Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lima Kritik untuk Presiden George W. Bush

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azyumardi Azra Guru besar dan Rektor UIN Jakarta

Iam a faithful; and my faith sustains me [through turbulent times]," demikian pernyataan Presiden Amerika Serikat George W. Bush membuka pertemuan dan dialog dengan lima pemuka agama dan civil society Indonesia di Bali, 22 Oktober lalu. Pernyataan semacam itu sebenarnya tidak aneh keluar dari mulut Presiden Bush, karena bukan rahasia lagi bahwa ia adalah seorang "born again Christian". Mengungkapkan penghargaannya berjumpa dengan kelima tokoh, dia menutup pengantar singkatnya dan lebih banyak mendengar apa yang mereka sampaikan.

Banyak orang di muka bumi ini, termasuk di Indonesia, tidak suka dengan Presiden Bush, yang mereka pandang bertindak semaunya; mentang-mentang negara adidaya. Tetapi kali ini ia menyatakan mau mendengar, dan itu patut dihargai. Tidak sering Presiden Bush menyediakan waktu untuk mendengar dari orang-orang biasa—yang bukan pejabat tinggi negara—yang berbicara langsung kepadanya.

Lalu, pembicaraan terus terang dan lugas dari kami berlima mulai mengalir; kelimanya adalah K.H. Hasyim Muzadi, Ketua PBNU; Prof. A. Syafi'i Ma'arif, Ketua PP Muhammadiyah; Rev. Nathan Setiabudi, Ketua PGI; Ida Pedanda Made Gunung, pemimpin Hindu Bali; dan saya sendiri. Hampir seluruh substansi yang menjadi komplain, kritik, dan kemarahan banyak orang kepada Presiden Bush dan pemerintahan Amerika tercakup dalam pembicaraan yang semula dijadwalkan hanya 30 menit tapi kemudian molor menjadi 55 menit. Dan secara garis besar masalah dan kritik yang disampaikan kelima orang tersebut adalah sebagai berikut:

Kritik pertama menyangkut kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang tidak adil, khususnya di Timur Tengah, yang terlalu memihak pada Israel sehingga mengorbankan hak-hak asasi bangsa Palestina. Ketidakadilan inilah yang menyebabkan terus berlanjutnya kekerasan di antara bangsa Israel dan Palestina. Karena itu, kalau Presiden Bush ingin dunia yang damai—yang jauh dari kekerasan dan terorisme—Amerika harus mengubah kebijakan luar negerinya, dan segera mewujudkan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Jika ini direalisasi, salah satu sumber pokok kekerasan dan terorisme dapat diselesaikan.

Karena itu, perang Amerika dan negara-negara lain terhadap terorisme tidak cukup hanya dengan menangkap para pelaku dan tersangka pelaku aksi-aksi terorisme. Terorisme sebagian besarnya hanya bisa diatasi dengan menyelesaikan sejumlah masalah yang menjadi sumber dan akar kekerasan dan terorisme; yang selain mencakup masalah Palestina juga adalah lemahnya penegakan hukum, absennya demokrasi, meluasnya kemiskinan dan deprivasi sosial. Karena itu, sangat simplistis dan berbahaya mengidentikkan atau setidaknya mengaitkan agama tertentu dengan terorisme yang dilakukan orang-orang yang membawa agama.

Kritik kedua, masih berlanjutnya pendudukan AS terhadap Irak. Presiden Bush berkali-kali mengklaim, invasi militer AS ke Irak antara lain untuk membebaskan rakyat Irak dari kekejaman Presiden Saddam Husein. Sekarang Saddam sudah tumbang dan, karena itu, sudah waktunya bagi Amerika untuk segera keluar dari Irak dan mengembalikan kedaulatan negara ini kepada rakyatnya sendiri, dan membiarkan mereka mengatur negara mereka sendiri.

Kritik ketiga, dengan lebih memilih perang dalam pertikaiannya dengan Saddam Husein, Presiden Bush telah melanggar salah satu esensi demokrasi, yaitu penyelesaian konflik dan pertikaian dengan cara-cara damai. Langkah Presiden Bush ini mengalienasi para pejuang demokrasi, dan membuat semakin banyak orang skeptis terhadap demokrasi. Bagi Indonesia, yang sedang dalam transisi menuju demokrasi yang autentik, kebijakan Presiden Bush sangat kontraproduktif. Padahal, jika Indonesia berhasil dengan eksperimen demokrasinya, ia dapat menjadi contoh yang baik dalam hal kompatibilitas Islam dan demokrasi.

Kritik keempat, Presiden Bush sering menggunakan simbolisme dan terminologi Bible dalam berbagai pernyataannya. Penggunaan istilah "crusade" (perang salib), misalnya, sebagai nama kode operasi militer Amerika di Afganistan setelah peristiwa 11 September, dapat menyesatkan karena menimbulkan kesan konflik Kristiani-Islam. Sikap Bush seperti itu, lebih jauh, bahkan mengesankan bahwa ia mencampuradukkan agama dengan politik, yang tentu saja tidak sesuai dengan prinsip sekularisme Amerika.

Kritik kelima, kebijakan pemberian visa yang sangat restriktif bagi orang-orang yang ingin belajar dan melakukan kunjungan sosial ke Amerika. Kebijakan ini, yang secara khusus juga diberlakukan bagi warga negara Indonesia, hanya meningkatkan kejengkelan dan sikap anti-Amerika.

Bagaimana sikap Presiden Bush merespons semua kritik dan sekaligus imbauan untuk mengubah kebijakannya itu? Ia memang lebih banyak mendengar dan juga mencatat pada buku kecil yang dikeluarkannya dari kantong jasnya. Tetapi ia juga memotong pembicaraan jika ada hal-hal yang perlu ia "luruskan" menurut versinya; minta maaf salah, misalnya, ketika menggunakan istilah "crusade". Ia juga mengangguk-anggukkan kepala, yang mengesankan bahwa ia menerima substansi yang disampaikan. Ia juga menyatakan "I will reconsider it" pada hal-hal tertentu. Apakah ia benar-benar akan mengubah kebijakan Amerika dalam hal-hal tertentu, ini harus kita tunggu. Wallahu a`lam bish-shawab.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus