Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sosok Presiden Tunisia Pasca Arab Spring, Beji Caid Essebsi

Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi, pemimpin yang membawa Tunisia menuju demokrasi pasca Arab Spring 2011, meninggal pada usia 92 tahun.

26 Juli 2019 | 16.23 WIB

Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi.[REUTERS]
material-symbols:fullscreenPerbesar
Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi.[REUTERS]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi, pemimpin yang membawa Tunisia menuju demokrasi pasca Arab Spring 2011, meninggal pada usia 92 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Essebsi meninggal di rumah sakit militer di Tunis. Tidak ada keterangan penyebab kematian dalam pernyataan yang dirilis pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dia dirawat di rumah sakit bulan lalu dengan penyakit yang tidak diungkapkan.

Dalam karir politik lebih dari 60 tahun, Essebsi adalah satu-satunya politisi senior di Tunisia yang memegang jabatan politik dalam demokrasi baru serta di bawah kediktatoran Habib Bourguiba sebelumnya, yang menjadi presiden setelah negara itu memperoleh kemerdekaan dari Perancis, dan Zine el-Abidine Ben Ali, yang akhirnya digulingkan, menurut New York Times, 26 Juli 2019.

Pernyataan pemerintah menggambarkan Essebsi sebagai salah satu dari tokoh besar di Tunisia dan salah satu dari mereka yang berkontribusi paling besar dalam membangun Tunisia.

Parlemen bertemu pada hari Kamis untuk membahas apa yang terjadi selanjutnya. Sementara itu, ketua Parlemen, Mohamed Ennaceur, akan mengambil alih kepresidenan, katanya dalam sebuah pengumuman.

Essebsi keluar dari masa pensiunnya tahun 2011 menjadi perdana menteri sementara sampai pemilihan majelis konstituante, setelah pemberontakan yang mengakhiri kekuasaan 23 tahun Ben Ali.

Pemberontakan di Tunisia memicu protes antipemerintah dan pemberontakan di seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah yang dikenal sebagai Arab Spring.

Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi.[REUTERS]

Pada 2014, Essebsi menjadi presiden Tunisia pertama yang terpilih dalam pemilihan yang bebas dan adil. Dia masih menjabat saat meninggal. Tahun ini, ia telah mengumumkan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri dalam pemilu bulan November, dan mengatakan seseorang yang lebih muda harus mengambil alih kepresidenan.

Lahir pada 29 November 1926, di Sidi Bou Said, sebuah desa di puncak tebing di utara Tunis, Essebsi menjadi pengacara di Paris.

Dia menjadi sekutu dekat Bourguiba, membela dia dan tahanan lainnya selama perjuangan kemerdekaan Tunisia dari Prancis pada 1950-an. Ketika Bourguiba menjadi presiden pertama Tunisia setelah kemerdekaan diperoleh pada tahun 1956, Essebsi menjabat sebagai direktur keamanan, menteri dalam negeri, menteri pertahanan dan kemudian menteri luar negeri.

Bertahun-tahun kemudian, ia dikritik oleh Komisi Kebenaran dan Kehormatan Tunisia, yang dibentuk setelah revolusi 2010 untuk menyelidiki pelanggaran selama tahun-tahun kediktatoran. Komisi tersebut menuduhnya dalam pelanggaran hak asasi manusia pada tahun 1963, ketika ia menjabat direktur keamanan nasional dan berurusan dengan upaya kudeta militer terhadap Bourguiba.

Laporan komisi mengatakan bahwa Essebsi telah mengawasi persidangan yang tidak adil terhadap lawan-lawan Bourguiba, yang dijalankan oleh hakim yang tidak independen.

Seorang saudara lelaki Essebsi, Slaheddine Caid Essebsi, juga disebutkan dalam laporan sebagai hadir di persidangan sebagai pengacara yang ditunjuk pemerintah. Tidak ada orang yang mengomentari temuan laporan.

Sepanjang hidupnya, Essebsi tetap mengabdi pada Bourguiba, melihatnya sebagai pahlawan dan penuntun. Dia menulis sebuah buku tentangnya, "Habib Bourguiba: The Wheat and the Chaff," diterbitkan pada 2009.

Di bawah penerus Bourguiba, Ben Ali, Essebsi secara singkat menjadi kepala Parlemen, tetapi ia pensiun dari politik pada tahun 1994, sebelum pemerintahan Ben Ali yang korup dan semakin otoriter dan menangkap atau menyiksa para pembangkang politik.

Ketika Ben Ali digulingkan pada Januari 2011 dan melarikan diri ke Arab Saudi bersama keluarganya, Essebsi diangkat sebagai perdana menteri sementara, dipilih karena pengalaman pemerintahannya dan reputasinya yang relatif positif.

Sebagai seorang pemimpin sementara, ia menunjukkan sikap yang adil dalam mengarahkan negara melalui transisi menuju demokrasi, menjalankan pemilihan umum yang adil untuk majelis konstituante dan menyerahkan kekuasaan secara bebas setelah itu kepada pemerintah yang dipimpin oleh partai Islam yang sebelumnya dilarang, Ennahda.

Essebsi kemudian membantu mendirikan partai politik sekuler, Nidaa Tounes, atau Call for Tunisia. Setelah dua pembunuhan politik pada tahun 2013 memicu protes, ia memimpin gerakan untuk menggulingkan pemerintah Islam yang semakin tidak populer.

Berbeda dengan Mesir, di mana militer merebut kekuasaan dan menindak keras para Islamis terpilih di negara itu, Tunisia berhasil bernegosiasi jika ada transfer kekuasaan, terutama berkat Essebsi.

Di puncak ketegangan pada 2013, ketika Tunisia terhuyung-huyung di tepi perselisihan sipil, ia memecahkan kebuntuan politik dengan mengadakan serangkaian pertemuan pribadi dengan Rached Ghannouchi, pemimpin Ennahda, yang telah kembali dari pengasingan selama pemerintahan Ben Ali. Kedua nya terus bertemu sejak itu.

Bagi kaum revolusioner muda yang menjatuhkan Ben Ali, Essebsi mewakili kembalinya pemerintahan lama dan cara-cara lama dalam melakukan sesuatu. Dia dikritik karena mengeluarkan undang-undang rekonsiliasi yang memberikan amnesti kepada mantan pejabat dan pegawai negeri sipil di era Ben Ali.

Sosok mungil Essebsi muncul sebagai politisi cerdik dengan pengalaman dan tekad untuk mengalahkan lawan-lawannya.

"Kami beruntung kami tidak memiliki pasukan yang kuat," katanya mengesampingkan peran militer.

Tetapi dia membuat solusi demokratis dengan kesiapannya, sebagai seorang sekularis yang yakin, untuk mengakui hak kaum Islamis untuk mendapat tempat dalam politik Tunisia dan untuk terlibat dengan mereka.

Partainya memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan parlemen Oktober 2014, menyerukan para pemilih untuk memilih sebagai taktik melawan kaum Islamis. Tetapi dia kemudian membentuk pemerintah persatuan, memberikan Ennahda satu pos kabinet.

Essebsi meninggalkan istrinya, Chadlia Saïda Caïd Essebsi, dan empat anak, di antaranya adalah politisi Hafedh Caid Essebsi, yang mengambil alih kepemimpinan partainya.

Masih pulih dari kediktatoran 60 tahun, masyarakat Tunisia tetap retak. Secara politis, kaum sekuler, termasuk kaum vokal kiri dan nasionalis Arab, bersaing dengan Islamis, yang memenangkan sekitar 28 persen suara dalam pemilihan legislatif 2014. Secara sosial, seorang elit kaya tinggal di kota-kota pesisir yang jauh dari daerah-daerah pedalaman yang miskin dan terbelakang, tempat revolusi dimulai dan di mana kerusuhan terus berlanjut.

Essebsi telah menyerukan rekonsiliasi dengan menekankan patriotisme di atas politik partai. Di antara proyek-proyek yang ditinggalkan Beji Caid Essebsi untuk Tunusia yang belum selesai adalah rencana untuk patung Hannibal di Carthage.

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus