nama masing-masing dari 51 orang yang tewas dibacakan. Upaya pertolongan pertama dari polisi dan petugas medis juga diceritakan.
Dalam serangan 15 Maret 2019, warga Australia Brenton Tarrant menewaskan 44 orang di masjid Al Noor menjelang salat Jumat. Ia lalu mengemudi ke masjid Linwood, dan membunuh tujuh orang lainnya.
Tarrant telah mengakui perbuatannya dan dikenai 51 dakwaan pembunuhan, 40 dakwaan percobaan pembunuhan dan satu dakwaan terorisme, tahun lalu. Dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.
Setelah serangan tersebut, Selandia Baru segera mengeluarkan undang-undang baru yang melarang jenis senjata semi-otomatis paling mematikan.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan negaranya harus belajar dari serangan teror itu dan menjadi bangsa yang lebih inklusif. "Yang berdiri bangga dengan keragaman kita dan merangkulnya dan, jika dipanggil, pertahankan dengan kukuh," tuturnya.
Sumber: ALJAZEERA