Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

’Copy-Left Movement’ dari MIT, yang Mampu Mengecilkan Kesenjangan Kaya-Miskin di Dunia?

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Iskandar Alisjahbana

Declaration of the Independence of Cyberspace: ”…claimed that users of the Internet inhabited a new world of creativity, equality, and justice which would forever remain beyond the reach of existing government . We will create a civilization of the mind in cyberspace. May it be more humane and fair than the world your governments have made before.” (John Perry Barlow, 1996)

Pihak yang ingin mempertahankan copyright adalah industri entertainment, industri penerbitan, dan konsultan hukum untuk intellectual property, karena penghasilan mereka bergantung padanya. Pihak lawan yang ingin menghilangkannya adalah konsumen, profesor hukum di universitas, dan cyber-libertarian. Kedua pihak yang berlawanan yakin akan benar dan pentingnya perjuangannya mereka, demi tumbuh suburnya kreativitas budaya manusia pada waktu yang akan datang.

Apakah Web (Internet) beserta teknologi pelengkapnya akan mampu melahirkan/menumbuhkan/mengembangkan potensi kreativitas intelektual dan artistik masyarakat sehingga menguntungkan kedua belah pihak, konsumen beserta produsennya? Atau apakah Web (Internet) hanya akan menjadi tempat semacam sampah, karena tidak punya program atau content yang bermutu, karena produsen content tidak memasukkannya ke Web, karena ketakutan dikopi semuanya?

Yang diimpikan oleh industri content adalah adanya suatu kombinasi, proteksi hukum dan proteksi teknologi, sehingga memungkinkan mereka menyetop semua pengopian yang tidak sah, serta dapat mengontrol apa yang para konsumen/pelanggan lakukan dengan produknya. Perusahaan musik, televisi, dan film pada mulanya merasa senang bercampur takut melihat cepat tumbuhnya Web dan menyebar-luasnya file-sharing. Tidak lama kemudian, mereka berusaha menyetop yang mereka namakan perompakan besar-besaran. Mereka berhasil menyetop Napster, tapi perusahaan pelayanan file-sharing yang agak kurang terpusat bermunculan di mana-mana, sehingga Internet tetap menyalurkan banyak musik secara bebas. Pengopian film dan program televisi juga akan lebih banyak di kemudian hari jika akses high-speed Internet mulai menyebar di mana-mana.

Karena melihat bahaya terjadinya perompakan besar-besaran dengan menggunakan teknologi digital, pada 1998 Hollywood mengadakan lobbying yang serius dan memenangi dua buah legislasi dari Kongres Amerika. Legislasi yang pertama adalah perpanjangan jangka waktu copyright Amerika. Legislasi yang kedua, yang agak mengandung kontroversi, adalah The Digital Millennium Copyright Act (DMCA), yang mengatakan bahwa "no person shall circumvent a technological measure that effectively controls access to a work protected by copyright." Dengan perkataan lain, ini berarti bahwa DMCA tidak hanya menganggap pengopian suatu karya yang dilindungi copyright sebagai suatu perbuatan kriminal, tapi juga menganggap pekerjaan unscramble suatu karya yang dilindungi copyright tanpa izin sebagai suatu tindakan kriminal. Malah DMCA juga membuat produsen hardware dan software yang dapat membantu membuka encryption suatu karya yang dilindungi copyright jadi seorang kriminal.

Industri-industri content juga sudah berusaha mendapat bantuan kekuatan hukum dari produsen software dan hardware, supaya juga memasang anti-piracy di dalam software dan hardware komputer mereka. Usaha ke arah ini belum menunjukkan kemajuan, karena sangat susah menemukan suatu standar teknologi yang dapat diterima oleh semua produsen hardware, dan juga para produsen komputer segan untuk melakukannya karena takut akan menyulitkan penjualan komputernya. Konflik kepentingan jangka pendek semacam ini untuk sementara waktu akan menghambat terjadinya suatu perjanjian antara Hollywood dan Silicon Valley.

Produsen komputer dan produsen alat-alat elektronik membutuhkan suatu aliran content yang kontinu supaya dapat menjual produknya. Karena itu, dalam jangka panjang, jelas produsen alat-alat elektronik dan produsen content akhirnya akan mencapai kesepakatan bagaimana kelak memproteksi digital content yang memuaskan kedua belah pihak.

Tapi, apa pun kompromi yang dapat mereka temukan—antara produsen alat-alat elektronik dan produsen content—belum tentu kompromi ini akan menguntungkan masyarakat atau publik. Mungkin sekali justru akan timbul suatu reaksi yang negatif dari kelompok-kelompok cyber-activist, karena para cyber-activist cenderung menganggap Hollywood akan merampas hak dasar para cyber-libertarian.

"Rather than wait and see, the law has become the willing tool of those who would protect what they have against the innovation the net could promise," kata guru besar Stanford Mr. Lessig dalam bukunya, The Future of Ideas: The Fate of the Commons in a Connected World.

Mr. Lessig dan kawan-kawan menyatakan bahwa hampir semua karya-kreatif budaya dan karya-kreatif intelektual yang baru menggunakan karya-karya kreatif yang sudah diterbitkan di masyarakat. Memblokir karya-karya kreatif yang sudah diterbitkan tersebut dengan menggunakan berbagai pasal hukum atau alat teknologi akan menghancurkan semua potensi kreativitas, justru pada waktu teknologi Internet memberikan alat-alat bantu kreativitas kepada ratusan juta manusia di bumi ini. Ditambah lagi, jika para produsen content diberi kehendaknya, provisi "fair-use"—di mana akses selalu terjamin bagi para mahasiswa/ilmuwan untuk membaca/mempelajari setiap copyrighted work—juga akan dilarang.

Hollywood dan perusahaan musik sangat cemas bahwa dengan kemajuan teknologi Internet yang pesat, semua aset berbentuk karya film dan musik akan menguap hilang di dalam cyberspace. Sebaliknya, para cyber-activist juga punya pemikiran yang masuk akal dan penting sekali bagi perkembangan kreativitas manusia selanjutnya. Untuk mencari sintesis atau keseimbangan dari kedua pemikiran ini, mari kita kembali sejenak ke pemikiran-pemikiran yang diperdebatkan pada sekitar abad ke-18, pada waktu copyright law diberlakukan di Amerika dan Inggris.

Memang dasar pemikiran copyright law adalah menemukan keseimbangan antara pemberian insentif bagi penulis dan penerbit supaya berkreasi dan menyebarluaskannya, dengan menjamin adanya akses publik kepada semua karya pemikiran seluruh masyarakat. Pemikiran-pemikiran di belakang intellectual property bagi karya-karya publikasi dan penemuan-penemuan ini adalah kepemilikan dari milik berbentuk karya cipta, bukan milik berbentuk benda nyata. Milik yang abstrak ini dinamai oleh ahli hukum "non-rivalrous" (tidak bersifat kompetitif), sementara milik berbentuk benda nyata adalah "rivalrous" (bersifat kompetitif).

Untuk menjelaskan perbedaan kedua macam milik ini, mari kita ikuti contoh ini: "Jika saya mencuri mobil Anda, Anda tidak dapat menggunakan mobil Anda lagi. Tapi, jika saya mencuri atau meniru ideas atau pemikiran dan penemuan Anda, bukan hanya saya, tapi juga Anda (tetap) dapat mendayagunakan penemuan dan pemikiran Anda."

Jadi, milik berbentuk benda nyata tidak dapat diberikan kepada orang lain tanpa yang punya semula kehilangan kesempatan menggunakan miliknya tadi. Tapi ideas atau pemikiran dan penemuan selalu masih dapat dipakai si empunya semula, dan tidak pernah akan kekurangan atau kehabisan, juga jika sengaja didistribusikan atau disebarluaskan secara bebas. Dengan tersebar-luasnya ideas atau pemikiran dan penemuan ini, tidak hanya terjadi lebih banyak penipuan di masyarakat, tapi juga rangsangan-rangsangan kreativitas di masyarakat luas, sehingga lahirlah lebih banyak antitesis dan sintesis atau penciptaan ideas atau pemikiran dan penemuan baru. Inilah yang dimaksud oleh John Perry Barlow dengan "a new world of creativity" beserta "civilization of the mind".

Development as Freedom, buku pemenang hadiah Nobel dalam bidang ekonomi, Amartya Sen dari India, juga menyatakan bahwa "pengembangan (kreativitas) adalah suatu hak asasi manusia," yang tidak boleh ada yang berhak menghambatnya.

Jeffrey Sachs, seorang pakar ekonomi, mengemukakan, suatu macam penghambatan terhadap perkembangan manusia di daerah khatulistiwa adalah suatu penyakit tropis yang terus-menerus diderita oleh oleh manusia-tropika, Karena tidak adanya musim dingin/salju di daerahnya, yaitu musim-tidur bagi mikroorganisme, manusia tropika setahun penuh menderita beberapa macam penyakit tropis, yang akan menurunkan kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Jeffrey Sachs, inilah sebab utamanya hampir semua masyarakat negara di daerah tropika atau khatulistiwa tidak mengalami perkembangan ekonomi seperti di negaranegara di luar daerah tropika atau khatulistiwa. Penghambatan perkembangan manusia tropika ini diperberat karena obat dan vaksin bagi penyakit tropika tersebut terlalu mahal dijual oleh pabrik-obat negara maju, terutama karena biaya tambahan yang berhubungan dengan intellectual property, yang dikaitkan dengan ongkos-ongkos research and development obat dan vaksin tersebut.

Setelah berlangsung perdebatan yang cukup sengit di antara para industriwan pabrik obat, ahli kesehatan, dan pakar ekonomi, pergeseran dan pembaruan keseimbangan antara copyright dan copy-left telah terjadi di dalam bidang kesehatan demi hak tumbuh-kembang setiap manusia/masyarakat di bumi ini. Pembaruan ini terjadi sesudah runtuhnya gedung WTC pada 11 September 2001, dan rakyat Amerika berada dalam keadaan krisis kekurangan vaksin antraks, yang mungkin sekali karena diserang dengan senjata-senjata biologi oleh teroris. Karena rakyat Amerika berada dalam krisis, pemerintah Amerika memutuskan untuk menerapkan compulsory license, supaya obat antraks—paten kepunyaan perusahaan Bayer di Jerman—dapat diproduksi oleh industri-industri Amerika, dalam waktu singkat dan tentunya lebih murah, terutama karena tidak usah membayar ongkos lisensi patennya.

Tentunya sesudah kejadian ini baru timbul dan berkembanglah pertanyaan/pemikiran di masyarakat luas sebagai berikut: "Bukankah negara-negara berkembang dari daerah tropika/khatulistiwa sudah lama mengalami semacam krisis antraks (atau penyakit tropis lainnya), yang dialami Amerika sesudah diserang teror 11 September 2001? Kenapa masyarakat-masyarakat tersebut tidak diberi kesempatan atau rangsangan, menggunakan semacam compulsory license, atau memproduksinya sebagai produk generik, meskipun masa patennya belum lampau? Bukankah dengan demikian kesenjangan kaya-miskin dapat diperkecil?"

Membaca banyak tulisan dari pakar dan LSM di seluruh dunia mengenai persoalan ini, sesudah kejadian teror 11 September 2001, jelas dapat dirasakan bahwa masyarakat dunia telah berhasil menggeser dan memperbaiki keseimbangan yang baru di dalam copyright law global ini, dengan harapan mimpi Adam Smith dapat mengecilkan kesenjangan kaya-miskin (digital divide) di bumi dapat terjadi. Perbaikan dan pembaruan ini hanya dapat terjadi karena adanya global free flow of information, yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Termasuk kepeloporan masyarakat kampus MIT, yang menjadi pelopor dari copy-left movement, yang pada mulanya terdiri atas open-source software dan open-course ware di dalam kampusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus