ENAM orang tewas dihakimi massa di Malang Selatan, dua pekan terakhir. Mereka dituduh melakukan praktek sebagai dukun santet. Sejak pembunuhan massal sekitar 100 orang yang dituduh dukun santet di Banyuwangi, sekitar Oktober 1998, lalu 37 korban—dengan tuduhan serupa—jatuh di Ciamis sejak November 1998, di pedalaman Kota Malang itulah urusan dukun santet seperti kambuh lagi.
Kabar pun rupa-rupa. Ada yang bilang seorang preman dari Jakarta dibayar Rp 3 juta untuk misi ''mengacaukan" Malang. Apalagi pihak Polisi Daerah Jawa Timur memakai istilah seram: empat provokator telah ditangkap, tiga orang provokator, termasuk seorang preman Jakarta, melarikan diri. Istilah ''provokator" kemudian menggiring orang berpikir: ada perencanaan rapi, ada ''pemanasan", lalu akan ada tindak lanjut. Isu dukun santet—jika mengikuti pikiran konspiratif begini—hanya entry point untuk memicu kerusuhan besar agar Malang lumpuh, Surabaya kemudian takluk, terus meluas sampai pemerintahan Jakarta pun ambruk. Bukankah teori ''desa mengepung kota" Mao juga begini ceritanya, kata yang gemar othak-athik gathuk—mencocok-cocokkan kejadian yang bisa saja tak berhubungan sama sekali.
Pengalaman wartawan TEMPO di Ciamis membuktikan, urusan konspirasi, seperti dikhayalkan banyak orang, bisa omong kosong belaka. Di Ciamis, misalnya, disebut beraksi ''pembunuh bayaran" dengan upah Rp 50 ribu-Rp 100 ribu. Ternyata, uang yang dikumpulkan warga dari hasil saweran (iuran) itu dipakai untuk beli rokok dan makan-minum ratusan warga seusai ''operasi". Kemudian, sang pembunuh diberitakan didrop handphone dari kota. Ketika diwawancarai, sang tersangka, yang cuma jebolan SD dan sehari-hari menyadap nira, cuma bengong dan berkata, ''Nyecel ge can pernah (memegang saja tak pernah)." Ada cerita juga: dua orang berperawakan tinggi besar, dengan sedan mengilap, membawa koper berisi Rp 100 juta plus dua pistol untuk ''merusuh" Ciamis. Setelah dicek: kampung yang diceritakan didatangi dua lelaki itu ada di tempat curam berbatu cadas. Hanya sedan yang bisa ''terbang" saja yang sanggup menjangkaunya.
Di Malang Selatan, cerita serupa Ciamis bisa saja terulang. Preman Jakarta yang disebut-sebut ternyata orang setempat yang sempat bekerja di Jakarta, entah sebagai preman atau bukan. Konflik lokal yang lama terpendam—kasus tanah, pembagian air di sawah, kasus warisan keluarga, ketidakadilan pemilihan lurah atau lainnya—biasanya hanya menunggu ''api" untuk meledak bersama-sama. Apalagi jika penyelesaian polisi dan aparat hukum buruk, akibat suap atau sogok. Pakar kriminologi Mulyana W. Kusumah menduga, keluarga korban—yang secara hukum (juga medis) tak pernah bisa membuktikan santet—biasanya masih menyimpan dendam. Lalu, dalam situasi politik yang kini lebih bebas, dendam itu muncul menjadi energi radikal yang berbentuk main hakim sendiri.
Susahnya, kepercayaan kepada lembaga hukum—termasuk juga kekuasaan polisi—telah lama ambruk, sampai ke pedalaman seperti Malang Selatan ini. Maka, polisi yang menangkap beberapa pelaku biasanya akan jadi sasaran amuk massa berikutnya. Pemulihan kepercayaan di tingkat aparat lokal bisa dicoba untuk mengobati ''penyakit main bunuh dukun santet" yang sering kambuh ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini