Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para peneliti dan aktivis lingkungan cemas proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Sumatera Utara berkapasitas 510 megawatt mematikan orang utan Tapanuli, yang baru setahun ditetapkan sebagai spesies baru yang rentan punah dalam ekosistem hutan Indonesia. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan proyek diduga cacat dan tak memuat mitigasi terhadap satwa langka di sana. Investigasi Tempo menemukan kerusakan lingkungan sudah terjadi sebelum pembangkit beroperasi pada 2022.
MATA Aspan Rambe menatap kosong ke arah lembah Marancar di seberangnya. Ia berdiri di bukit ini untuk menunjukkan lokasi kebunnya yang kini telah bersalin rupa menjadi bangunan-bangunan semipermanen tempat para pekerja proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berkantor.
Truk-truk putih keluar-masuk area proyek mengangkut pasir dan kerikil. Para pekerja terlihat hilir-mudik memakai helm kuning. “Kebun saya di sana. Rumah-rumah itu dulu isinya pohon,” katanya, September tahun lalu. Kebun Aspan di tebing lembah itu seluas 11 hektare. Ia menanaminya dengan pohon karet dan buah-buahan.
Sejak 2015, kebun-kebun penduduk digaru dengan alat berat. PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), yang tengah membangun rumah turbin pembangkit berkapasitas 510 megawatt di area seluas 5,1 hektare, membeli lahan penduduk seharga Rp 4.000 per meter persegi. “Kecuali saya,” ujar Aspan, 43 tahun. “Kebun saya belum dibayar sepeser pun.”
Sudah berkali-kali Aspan menagih pembayaran itu, tapi berkali-kali pula ia mendapat janji hampa. Kebun itu diwariskan orang tuanya dan menjadi sumber mata pencarian utamanya sekeluarga hingga 2015. Sejak kebunnya lenyap, Aspan mengelola bengkel sepeda motor di rumahnya. Ia masih gigih menagih pembayaran kebunnya itu hingga kini.
Kebun Aspan berada di lereng lembah itu, sekitar 500 meter dari bangunan semipermanen. Sebagian lahannya akan dibangun jalan sepanjang 16 kilometer di bahu sungai Batang Toru. Jalan diperlukan pekerja proyek untuk membuat terowongan air berdiameter 9,7 meter sepanjang 12 kilometer yang menghubungkan empat turbin di lembah Marancar dengan bendungan seluas 10,9 hektare di Sipirok yang lebih tinggi.
Proyek PLTA Batang Toru berada di tiga kecamatan Tapanuli Selatan. Selain di Marancar untuk rumah turbin, di Sipirok untuk dam, saluran udara tegangan ekstra tinggi dan akses berada di Batang Toru. Area tiga kecamatan ini masuk ekosistem Batang Toru seluas 163 ribu hektare. Proyek pembangkit berada di area penggunaan lain di tengah perkebunan rakyat di sekitarnya. Pada 2013, Bupati Tapanuli Selatan Syahrul Pasaribu memberikan izin hampir 6.598,35 hektare untuk wilayah operasi pembangkit.
Orang utan di hutan Batang Toru. TEMPO/Erwan Hermawan
Pembangkit tenaga air Batang Toru mulai digagas pada 2008. PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) berekspansi ke sini setelah sukses membangun pembangkit kecil di Asahan, 300 kilometer dari Batang Toru. Menurut Komisaris Utama NSHE Anton Sugiono, pembangkit Batang Toru masuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional pada 2014.
RUPTL adalah pembangunan pembangkit-pembangkit listrik untuk memenuhi kebutuhan setrum 35 ribu megawatt di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memasukkan pembangkit Batang Toru ke rencana itu sehingga kapasitasnya dinaikkan dua kali lipat, yang bisa memasok 15 persen listrik untuk Sumatera Utara.
Proyek senilai Rp 21 triliun itu didanai oleh Bank of China dan masuk Road and Belt Initiative. Inisiatif ini merupakan rencana pemerintah Cina terkoneksi dengan kota-kota lain di dunia. Di utara, mereka akan membangun jalur kereta melewati Rusia dan Kazakstan tembus ke London sepanjang 12 ribu kilometer.
Pembangkit Batang Toru adalah proyek lingkar selatan yang akan menghubungkan Cina dengan Malaysia, Singapura, Indonesia, hingga India dan Pakistan. Karena itu, konstruksi pembangkit Batang Toru digarap Sinohydro, perusahaan negara Cina yang juga kontraktor proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pekerja berhelm kuning di lokasi proyek itu adalah pegawai yang didatangkan langsung dari Tiongkok.
Effendi Nasution, dari bagian Human Resources Development Sinohydro, mengatakan ada 125 orang pegawai Cina yang bekerja di proyek pembangkit Batang Toru. Semuanya, kata dia, memiliki kualifikasi sarjana sesuai dengan disiplin ilmu yang menyangkut konstruksi. “Tidak ada pekerja kasar,” ujar Effendi.
Selain merekrut pekerja Cina, Effendi mengatakan, perusahaan merekrut pekerja lokal dari Sipirok, Marancar, dan Batang Toru. Total pekerja yang membangun konstruksi di tiga kecamatan sebanyak 400 orang. Namun Tempo mendapati pekerja asal Padang Sidempuan yang mengoperasikan alat berat tak jauh dari kebun Aspan Rambe di Marancar. “Kami melihat kompetensi. Kalau tidak ada di sini, kami cari dari luar,” kata Effendi.
Pekerja asal Padang Sidempuan itu salah satu yang menggaru tanah untuk membuka jalan menuju Sipirok. Pohon sebesar badan orang dewasa berserakan tak jauh dari alat berat itu. Menurut Aspan, pohon-pohon itu dulu sarang orang utan. Mereka bergelayutan di sana, lalu turun ke kebun penduduk mencari buah. “Di kebun saya ada satu sarang,” ujarnya.
Setelah alat berat datang, orang utan tak kelihatan lagi. Penduduk di sekitar rumah turbin yang kebunnya tak dibebaskan mengkonfirmasi orang utan tak lagi mencuri buah-buahan di kebun mereka sejak pembangunan pembangkit mulai berjalan.
Orang utan Batang Toru ditemukan pada 1997. Para ilmuwan meneliti mereka untuk menganalisis kesamaan dan perbedaan dengan dua jenis orang utan yang sudah menghuni hutan-hutan Indonesia: Sumatera (Pongo abelii) dan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Setelah 20 tahun meneliti, para ilmuwan menyimpulkan orang utan Batang Toru berbeda dengan orang utan lain. Selain bulunya lebih lebat, tengkoraknya lebih kecil. Dalam jurnal Current Biology pada 2017, namanya ditabalkan sebagai orang utan jenis baru Indonesia, Pongo tapanuliensis.
Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), yang memeriksa orang utan hingga wilayah terdalam Batang Toru, mengumumkan jumlah satwa yang 97 persen gennya mirip manusia itu sebanyak 800 individu. Dari jumlah itu, 300 individu diperkirakan hidup di blok barat. Sisanya memencar di blok timur dan Cagar Alam Sibual-Buali. Blok-blok ini merupakan pembagian ekosistem Batang Toru yang dibelah sungai besar yang arusnya akan dipakai menghidupkan turbin untuk menghasilkan listrik oleh PT NSHE.
Para ilmuwan yang meneliti ekosistem Batang Toru cemas keberadaan pembangkit membuat orang utan punah. Bukan hanya jumlahnya yang sedikit, aktivitas pekerja pembangkit akan menambah hiruk-pikuk kehadiran manusia yang sudah mengepung Batang Toru dari perusahaan-perusahaan panas bumi, sawit, hingga pertambangan emas di sekitarnya.
Serge A. Wich, konservasionis asal Belanda yang 20 tahun meneliti ekosistem Batang Toru, mengatakan jumlah orang utan terus berkurang sejak ada aktivitas manusia, terutama setelah pembukaan lahan untuk area turbin dan waduk. Organisasi-organisasi lingkungan di Sumatera juga melaporkan kerapatan orang utan di Batang Toru menipis.
Untuk membuktikan kekhawatiran itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerjunkan tim pada akhir 2017 ke hutan lindung ini. Penelitian selama sebulan itu mengukur pengaruh proyek pembangkit terhadap orang utan. Maka penelitian Kementerian difokuskan di wilayah tengah, di sekitar badan sungai Batang Toru, yang menjadi lokasi turbin dan dam.
Para peneliti Kementerian menyimpulkan bahwa orang utan Tapanuli di blok tengah membuat sarang lebih tinggi dibanding orang utan di blok barat ataupun timur, yakni di atas 15 meter, bahkan ada yang bergelayutan di dahan setinggi 30 meter. Ketinggian sarang ini diduga cara orang utan Tapanuli menghindar dari bahaya yang dianggap mengancam mereka.
Orang utan adalah mamalia yang sensitif terhadap kehadiran manusia. Kesimpulan penelitian Kementerian menyebutkan bahwa aktivitas pembukaan lahan Batang Toru membuat orang utan di blok tengah tersisih, padahal dekat dengan sumber air. “Perlu segera dibentuk Tim Penyelamat Orang Utan dan satwa lainnya untuk mencegah kematian akibat dampak langsung pembukaan hutan,” demikian kesimpulan mereka.
Kematian agaknya sudah berlangsung. Penelitian memperkirakan jumlah orang utan tak lagi sebanyak ketika awal ditemukan, yakni hanya 495-577 individu. Para peneliti cuma menemukan 74 sarang orang utan di 20 titik pengamatan di sekitar pembangkit plus 37 jenis pakan.
Menurut Wanda Kuswanda, peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, ketinggian sarang orang utan berbeda cukup signifikan antara blok barat dan tengah. Di blok barat, orang utan umumnya berumah di ketinggian 8-17 meter. “Aktivitas masyarakat di area proyek yang ramai membuat orang utan ketakutan,” ucapnya.
Tempo berkunjung ke blok barat untuk membuktikan penelitian Kementerian. Ditemani Sheila Kharisma Silitonga, Koordinator Peneliti Orang Utan Tapanuli SOCP, kami bertemu dengan Beta dan Bintang, induk dan anak orang utan Tapanuli, yang sedang menyarap buah agathis di dekat sarang mereka. “Buah agathis termasuk makanan favorit mereka,” kata Sheila, yang sudah setahun tinggal di hutan Batang Toru meneliti orang utan sejak lulus dari Institut Pertanian Bogor.
Tinggi sarang Beta sekitar 10 meter dari permukaan tanah. Beta dan Bintang sesekali turun ke dahan yang lebih rendah. Dari data pencatat jarak yang dipegang Sheila, hari itu Beta dan Bintang bergerak dari sarangnya, tempat mereka tidur tadi malam, sejauh 100 meter. Tempat tinggal keluarga Beta ini berjarak tujuh jam jalan kaki dari kampung terakhir, Sait Nihuta Kalangan II di Tukka, Tapanuli Tengah.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno menambahkan, sebelum ada pembukaan lahan untuk pembangunan pembangkit, ia mendapat laporan bahwa orang utan Tapanuli kerap turun ke lokasi proyek untuk mencari makan. Mereka memakan buah-buahan yang ditanam penduduk. “Kebun itu seperti supermarket buat mereka,” ujar Wiratno.
Jalan akses Marancar ke Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, September 2018. TEMPO/Erwan Hermawan
Kementerian Lingkungan Hidup menghitung kepadatan orang utan di area proyek sebanyak 0,41 individu per kilometer persegi, lebih rendah daripada blok Cagar Alam Sibual-Buali sebanyak 0,53 individu, yang relatif tak tersentuh kehadiran manusia. “Artinya, lokasi proyek menjadi tempat mencari makan orang utan Tapanuli selama ini,” kata Burhanuddin, Manajer Program Yayasan Ekosistem Lestari (YEL).
Hasil survei SOCP pada 2015, sebelum pembangunan pembangkit dimulai, menunjukkan kepadatan orang utan di area proyek sebesar 0,7 individu per kilometer. Jumlah sarang orang utan juga masih banyak, 213 lokasi. Arrum Harahap, peneliti SOCP, menduga orang utan lari ke dalam hutan lindung setelah ada aktivitas pembangunan yang menumpas supermarket pakan mereka di dekat sungai.
Jika orang utan makin terdesak, Arrum khawatir populasi populasinya punah dalam 20-30 tahun ke depan. Soalnya, perkembangbiakan mamalia ini sangat lambat. Mereka baru kawin dan melahirkan pada usia 15 tahun. Pembukaan lahan membuat habitat orang utan menghilang karena pakannya tumpas.
Dengan membandingkan penelitian-penelitian itu, Burhanuddin menganalisis pembangunan pembangkit mengancam keberadaan orang utan Tapanuli. Soalnya, menurut dia, area proyek memutus koridor di antara blok-blok di hutan lindung Batang Toru. Jika terputus, orang utan kemungkinan besar kawin sedarah. “Keturunannya akan rentan terhadap berbagai penyakit,” ujarnya.
Anton Sugiono, Komisaris Utama NSHE, meradang mendengar kesimpulan Burhanuddin. Menurut dia, saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pada 2011-2014, soal orang utan tak menjadi problem. Padahal, kata dia, konsultan perusahaannya melibatkan peneliti YEL dan SOCP. “Dulu mereka menyinggung orang utan, tapi tak mengatakan proyek ini akan memusnahkannya,” ucapnya.
Burhanuddin mengakui lembaganya diajak meneliti orang utan oleh konsultan yang ditunjuk NSHE. Karena itu, yayasannya membuat laporan kepada lembaga tersebut, bukan kepada NSHE. “Kami diminta survei soal satwa, jumlah, dan perilakunya. Hanya itu saja,” katanya. Kesimpulan soal kerentanan muncul karena proyek pembangkit membelah hutan dan membuat orang utan dua blok tak lagi terhubung.
Meski tak disebut dengan tegas proyek pembangkit mengganggu keberlangsungan hidup orang utan, amdal pada 2014 tetap mencantumkan keberadaan mereka. Masalahnya, amdal yang menjadi acuan pembangunan proyek terbit pada 2016. Di dokumen amdal terakhir itu soal orang utan tak lagi disebut.
Kementerian Lingkungan Hidup pun meminta PT NSHE merevisi dokumen tersebut agar memasukkan dampak pembangunan PLTA Batang Toru terhadap eksistensi satwa langka, termasuk orang utan. “Kami ingin memastikan semua satwa langka di sana aman dan terlindungi,” ujar Wiratno.
Selain orang utan, penelitian Kementerian menemukan 15 jenis satwa langka lain di sekitar pembangkit Batang Toru: harimau, burung rangkong, dan tenggiling. Survei SOCP di area proyek mencatat lebih banyak lagi: 47 spesies mamalia, 175 jenis burung, serta 65 jenis amfibi dan reptil.
Karena keanekaragaman hayati lembah Marancar itu, menurut Burhanuddin, seharusnya lokasi proyek pembangkit masuk hutan lindung, bukan area untuk penggunaan lain sehingga bisa dirambah manusia. “Skor kawasan ini 175 karena curam, hujan tinggi, dan rentan erosi,” katanya.
Aspan Rambe menguatkan pernyataan Burhanuddin. Ia mengatakan kerap melihat burung rangkong hinggap di pohon kebunnya. Kadang kala ia mendapati jejak kaki harimau. Hewan-hewan itu kini sudah tak terlihat setelah kebunnya diratakan alat berat. “Burung-burung itu sudah hilang,” ujarnya.
Rupanya, amdal terakhir proyek pembangkit itu diduga cacat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara menemukan dokumen kelayakan lingkungan proyek itu diterbitkan tanpa persetujuan salah seorang penyusunnya, Onrizal, dosen di Universitas Sumatera Utara. “Tanda tangannya dipalsukan,” kata Direktur Walhi Sumatera Utara Dana Tarigan.
Onrizal membenarkan temuan Walhi. Ia mengaku tidak terlibat dalam penyusunan amdal 2016, tapi tanda tangannya tertera dalam dokumen tersebut. “Saya cuma terlibat penyusunan amdal pertama, pada 2014,” ujar Onrizal, akhir Januari lalu. “Jadi dokumen itu bisa saya katakan aspal, asli tapi palsu.”
Dalam amdal pertama, Onrizal menuangkan dampak pembangunan pembangkit tenaga air terhadap keanekaragaman hayati hutan Batang Toru. Telaah tersebut tak lagi tercantum dalam amdal 2016 setelah ia tak terlibat lagi dalam penyusunannya. “Saya tidak tahu siapa yang memalsukan tanda tangan saya,” katanya.
Sungai Batangtoru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. pt-nshe.com
Anton Sugiono terdiam ketika ditanya mengenai hilangnya mitigasi pembangunan pembangkit terhadap keberadaan orang utan dan satwa langka lain. Ia menyatakan bakal merevisi amdal 2016 tersebut. “Kami mengikuti apa kata pemerintah saja,” ujar Anton.
Ihwal dokumen amdal yang cacat, Anton mengaku tidak mengetahui secara detail. Ia menduga pangkal masalahnya pecah kongsi di antara para ahli yang menyusun dokumen kelayakan proyek itu. “Kami pusing juga kalau proyek bagus seperti ini dipakai untuk kepentingan yang kami tidak tahu,” katanya.
Selain membuat habitat orang utan rentan dan memusnahkan mata pencarian penduduk di hulu, proyek pembangkit dikhawatirkan mengancam penduduk di hilir. Pada September 2018, Kampung Pulo Lubang di Desa Hapesong Baru, Tapanuli Selatan, terendam banjir setinggi dua meter. Sungai Batang Toru, yang berjarak 300 meter dari kampung, meluap dan merendam ribuan hektare sawah serta kolam ikan.
Banjir adalah kekhawatiran lain setelah pembangkit itu beroperasi pada 2022. Dokumen amdal proyek ini menyebutkan bahwa dari empat turbin, masing-masing berkapasitas 127,5 megawatt, satu turbin akan beroperasi selama 24 jam dengan debit air 2,5 meter kubik per detik. Air yang tak terpakai sebanyak 3 juta meter kubik ditampung di dam setinggi 72,5 meter dengan luas 10,9 hektare untuk dialirkan pada saat beban puncak listrik Sumatera Utara dan menghidupkan tiga turbin lain.
Dana Tarigan menilai model operasi pembangkit seperti itu bisa membuat sungai di hilir kering atau berkurang, tapi meluap tiba-tiba saat pemakaian listrik Sumatera Utara mencapai beban puncak. “Bayangkan saja air dibendung selama 18 jam lalu dibuang selama 6 jam,” ujar Dana.
Anton Sugiono menyangkal operasional pembangkitnya seperti yang digambarkan Dana Tarigan. Ia mengakui pembangkit akan beroperasi sehari penuh, tapi air tidak dibuka-tutup saat beban puncak. “Tidak ada yang mendesain proyek seperti itu,” katanya. “Jika benar, proyek itu akan ditolak pemerintah.”
Toh, Bank of China luluh juga dengan pelbagai protes atas kejanggalan dan ancaman proyek terhadap keanekaragaman hayati Batang Toru. Meski Pengadilan Tata Usaha Negara Medan menolak gugatan Walhi terhadap amdal yang cacat dua pekan lalu, Bank of China menyatakan berpikir ulang mendanai proyek pembangkit senilai Rp 21 triliun itu.
“Kami akan mengambil keputusan bijak dengan menimbang pendanaan hijau sebagai tanggung jawab sosial kami,” begitu tertulis dalam rilis perusahaan yang dipublikasikan pada Rabu, 13 Maret lalu.
Sarang Makin TinggiUNTUK mengetahui pengaruh proyek pembangkit PT North Hydro Sumatera Energy, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menurunkan tim untuk meneliti orang utan Tapanuli setelah pembangunan infrastruktur PLTA Batang Toru dimulai. Berikut ini kesimpulan penelitian yang dikeluarkan pada Maret 2017 itu. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini 1. Sarang orang utan Tapanuli yang seharusnya berada di kisaran 8-17 meter di atas tanah kini umumnya berlokasi di atas 17 meter. Bahkan banyak orang utan bersembunyi di atas 30 meter menuju puncak pohon. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini 2. Sarang orang utan Tapanuli berubah menjadi berada di posisi sarang 1 dan 2 (batang dan cabang utama). Orang utan biasa bersarang di posisi sarang 4 (percabangan dua batang saling menempel) dan posisi 3 (ujung cabang pohon). 3. Populasi dan habitat orang utan Tapanuli di Blok Barat terancam berkurang karena hutan makin sempit akibat pembangunan proyek PLTA Batang Toru. Sementara itu, di sekeliling blok sudah ada kebun kelapa sawit, karet, dan pertambangan. 4. Orang utan sudah sangat jarang ditemui secara langsung di kawasan PLTA Batang Toru. 5. Populasi orang utan di area PT NSHE diperkirakan 0,41 individu per kilometer persegi, lebih rendah dibanding di Cagar Alam Dolok Sipirok dan Cagar Alam Dolok Sibualbuali yang mencapai 0,53 individu per kilometer persegi. 6. Orang utan Tapanuli diperkirakan sulit ditemukan di daerah aliran Sungai Batang Toru. |
Satwa LainSELAIN orang utan, ada 15 spesies satwa langka khas Indonesia yang terancam hilang dari hutan Batang Toru karena habitatnya terganggu proyek pembangkit, yaitu harimau Sumatera, burung rangkong, beruang madu, trenggiling, cek-cek (lutung kelabu), owa ungko, kambing hutan, landak, simpai, rusa, siamang, burung kuau, rusa, kijang, dan kancil. Makin banyak laporan yang menyebutkan harimau Sumatera memasuki kawasan penduduk di sekitar area proyek pembangkit. Babi hutan mulai sering masuk ke perkampungan penduduk. |
Suram di Pengadilan MedanUNDANGAN itu tiba hanya dua jam sebelum waktu pertemuan. Senior Executive for External Relations PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) Firman Taufick mengundang media makan siang di Hotel Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta, 28 Februari 2019. Topiknya diskusi dengan pemimpin media soal Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Sumatera Utara. Ada enam media yang memenuhi undangan makan di Pasola Restaurant di lantai 6 itu. Firman didampingi penasihat senior lingkungan PT NSHE, Agus Djoko Ismanto, dan Wimar Witoelar, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, yang kini memimpin perusahaan humas Intermatrix. PT NSHE mendaulatnya sebagai juru bicara perusahaan. Firman dan Agus Djoko bergantian menjelaskan pentingnya pembangkit listrik yang dimulai pada 2015 itu. “Kami sudah mengikuti semua ketentuan yang ada,” kata Firman. Sedangkan Wimar hanya menimpali pembicaraan keduanya sesekali. Dua jam sebelumnya, lima kilometer dari Ritz-Carlton, para aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menggelar jumpa pers. Mereka turut memperingati “Hari Aksi Internasional” yang digelar serentak di 28 negara. Tema aksi hari itu: menuntut Bank of China merevisi permodalan pembangunan pembangkit listrik Batang Toru. Para aktivis seluruh dunia meminta pemerintah Cina membuat mitigasi yang lebih ramah lingkungan dalam Road and Belt Initiative. Road and Belt Initiative adalah proyek