Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP malam, Saelan memacu sepeda motornya membelah kegelapan. Bersama pengojek lainnya, pria berusia 48 tahun itu biasa ngetem di Plaza Kudus. Lewat tengah malam, barulah ia pulang ke rumah dengan membawa uang Rp 10.000 hingga Rp 15.000. Belum sempat lama tertidur, sehabis salat subuh, dia bangun untuk mempersiapkan materi mengajar pagi hingga siang harinya. Begitulah Saelan mengisi hari. Siang mengajar, malam membelah kegelapan demi beberapa belas ribu rupiah. Tuntutan hidup memaksa ayah empat anak itu merangkap dua pekerjaan sekaligus. Tapi hidupnya tetap saja kembang kempis. ''Gaji saya sudah habis dipotong pinjaman koperasi," tutur lelaki kurus ini.
Kisah gulana itu bukan hanya menimpa Saelan, yang sudah menjadi guru selama 17 tahun, tapi juga ribuan engku di negeri ini. Sudah lama hidup ''Oemar Bakrie"tokoh guru yang diangkat menjadi judul lagu Iwan Falsbegitu sendu: sudah gajinya minim, masih dipangkas oleh berbagai potongan dengan berbagai alasan. Akibatnya, mereka terpaksa nyambi. Tugas pokok jadi nomor dua.
Beberapa pekan silam, Departemen Pendidikan Nasional mengumumkan kabar gembira: pemotongan gaji guru tak akan diberlakukan lagi. Sejumlah pungutan yang membuat gaji guru ciut, seperti sumbangan Korpri, PGRI, Dharma Wanita, yang totalnya Rp 900, konon bakal pupus. Honor kelebihan jam mengajar, yang asalnya cuma seribu perak, dinaikkan menjadi Rp 3.000 per jamnya. Penghentian pemotongan itu bakal dilakukan Januari tahun 2000, sedangkan kenaikan honor itu setidaknya akan berlaku saat tahun ajaran baru dimulai. Tunjangan pendidikan pun diusulkan naik. Untuk golongan II, tunjangan yang tadinya Rp 45.000 menjadi Rp 70.000; golongan III, Rp 55.000 menjadi Rp 80.000; dan golongan IV dari Rp 60.000 menjadi Rp 95.000. Menurut Menteri Pendidikan Nasional, Yahya Muhaimin, usulan itu tinggal menunggu keputusan presiden saja.
Untuk menghindari salah prosedur, Eddy SuwarniDirektur Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis Dirjen Dasmenmenyatakan pembayaran itu akan dilakukan langsung ke sekolah tanpa melalui kantor wilayah dan dinas departemen, dan pelaksanaannya berada di dinas-dinas departemen pendidikan nasional daerah serta sepenuhnya menjadi wewenang mereka. Hal itu dilakukan untuk menghindari panjangnya birokrasi dan bocornya dana.
Bapak dan ibu guru menyambut gembira keputusan itu. Bagi para guru, iuran PGRI sebesar Rp 500 tiap bulan sudah semestinya dihentikan. Mereka menganggap organisasi payung itu tak banyak berperan. Malah sebaliknya, mereka merasa diperalat untuk memenangkan Golkar pada pemilu masa Orde Baru lalu, misalnya. ''Mestinya, PGRI memperjuangkan nasib guru," kata Saelan. Di Jawa Tengah, tempatnya tinggal, menurut dia, masih terdapat pungutan yang dilakukan PGRI, yakni sumbangan untuk dana kematian, yang besarnya tergantung pada jumlah guru yang meninggal di sana, yang secara otomatis menggunting gajinya.
Namun, bila ingin jujur, sebenarnya penghentian potongan gaji itu tidak banyak berarti. Dengan gaji yang minim itu, ditambah naiknya harga-harga bahan baku belakangan ini, saku para guru tak kian aman. Nur Intan Hasibuan, guru SLTP di Deli, dengan golongan III-B, menerima gaji sebesar Rp 500 ribu, sementara kebutuhan sehari-hari dengan tiga orang anak mencapai Rp 700 ribu. Kekurangannya dipenuhi dengan jalan berjualan kue, yang dititipkan di sekolahnya. Umumnya, gaji yang diterima para guru hanya cukup untuk makan selama setengah bulan.
Dalam kalkulasi para guru, gaji yang dianggap layak adalah bila besarnya mencapai dua kali lipat dari gaji yang diterima saat ini. ''Sedikitnya Rp 1,2 juta," ujar Joko Suprapto, guru SD di Semarang. Dengan penghasilan sebesar itu, menurut dia, seorang guru bisa membeli buku dan berlangganan koran, sehingga mereka bisa meningkatkan mutu sebagai pengajar.
Menyedihkan benar nasib guru Indonesia. Dibandingkan dengan guru di negara maju, rata-rata gaji guru kita hanya satu persen dari gaji mereka. ''Insya Allah, gaji guru akan tetap saya perhatikan," janji Yahya Muhaimin. Tapi, menurut dia, kenaikan gaji guru harus bersamaan dengan pegawai negeri lainnya. Kalau begitu, ceritanya sudah bisa ditebak. Kenaikan gaji para guru, yang tak seberapa, akan diikuti melompatnya harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Dan Saelan tampaknya masih harus memacu motornya menembus dinginnya malam.
Irfan Budiman, Dwi Arjanto, A.S. Wijana (Surabaya), Bandelan Amirudin (Semarang), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo