Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN APEC di Bangkok baru saja ditutup di tengah riuh-rendah bunyi trompet, kilau ribuan lampu yang mengambang di sungai dan udara, serta parade para pemimpin dunia yang beberapa di antaranya memiliki agenda tersendiri di luar agenda APEC.
Para pengkritik dan kalangan yang berpandangan skeptis mengatakan kita baru saja menyudahi forum ini dengan "banyak bicara, sedikit tindakan", yang diwarnai berbagai upaya pelebaran agenda ke luar hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi, yang selama ini menjadi tujuan orisinal APEC.
Banyak juga yang mengeluhkan tentang minimnya langkah maju ke arah target-target yang telah dicanangkan dalam pertemuan Bogor tentang perdagangan dan investasi bebas di tahun 2010/2020 di antara negara-negara anggotanya, khususnya di saat kita sedang mendekati paruh waktu tahun 2005. Bahkan ada juga kalangan lain yang telah mendeklarasikan bahwa keberadaan APEC tak lagi relevan karena telah gagal merespons krisis keuangan Asia secara kredibel.
Menimbang semua kritik dan kurangnya hasil konkret tersebut, nilai buat rapor APEC 2003 sepatutnya hanyalah C, atau B minus paling banter. Banyak dari kita mungkin malah bakal dengan segera membubuhkan ponten F jika menimbang nilai penting keberadaan APEC. Betapa tidak, forum ini masihlah sebuah pertemuan reguler terbesar di antara negara-negara maju dan berkembang yang mencakup wilayah mahaluas yang dihuni oleh 2,5 miliar orang (sepertiga lebih dari warga dunia) dan meliputi setengah dari perdagangan dunia.
Lebih lagi, jika tujuan utama APEC adalah terwujudnya sebuah integrasi ekonomi yang akan membawa kemakmuran bagi semua stakeholders di negara-negara anggotanya, APEC masih menjadi sebuah forum yang tepat untuk mendiskusikan berbagai isu kompleks dan kontroversial, tanpa harus berunding dalam posisi "negara".
APEC tidaklah didesain untuk menghasilkan keputusan. Keberadaannya dimaksudkan sebagai sebuah forum dialog, pengembangan kapasitas, dan rasa saling percaya (capacity and confidence building) guna mencapai tujuan bersama, untuk tampil berdasarkan pendekatan-pendekatan yang disepakati bersama, dan merumuskan berbagai kerangka/standar bersama. Negosiasi dan pembuatan keputusan berlangsung secara multilateral di forum-forum lain seperti WTO, ataupun secara unilateral di level nasional. APEC juga memiliki sebuah peran untuk menyediakan peer pressure dan pembangunan kapasitas bagi negara-negara anggotanya guna mencapai kesepakatan unilateral yang telah diputuskan.
Ini semua mungkin terdengar bagus, tapi apa arti sesungguhnya buat kita? Baguskah jika isu-isu keamanan, seperti kontra-terorisme dan keamanan manusia, jadi mendominasi agenda APEC? Jawaban untuk pertanyaan ini harus kita pikirkan dengan hati-hati.
Setelah berusia 14 tahun, organisasi mana pun perlu meninjau kembali tujuan, sasaran, dan proses kerjanya. Lebih lagi, supaya bisa tetap relevan, dia juga harus mampu merespons perubahan-perubahan eksternal. Serangkaian perubahan kini telah terjadi, mulai dari krisis keuangan Asia, perang terhadap terorisme, sampai isu kesehatan seperti SARS, dan sebagainya. Karena itu, perluasan agenda APEC dengan memasukkan isu-isu di atas sesungguhnya masihlah dapat diterima, sepanjang tetap berkaitan erat dengan soal-soal perdagangan dan investasi, dua hal yang menjadi urusan utama APEC.
Supaya arus perdagangan bisa diprediksi dan konsisten, dan guna menarik investasi dari dalam ataupun luar negeri, sebuah negara haruslah menyediakan lingkungan investasi yang aman dan kondusif. Pada hari-hari ini, pembahasan hal tersebut juga melingkupi paham perdagangan yang aman, capaian level tertentu tindak pencegahan keamanan, dan implementasinya.
Di sini APEC bisa berperan menjadi sebuah forum untuk berdiskusi dan untuk mencapai saling pengertian dan sejumlah persetujuan tentang standar-standar umum di bidang keamanan. Tapi, bagaimanapun, perundingan atau persetujuan di bidang keamanan itu perlu dilakukan di PBB, G8, atau fora keamanan regional lainnya.
Selain itu, forum-forum tersebut seharusnya tidak digunakan untuk mendesakkan berbagai kesepakatan, di mana negara-negara tertentu tidak mungkin mencapainya di forum-forum lain. Peran APEC karenanya adalah untuk memastikan bahwa tak satu pun negara akan didiskriminasi berdasarkan tolok ukur atau isu yang tidak perlu (misalnya, berdasarkan tradisi agama tertentu). Ini termasuk soal advokasi dan pengembangan kapasitas dalam hal penyediaan dana dan asistensi teknis. Dana US$ 5,4 juta yang telah dialokasikan untuk keperluan ini di ADB adalah sebuah permulaan, tapi jumlah yang lebih besar dari itu jelas masih diperlukan.
Lantas, bagaimana hasil yang dicapai dalam agenda perdagangan? Masalah terpenting adalah apakah APEC dapat memainkan peran untuk memulai kembali pembahasan Agenda Pembangunan Doha di WTO, atau tidak. Kegagalan mencapai kesepakatan untuk melanjutkan Agenda Pembangunan Doha di WTO akan menjadi kabar tak bagus buat negara-negara seperti Indonesia. Kita adalah sebuah negara "kecil", dan sistem multilateral masih menawarkan perlindungan terbaik bagi kepentingan kita karena adanya berbagai regulasi yang diterapkan terhadap semua negara, baik yang besar maupun kecil.
Karena itu, komitmen dari para menteri dan pimpinan negara untuk memastikan tercapainya kemajuan di Jenewa pada Desember, untuk menggunakan draf yang dihasilkan di Cancun sebagai sebuah basis guna memulai kembali pembicaraan sehingga kita tidak perlu mulai dari nol, ataupun tuntutan untuk "mengupayakan penghapusan semua bentuk subsidi ekspor pertanian", adalah hal-hal positif. Namun, bagaimanapun, kita harus bersikap realistis bahwa APEC tidaklah membereskan semua persoalan para perunding dan negosiasi di WTO.
Di luar itu, APEC sendiri harus berkembang di atas kekuatan dan keunikannya sendiri. Dia harus memfokuskan kelompok-kelompok kerjanya pada persoalan pengembangan kapasitas dan untuk menjembatani perbedaan yang ada di berbagai sektor guna menyongsong perundingan-perundingan di WTO. Hal itu sebenarnya dapat dengan mudah dilakukan dalam agenda APEC sendiri, karena hampir semua isu yang telah dicakup dalam kelompok-kelompok negosiasinya juga telah termaktub dalam kelompok-kelompok kerja APEC. Orang bahkan tidak harus mendebat lagi apakah sebaiknya "isu Singapura", atau isu-isu baru semacam persaingan, investasi, procurement, dan fasilitas perdagangan di pemerintahan, yang harus dimasukkan dalam agenda, karena hal itu telah menjadi bagian inti dari program kerja APEC.
Mekanisme APEC kini telah menjadi kelewat pelik dan prosedural. Karena itu, prosesnya perlu serius direformasi untuk memfokuskannya kembali ke tujuan utamanya: mencapai integrasi regional dengan cara yang paling optimal, peer pressure, dan pengembangan kapasitas serta saling percaya di antara negara-negara anggota.
Akhirnya, proliferasi perjanjian perdagangan bilateral dan regional di kawasan ini jelas tidaklah boleh diremehkan. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa perjanjian-perjanjian itu akan konsisten dengan WTO. Hal itu jelas tak mudah dipastikan. Peran APEC adalah untuk memastikan bahwa proliferasi dari perjanjian-perjanjian terpilih ini tak akan mengalihkan perhatian dan sumber daya yang ada dari sistem perdagangan multilateral dan membuka regionalisme, serta tidak mengarah ke sebuah jaringan kompleks dari bermacam ragam aturan yang dihasilkan dari sejumlah perjanjian yang berbeda-beda.
Sebab, jika itu yang terjadi, hasilnya hanya akan mengarah pada peningkatan ongkos usaha yang akan semakin mencederai usaha kecil dan menengah, dan juga akan membuat kewajiban untuk menjalankannya jadi semakin berat buat negara-negara berkembang yang lebih kecil. Selain itu, juga ada bahaya "poros dan jari-jari", tempat negara-negara adidaya seperti AS akan menggunakan berbagai persetujuan untuk memaksakan "model" liberalisasi perdagangan ala mereka sendiri. Senyampang ada sisi positifnya bahwa orang bisa mendapatkan akses pasar ke AS, hal itu juga berarti bahwa, ketika sejumlah isu tertentu dimunculkan dalam perundingan di WTO, preseden dari persetujuan bilateral dan regional sebelumnya bakal langsung dimanfaatkan AS sebagai hasil yang harus diterima.
Jadi, supaya APEC dapat mencapai visi dan tujuan sesungguhnya, sejumlah langkah reformasi serius perlu segera diambil mulai tahun depan. Jika tidak, kalangan yang skeptis akan keluar sebagai pemenang, dan APEC akan menjadi tak relevan lagi kecuali sebagai sebuah "pesta" tahunan belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo