"PARA perwira kami bangun pagi dan tak tahu lagi untuk siapa sebenarnya mereka jadi tentara," tutur seorang prajurit (bekas) Uni Soviet, "doktrin kami mengatakan bahwa 'kami mengabdi Ibu Pertiwi'. Tapi coba pikirkan, kini siapa Ibu Pertiwi itu?" lanjut prajurit itu pada harian militer Bintang Merah edisi 12 Desember 1991. Terbentuknya Persemakmuran Negara-Negara Merdeka awal Desember tahun lalu, yang membubarkan negara Uni Soviet secara tak langsung, memang membingungkan mereka yang bekerja untuk Uni Soviet dan berada dalam satu lembaga yang memberlakukan sistem satu komando. Instansi itu adalah angkatan bersenjata Uni Soviet. Di mana saja seorang prajurit Soviet berada, tak peduli apakah dia seorang Rusia atau seorang Kazakh, dan di tempatkan di mana pun, dari Jerman Timur sampai ke Kuba, ia tunduk pada perintah panglimanya yang berada di Moskow. Mula-mula kebingungan itu segera mendapat jawaban. Wakil-wakil Republik eks-Soviet menyepakati diubahnya angkatan bersenjata Uni Soviet menjadi angkatan bersenjata bersama. Pangab Yevgeny Shaposhnikov, bekas Pangab Uni Soviet, dipilih sebagai Pangab Persemakmuran. Masalahnya, dalam diskusi selanjutnya, Ukraina, Azerbaijan, dan Moldova (dulu Moldavia) kurang bisa menerima adanya satu komando bagi angkatan bersenjata Persemakmuran. Ketiga negara ini ingin punya angkatan bersenjata sendiri. Bahkan Presiden Ukraina Leonid Krahuk waktu itu mengatakan, sebagian besar tentara eks-Soviet yan ditempatkan di Ukraina sudah menandatangani sumpah setia sebagai tentara Ukraina. Krahuk menyebut angka 250.000 tentara. Sulitnya, sebagian serdadu di Ukraina masih memimpikan sebuah angkatan bersenjata eks-Soviet yang utuh. Suatu hari, di sebuah kapal perang di laut Hitam, dua anggota angkatan laut eks-Soviet adu panco. Mereka mewakili yang ingin bergabung dengan Ukraina dan yang ingin mempertahankan angkatan bersenjata eks-Soviet. Sejumlah pengamat mencemaskan konflik yang akan terjadi bukan hanya adu panco melainkan konflik senjata dan sebuah kudeta militer. Adanya dua sikap dalam angkatan bersenjata eks-Soviet makin jelas ketika Belarus, nama lamanya Belorusia, mengumumkan terbentuknya tentara nasionalnya yang beranggotakan 90.000 personel. Sementara itu, tetap ada upaya-upaya menyelamatkan satu-satunya lembaga eks-Soviet yang bisa dibilang masih setengah utuh ini, lembaga yang dibangga-banggakan mampu memukul balik pasukan Hitler dalam Perang Dunia II, dan bisa menunjukkan kedisiplinan yang tinggi dalam perang urat saraf dalam Perang Dingin. Dalam upaya mempertahakan keutuhan angkatan bersenjata itu pula para perwira eks-Soviet membentuk Perkumpulan Perwira Militer di Moskow Januari lalu. Mereka mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tetap menginginkan adanya satu angkatan bersenjata di bekas Uni Soviet. Lalu di hari angkatan bersenjata Uni Soviet yang jatuh pada 23 Februari, Ahad pekan lalu, yang tentu saja tak lagi diperingati secara besar-besaran, muncul demonstrasi di Moskow. Para demonstran terutama memprotes Boris Yeltsin yang tak juga bisa memberikan kesejahteraan pada rakyat Rusia meski ekonomi pasar sudah dijalankan. Di balik itu, terlontar juga yel-yel yang menghendaki dipertahankannya angkatan bersenjata eks-Soviet sebagai satu kesatuan. Buletin independen yang terbit di Moskow, Interfax, menuduh Perkumpulan Perwira Militer berada di belakang demonstrasi tersebut. Yang terlebih mencemaskan, di samping munculnya dua sikap yang konfrontatif itu, ada faktor lain yakni soal kesejahteraan. Selain mempengaruhi, soal ini mungkin mempercepat munculnya dua sikap itu, juga menambah besar ketegangan dalam tubuh militer. Menurut sebuah artikel di majalah U.S. News and World Report baru-baru ini, anggota angkatan bersenjata eks-Soviet bergabung dengan Ukraina karena menerima tawaran gaji lebih tinggi dan fasilitas lebih baik. Kata Volodya, kapten angkatan laut berusia 42 tahun, yang berpangkalan di wilayah pantai Ukraina, "Ini masalah perumahan dan kesejahteraan keluarga, bukan politik." Kesulitan ekonomi yang dialami Uni Soviet dulu memang tak hanya dirasakan oleh rakyat sipil tapi juga militer. Sudah sejak 1988 Presiden Mikhail Gorbachev mencoba mengatasi kesulitan ekonomi Soviet. Salah satunya adalah dengan pengetatan anggaran belanja dan salah satu sektor yang dikurangi bujetnya adalah angkatan bersenjata. Pengurangan itu antara lain dengan cara mengurangi jumlah personel militer. Tahun 1988 sampai tahun lalu sudah sekitar sejuta personel militer dibebastugaskan. Kini, menurut dugaan majalah Inggris The Economist, jumlah personel militer Soviet tinggal sekitar 3,5 juta. Bila rencana Gorbachev diteruskan, jumlah itu akan susut lagi hanya menjadi sekitar 3 juta saja di pertengahan 1990-an. Ini masih jumlah yang besar, mengingat angkatan bersenjata Amerika Serikat hanya lebih dari 2 juta. Dan untuk mengurangi dana untuk pospos militer di luar Soviet, Gorbachev juga memprogramkan penarikan pulang pasukan Soviet yang dulu ditempatkan di Jerman Timur, Ceko-Slovakia, Hungaria, Polandia, Vietnam, dan Kuba. Kebijaksanaan ini kemudian menjadi keharusan karena berakhirnya Perang Dingin yang dimulai dengan jebolnya Tembok Berlin, akhir 1989, dan disusul runtuhnya rezim komunis di negara-negara Eropa Timur. Maka mau tak mau Soviet harus menarik pasukannya dari satelit-satelitnya. Jumlah pasukan Soviet di Eropa Timur saja cukup banyak, hampir 600.000 tentara. Terbesar di Jerman (Timur), hampir 400.000 serdadu. Yang baru terlaksana dengan sukses adalah penarikan dari Ceko-Slovakia, Hungaria, dan Polandia. Sedangkan pasukan Soviet di Jerman, berdasarkan perjanjian dua pihak -- Jerman dan Soviet tahun 1990 -- akan ditarik bertahap dalam waktu empat tahun. Tapi pembebastugasan dan penarikan personel tentara eks-Soviet itu, yang tujuan panjangnya untuk menaikkan kesejahteraan tentara, dalam jangka pendek justru meningkatkan ketegangan. Soalnya, tindakan itu mengakibatkan pengangguran dan kemerosotan moral. Ada upaya memang, mereka yang biasanya dilatih untuk "bekerja" di medan tempur diberi keterampilan di medan lumpur, yakni di sawah dan ladang. Atau juga di pabrik-pabrik. Pihak Jerman, misalnya, telah menjanjikan pemberian keterampilan khusus bagi tentara eks-Soviet yang mau ditarik pulang. Sedangkan kemerosotan moral yang pertama berjangkit adalah dalam pasukan eks-Soviet yang ditempatkan di Jerman (Timur). Gambaran kesulitan ekonomi di Soviet membuat tentara yang berada di Jerman ogah pulang. Ada yang konon menulis surat kepada Kanselir Jerman Helmut Kohl, mohon agar tak dipaksa kembali ke Soviet. Soalnya, di sana "bahan makanan sulit, dan kami hanya diberi tenda untuk tempat tingal." Dikabarkan juga oleh majalah Der Spiegel waktu itu, tentara Soviet yang mengantisipasi bakal menemui kesulitan ekonomi bila pulang lalu berusaha mengumpulkan uang. Terjadilah penjualan obral inventaris militer diam-diam. Dari topi, jaket, mantel, sampai senjata. Polisi Jerman konon mengungkapkan sebuah senapan Kalashnikov dijual 250 mark padahal harga standarnya 1.000 mark. Tapi apa boleh buat, Persemakmuran -- persisnya Rusia -- memang tak punya pilihan lain. Perubahan politik memaksa Rusia menarik pasukan eks-Soviet itu. Bahkan pekan lalu Vietnam mendesak Moskow agar segera menarik lebih dari 5.000 personel militer dan penasihat militer Soviet dari Pangkalan Cam Ranh. Pemerintah Daerah Provinsi Khanh Hoa, provinsi yang membawahkan Cam Ranh, sudah menyatakan bahwa wilayah yang ditempati militer Soviet akan dibangun untuk kepentingan ekonomi. Mungkin juga desakan itu muncul setelah pihak Moskow menawar sewa Cam Ranh yang US$ 400 juta per tahun menjadi US$ 40 juta saja. Maka majalah U.S. News and World Report melaporkan, ketegangan kini meningkat di barak-barak tentara eks-Soviet. Soalnya, pemerintah Soviet dulu sampai pemerintah Rusia sekarang, yang mengambil alih tanggung jawab penarikan pasukan eks-Soviet dari luar, sebenarnya tak mampu menyediakan permukiman layak buat yang pulang itu. Maka mereka pun dijejalkan di barak-barak yang sudah ada. Satu tempat tinggal yang hanya punya satu dapur dan satu kamar mandi kini harus dihuni sampai 15 keluarga. Bahkan barak-barak itu tak mampu menampung semuanya -- sekitar 400.000 tentara mesti tinggal di kemah-kemah bagaikan pengungsi. Ketegangan itu makin terasa karena gaji mereka pun tak luput dari dampak merosotnya nilai rubel. Seorang jenderal dalam sebuah pertemuan di Moskow belum lama ini mengeluh bahwa ia baru bisa hadir setelah mendapat pinjaman setelan jas. Soalnya, ia memang tak mampu membelinya dengan gaji yang bila dikurs dengan dolar hanya US$ 12. Maka Azerbaijan dan Armenia, yang sedang bentrok memperebutkan provinsi otonom Nagorno-Karabakh, jadi sumber tambahan penghasilan pasukan eks-Soviet di situ. Mereka menjual peluru-peluru kepada dua pihak yang sedang bermusuhan itu. Bahkan mereka menyewakan tank-tank di malam hari dengan syarat, pagi-pagi tank-tank itu sudah harus dikembalikan ke markas karena ada inspeksi rutin. Belum diberitakan bagaimana kalau tank itu rusak dalam pertempuran dan tak bisa dibawa kembali ke markas. Armada laut eks-Soviet di Pasifik konon menawarkan jasa kepada Jepang untuk mengangkut balok-balok. Sebuah kapal angkatan laut eks-Soviet konon dijadikan kapal pengangkut turis. Di Siberia, kesatuan pertahanan udara di situ menawarkan instalasi yang mereka kuasai untuk dijadikan penyuplai tenaga listrik. Kreativitas para perwira eks-Soviet itu kini difokuskan pada mencari cara untuk bertahan hidup. Mereka marah dan merasa tak punya masa depan. "Kami merasa tak lagi menguasai keadaan, kami adalah korban," kata Mayor Igor Pogodin, 32 tahun. Dua tahun belakangan ini, ia dengan istri dan seorang anaknya hidup di dua kamar asrama berdesakan dengan keluarga lain menunggu ditugaskan di armada kapal selamnya lagi -- tugas yang mungkin tak akan pernah datang. Para komandan sampai para jenderal bukannya tak mengetahui penderitaan anak buah mereka. Kata Jenderal Konstantin Kobets, penasihat utama Presiden Rusia Boris Yeltsin, "Bila keadaan ini terus berlanjut, bisa terjadi militer tak akan bisa dikontrol lagi." Dan keadaan lepas kontrol memang sudah terjadi Rabu pekan lalu. Di sebuah barak pasukan zeni di pinggir Baikonur Cosmodrome, kota di Kazakhstan yang terletak 2.400 km tenggara Moskow, terjadi pemberontakan. Tiga serdadu tewas terbakar dalam kerusuhan yang melibatkan ratusan tentara itu. Mereka melarikan 17 truk, membakar barak, dan mencuri 35.000 rubel (sekitar US$ 100.000 menurut nilai tukar resmi). Tentara berhasil masuk kota dengan truk itu, menyiarkan keluhan mereka. Menurut kantor berita Tass, "Kerusuhan itu disebabkan perlakuan buruk para perwira, kurangnya makanan, dan kondisi buruk perumahan mereka." Tass juga memberitakan bahwa keluhan seperti itu akhirakhir ini sering muncul ke permukaan di kalangan militer. Untunglah, setelah pemerintah setempat bersedia memenuhi tuntutan mereka, pasukan zeni yang menyulut huru-hara itu bubar. Pemerintah, yang segera membentuk panitia penanggulangan, menyetujui sejumlah tentara yang sakit mengundurkan diri, memensiunkan mereka yang sudah bertugas sedikitnya satu setengah tahun, dan memberi izin libur sepuluh hari pada semua anggota pasukan. Panitia tentu saja tetap akan mengusut peristiwa ini dan akan mengadili mereka yang bertanggung jawab. Tampaknya, penyelesaian angkatan bersenjata eks-Soviet sudah sangat mendesak: akan dipertahankan tetap dalam wadah satu angkatan bersenjata bersama, akan diambil alih oleh Rusia, atau dibagi-bagi ke semua negara anggota Persemakmuran. Tapi, tulis U.S. News and World Report, penyelesaian yang mana pun belum menjawab masalah sebenarnya, yaitu pengangguran tentara akibat banyak yang dibebastugaskan, rendahnya gaji, dan kurangnya tempat tinggal bagi anggota angkatan bersenjata dan keluarganya. Masalah ekonomi ini, seperti sudah disebutkan, memang bukan masalah khusus dalam tubuh militer. Tapi itu masalah bagi mereka semua yang jadi warga Persemakmuran, yang dulu bernama Uni Soviet. Karena itu, tak bisa hanya diselesaikan dalam tubuh militer sendiri. Yang berbahaya, karena para serdadu itu punya senjata, tekanan kesulitan yang bisa memerosotkan moral itu bukan hanya bisa menimbulkan pemberontakan seperti di Baikonur, Kazakhstan, itu. Tapi sesuatu yang lebih besar: kudeta militer. "Inilah suasana revolusi tanpa ada revolusi," kata Ketua Pusat Riset Studi Soviet di Sandhurst, di Akademi Militer Kerajaan Inggris, tentang keadaan angkatan bersenjata eks-Soviet yang kini terpecah dalam dua sikap dan jaminan kesejahteraan mereka sangat rendah. "Ketika para jenderal tak lagi diikuti," Ketua Pusat Riset itu melanjutkan, "segala sesuatu bisa terjadi...." Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini