KEPERCAYAAN adalah sesuatu yang subyektif. Tak ada gunanya menyangkal bahwa ia bisa membangkitkan tenaga yang amat dahsyat. Apalagi kalau kepercayaan itu menyangkut tentang yang suci, yang mutlak benar, yang dipuja dan dijunjung, dan tentang yang adil atau yang batil.
Karena yang mutlak benar hanya mungkin satu, kepercayaan yang serupa tapi berlainan akan menjadi saingan yang mengancam kebenaran satunya lagi. Seperti dikatakan tadi, ini dirasakan secara subyektif oleh penganutnya. Maka, bila dua subyektivisme yang mengandung tumpukan tenaga ini bersilang lalu, benturan mungkin sekali pecah. Dua identitas—berdasarkan agama—bertarung.
Inilah yang berlangsung dan yang masih berkecamuk di Ambon. Ini juga yang terjadi dengan pembakaran kompleks dan penganiayaan penghuni Wisma Doulos, suatu malam pertengahan Desember lalu. Wisma ini, selain menampung usaha sosial rehabilitasi korban adiksi narkoba, juga merupakan pusat kegiatan kristiani, seperti asrama dan sekolah tinggi teologi. Sedangkan penyerangnya banyak yang menggunakan pakaian yang menunjukkan identitasnya sebagai muslim. Bagaimana benturan semacam ini—dari akibatnya layak disebut teror—seharusnya ditangani?
Dalam pertikaian antarsubyektif ini, masing-masing mengaku merasa diteror oleh yang lainnya. Yang satu memakai kekerasan, yang lain memakai penyusupan pengaruh, begitulah tuduhan saling dilontarkan. Kegiatan para pelayan militan Yayasan Doulos—bahasa Yunani, yang berarti hamba pelayan—dianggap telah merasuk ke wilayah penganut agama Islam, yang tidak menyenangkan bagi yang merasa dirugikannya. Protes terhadap hal inilah yang berpuncak dalam bentuk kekerasan massal itu.
Sekarang soalnya: bagaimana menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menunaikan kepercayaan masing-masing itu? Dari sisi subyektif, aksi ataupun reaksi selalu punya alasan untuk mencari pembenarannya sendiri-sendiri. Dalam masyarakat majemuk, tidak mungkin ukuran kebenaran satu kelompok dijadikan kaidah untuk semuanya.
Maka, agar adil, perlu mengobyektifkan ukuran yang dianggap benar oleh semua. Dalam demokrasi, itu ditemukan dan disusun bersama dalam bentuk hukum negara. Subyektivisme dilampaui, dan identitas kelompok asali juga dilapisi selubung kewargaan yang menjadi identitas bersama bagi semua penduduk. Dengan itu, berlakulah hukum yang sama buat semua, dan semua sama di muka hukum.
Pada malam Natal yang lalu, perdamaian telah diadakan antara para penghuni Wisma Doulos dan warga kampung sekelilingnya. Ini adalah penyelesaian antarsubyektif yang berlaku antara dua pihak, dan menenteramkan. Itu perlu, tapi belum cukup. Penyelesaian obyektif, yaitu proses peradilan bagi yang bersalah, masih perlu dijalankan demi ketertiban dan kepastian hukum sendiri. Pelakunya dihukum karena tindakannya, bukan karena kepercayaan atau identitasnya. Jangan ada yang salah mengerti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini