Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Aib itu Bernama BLBI

Hasil due diligence BPK atas Bank Indonesia akan diungkapkan segera. Transparansi seperti ini baru ada artinya kalau penegakan hukum juga dilaksanakan.


2 Januari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Debat publik kian seru, hanya beberapa hari setelah perselisihan antara Bank Indonesia dan Departemen Keuangan—tentang bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI)—mencuat ke permukaan. Kali ini dana yang diributkan bukan satu atau sepuluh triliun, tapi ratusan triliun rupiah. Mesin cetak Perum Peruri waktu itu bekerja 24 jam agar uang yang jumlahnya hampir setara dengan tiga tahun APBN bisa dikucurkan ke bank-bank yang terancam kolaps. Dua bank besar, Bank Danamon dan BCA, terselamatkan—masing-masing menyedot Rp 22 triliun dan Rp 40 triliun—tapi ada yang tak tertolong seperti Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Ibarat sumur tanpa dasar, BDNI melahap dana BLBI Rp 28 triliun begitu saja tanpa hasil apa-apa.

Yang kini jadi masalah bukan bank-bank pelahap BLBI itu, tapi nasib institusi tertua di negeri ini, yaitu bank sentral. Institusi yang bersama-sama TNI merupakan dua lembaga yang arsipnya paling rapi di seantero Republik itu kini disinyalir tidak memiliki dokumen lengkap tentang BLBI yang telah dikucurkannya dalam periode 1997-98. Kalau itu benar, BLBI yang nilainya ratusan triliun rupiah itu tidak bisa diklarifikasi sebagai utang pemerintah. Singkat kata, BI, yang kini independen, menghadapi kesulitan menagih utang yang dibuat pemerintah kepada BI yang dulu tidak independen. Itulah yang sekarang jadi "sengketa" antara BI dan Departemen Keuangan. Padahal, utang itu sebenarnya terjadi di antara sesama lembaga pemerintah, karena dalam periode 1997-98 BI memang masih berada di bawah payung pemerintah sehingga posisinya sangat rentan terhadap intervensi penguasa. Dengan adanya rencana membuka hasil due diligence BPK atas BI, Menteri Keuangan tampaknya tidak menyadari bahwa aib yang akan dibeberkan itu sebenarnya aib BI yang dulu, yang juga merupakan aib kolektif dari otoritas moneter waktu itu.

Terlepas dari soal BLBI itu aib kolektif atau tidak, kita tidak melihat alasan untuk tidak mengungkapkan hasil due diligence tersebut. Apakah akan mengerikan atau menggemparkan, tak jadi soal. Masalahnya, kalau due diligence dibeberkan, lalu apakah akan ada law enforcement? Juga apakah bisa dipastikan bahwa BI siap "merelakan" orang-orangnya yang dulu menyalahi aturan perbankan?

Seperti diketahui, di balik pengucuran BLBI, setidaknya ada tiga pihak terkait, yakni bank sentral, Menteri Keuangan, dan Menko Ekuin. Dua yang disebut terakhir juga ikut berperan mendesain penyelamatan bank. Padahal, mereka tahu betul bahwa tanpa hantaman krisis moneter pun, sebagian bank sudah digerogoti kredit macet, hingga sebenarnya tak pantas diselamatkan.

Masalahnya, apakah sulit sekali melacak individu-individu yang bergelimang dosa BLBI. Bukankah tatkala BLBI deras dikucurkan, saat itu terjadi pemborongan dolar secara besar-besaran, sedangkan nilai rupiah "melata" di angka Rp 17.000—Rp 20.000 per dolar AS? Seorang pakar kemudian mengingatkan agar diberlakukan limit untuk BLBI karena rakyat jualah nanti yang akan terimbas dampaknya. Peringatan itu tak ditanggapi, sementara tiga direktur BI yang dibebastugaskan—di antaranya Direktur Pengawasan Hendrobudiyanto—sampai sekarang tampak seperti "kebal" hukum.

Terus terang, rakyat sudah sangat jemu karena mereka lagi-lagi dijejali masalah perbankan. Sekarang beberkan saja hasil due diligence itu, asalkan tujuannya benar-benar menegakkan hukum dan bukan meruntuhkan lembaga otoritas moneter. Dan jangan maju-mundur dalam mengadili pejabat dan mantan pejabat, karena yang dipertaruhkan bukan hanya uang ratusan triliun, tapi masa depan sebuah bangsa yang jumlahnya mencapai 200 juta jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum