Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa Jalur Gaza berpotensi besar kehilangan seluruh generasi anak-anak akibat agresi Israel yang sedang berlangsung di wilayah tersebut sejak 7 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Komunikasi UNRWA, Juliette Touma, melalui unggahan di X menjelaskan lebih dari 600.000 anak di Gaza belum dapat bersekolah sejak perang Israel berlangsung pada Oktober.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Touma juga merujuk pada penutupan sejumlah besar sekolah dan berubahnya sekolah UNRWA menjadi penampungan bagi pengungsi internal.
"Ini artinya bahwa jika perang ini terus berlanjut, kami bakal kehilangan seluruh generasi anak-anak," tulisnya di X.
Pejabat UNRWA itu juga menyerukan agar segera dilakukan gencatan senjata demi anak-anak di Gaza.
Pada akhir Juni 2024 diprediksi 15 ribu anak Palestina tewas dalam serangan Israel di Gaza. Sementara hampir 21.000 anak hilang di Gaza, demikian laporan kelompok bantuan Inggris Save the Children.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 24 Juni 2024, kelompok tersebut mengatakan ribuan anak-anak Palestina yang hilang diyakini terjebak di bawah reruntuhan, terkubur di kuburan tak bertanda, terluka parah akibat bahan peledak, ditahan oleh pasukan Israel, atau hilang dalam kekacauan konflik.
Sementara itu, sejumlah dokter asing di Gaza melaporkan bahwa senjata buatan Israel yang dirancang untuk menyemprotkan pecahan peluru dalam jumlah besar menyebabkan cedera parah pada warga sipil di Gaza dan secara tidak proporsional merugikan anak-anak Palestina.
Para dokter mengatakan banyak kematian, amputasi dan luka yang mengubah hidup anak-anak yang mereka rawat berasal dari penembakan rudal dan peluru – di daerah yang ramai dengan warga sipil – yang dikemas dengan logam tambahan yang dirancang untuk dipecah menjadi potongan-potongan kecil pecahan peluru.
Dokter relawan di dua rumah sakit di Gaza mengatakan bahwa sebagian besar operasi mereka dilakukan pada anak-anak yang terkena pecahan peluru kecil yang meninggalkan luka masuk yang hampir tidak terlihat, namun menimbulkan kerusakan parah di dalam tubuh. Amnesty International mengatakan bahwa senjata tersebut tampaknya dirancang untuk memaksimalkan korban jiwa.
Feroze Sidhwa, seorang ahli bedah trauma dari California, bekerja di rumah sakit Eropa di Gaza selatan pada April.
“Sekitar setengah dari cedera yang saya tangani terjadi pada anak-anak. Kami melihat banyak luka yang disebut serpihan yang ukurannya sangat, sangat kecil sehingga Anda mudah melewatkannya saat memeriksa pasien. Jauh lebih kecil dari apa pun yang pernah saya lihat sebelumnya, namun menyebabkan kerusakan luar biasa di bagian dalam,” katanya.
Mark Perlmutter, seorang ahli bedah ortopedi dari North Carolina, bekerja di rumah sakit yang sama dengan Sidhwa.
“Sejauh ini luka yang paling umum adalah luka masuk dan keluar berukuran satu atau dua milimeter,” ujarnya.
“Dari hasil rontgen terlihat tulang-tulang yang hancur dengan luka lubang jarum di satu sisi, lubang jarum di sisi lain, dan tulang yang terlihat seperti trailer traktor melewatinya. Anak-anak yang kami operasi, kebanyakan dari mereka memiliki luka pintu masuk dan keluar yang kecil.”
Perlmutter mengatakan anak-anak yang terkena pecahan pecahan kecil sering kali meninggal dan banyak dari mereka yang selamat terpaksa kehilangan anggota tubuh.
“Sebagian besar anak-anak yang selamat mengalami cedera neurologis dan cedera pembuluh darah, yang merupakan penyebab utama amputasi. Pembuluh darah atau syarafnya kena, dan sehari kemudian datang lagi, kaki mati atau lengan mati,” ujarnya.
Pakar senjata mengatakan pecahan peluru dan luka tersebut konsisten dengan senjata buatan Israel yang dirancang untuk menimbulkan korban dalam jumlah besar, tidak seperti senjata konvensional yang digunakan untuk menghancurkan bangunan. Para ahli mempertanyakan mengapa mereka ditembakkan ke wilayah yang dipenuhi warga sipil.
Pilihan Editor: Erdogan: Turki Tolak Kerja Sama NATO dengan Israel
ANTARA | AL JAZEERA