prestisius Cina yang akan menghubungkan negara itu ke negara-negara terjauh di seluruh dunia. Di utara, mereka akan membangun jalur kereta hingga London, melewati Rusia dan Kazakstan, sepanjang 12 ribu kilometer. Batang Toru masuk inisiatif itu untuk proyek lingkar selatan. Bank of China menyiapkan Rp 21 triliun. Walhi menilai proyek Batang Toru cacat secara prosedur dan mitigasi lingkungan. Mereka menggugat analisis mengenai dampak lingkungan dan prosedur perizinan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Waktu itu sidang sudah memasuki babak final dan hakim akan memutuskannya empat hari kemudian. Salah satu yang disoroti Walhi adalah sesar gempa di sekitar dam yang tengah dibangun di dekat hutan lindung Batang Toru. Dam setinggi 72,5 meter itu akan menampung air sungai Batang Toru sebanyak 3 juta meter kubik. “Jika gempa dan ambrol, masyarakat di bawahnya akan kena,” ujar Ronald Siahaan, Manajer Hukum dan Litigasi Walhi. Sebelum gempa, pembukaan lahan untuk mendirikan dam itu saja sudah mengganggu hidup orang di sekitar sungai. Pohon yang ditebang terbawa arus lalu merusak ladang-ladang pertanian penduduk. Klaim Walhi soal gempa dikuatkan pakar geofisika dari Institut Teknologi Bandung, Tengku Abdullah Sanny. “Itu zona merah,” katanya. Hakim tak menggubris kesaksian orang Batang Toru soal bencana pembukaan lahan hingga nasihat ahli geofisika. Dalam putusan pada 4 Maret 2019 itu, hakim menolak semua gugatan Walhi. Alih-alih menimbang pertimbangan Sanny, hakim melihat dari sisi sebaliknya.
Menurut hakim, tak ada aturan dan saksi ahli yang melarang mendirikan bangunan di titik lokasi dam yang disebut Sanny sebagai zona merah gempa. Karena tak ada yang melarang, hakim menilai pembangunan pembangkit di sekitar sesar tak menjadi masalah, kecuali langsung di atas patahannya. Dengan arah pikiran seperti itu, hakim juga menolak kesaksian warga Batang Toru yang tak mendapat sosialisasi proyek beserta dampaknya yang mungkin. Menurut hakim, seharusnya yang dihadirkan menjadi saksi adalah orang Mancanar, wilayah yang menjadi lokasi pembangkit. “Padahal, jika banjir atau gempa, penduduk yang di bawahnya yang kena dampaknya,” ujar Ronald. Begitu juga keberadaan orang utan, hewan langka endemis Batang Toru. Kesaksian Serge A. Wich, ahli konservasi orang utan dari Belanda yang meneliti hewan itu selama 20 tahun lebih, tak membuat hakim menilai pentingnya hewan yang tersisa di hutan tersebut. Hanya karena Wich tak bisa menyebutkan dengan pasti jumlah orang utan--ia hanya menyebut jumlahnya menurun akibat proyek pembangkit--hakim menolak kesaksiannya. “Ini putusan yang aneh, janggal, suram,” kata Ronald. Walhi telah resmi mendaftarkan gugatan banding untuk menguji pertimbangan-pertimbangan hakim PTUN itu. Adapun Firman Taufick mengapresiasi putusan tersebut. “Kami mengajak semua elemen mendukung pembangunan dan membuat program konkret menjaga ekosistem Batang Toru, termasuk orang utan,” ujarnya dalam pers rilis. |
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini terselenggara oleh kerja sama Tempo Institute dan Yayasan Indonesia Cerah dalam program Investigasi Bersama Tempo.
TIM INVESTIGASI:
Kepala Proyek: Erwan Hermawan
Penanggung Jawab: Bagja Hidayat
Penulis: Erwan Hermawan, Riky Ferdianto, Mustafa Silalahi
Penyunting: Bagja Hidayat
Penyumbang Bahan: Erwan Hermawan (Tapanuli), Riky Ferdianto, Mustafa Silalahi (Jakarta), Iil Askar Mondza (Medan)
Riset Foto: Ijar Karim
Bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi
Desain: Eko Punto Pambudi