Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiko Saputra
Peneliti Kebijakan Ekonomi di Auriga Nusantara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan Papua, benteng terakhir hutan tropis di Nusantara, terancam oleh perkebunan sawit. Belantara yang kaya keanekaragaman hayati dan sumber pangan lokal itu pun berisiko punah, berganti hamparan tanaman monokultur asli Afrika itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faktanya demikian. Satu juta hektare lebih lahan di Bumi Cenderawasih itu telah terbebani izin perkebunan sawit. Lahan yang sudah ditanami mencapai 158 ribu hektare. Hamparan sawit terbentang di 11 kabupaten di Papua dan Papua Barat. Adapun lahan yang terluas terdapat di Kabupaten Merauke (KPK, 2019).
Setelah sukses memusnahkan ekosistem hutan tropis di Kalimantan, perburuan lahan merambah rimba Papua. Atas nama pembangunan dan investasi, kita sudah memberikan ancaman baru bagi masyarakat dan lingkungan Papua. Hutan ditebangi dan digantikan sawit. Akibatnya, sumber bahan makanan pun hilang dan bencana lingkungan datang silih berganti.
Hutan bagi masyarakat adat Papua ibarat toko swalayan yang menyediakan sumber bahan makanan, seperti sagu sebagai sumber karbohidrat, babi dan rusa sebagai sumber protein, serta beraneka sayuran dan tanaman obat lainnya. Hilangnya hutan berarti hilangnya sumber bahan makanan.
Konflik lahan pun menyeruak. Di Merauke, misalnya, program pengembangan kawasan pangan dan energi terintegrasi (MIFEE)-salah satunya bertujuan untuk pengembangan perkebunan sawit-telah menimbulkan konflik lahan antara masyarakat adat (suku Marind dan suku Yei) dan perusahaan. Hutan ulayat mereka diokupasi sepihak oleh perusahaan. Perlawanan dilakukan tapi berujung pada kekerasan oleh pihak aparat keamanan yang membekingi perusahaan. Konflik serupa juga menyebar di seluruh daerah yang memiliki perkebunan sawit.
Sawit tak memberikan keuntungan bagi Papua. Begitulah faktanya. Ekonomi sawit yang sifatnya ekstraktif itu hanya bernilai tambah bagi elite ekonomi dan elite politik. Keuntungan dari sawit tak berputar di areal sekitar perkebunan karena uangnya justru lari ke luar Papua. Masyarakat dijanjikan pekerjaan dan perkebunan plasma, tapi itu tak pernah terealisasi.
Pergantian pemerintahan tak mengubah sudut pandang kita membangun Papua. Itu malahan semakin melanggengkan sistem pembangunan yang salah. Pemerintah terus melayani pemburuan renten ekonomi dari komoditas tanpa memikirkan bagaimana komoditas itu bernilai manfaat bagi masyarakat Papua.
Secara nyata, masyarakat Papua tak butuh sawit. Pola hidup mereka yang meramu hanya memerlukan kelestarian hutan. Jadi, merambah rimba mereka untuk perkebunan sawit sesungguhnya hanya mengeksploitasi hutan mereka demi kepentingan pasar minyak sawit global.
Pasar minyak sawit global memang gurih. Permintaan yang terus meningkat dengan cuan besar memikat para investor. Godaan fulus besar dari para elite ekonomi memikat elite politik Papua untuk menggadaikan tanahnya ke para investor. Apalagi, pada musim pemilihan kepala daerah, izin sawit diobral untuk melanggengkan kekuasaan.
Di pusat pun setali tiga uang. Izin pelepasan kawasan hutan dan hak guna usaha sebagai persyaratan mutlak untuk mengoperasikan kebun sawit pun menjadi ajang transaksional antara oknum pejabat dan elite ekonomi (KPK, 2016). Masyarakat hanya diam terpana ketika selembar izin itu menjadikan haknya terhadap hutan dan lahan musnah seketika.
Papua tak butuh sawit! Demikian suara itu lantang terdengar bila kita berkunjung ke sana dan mendengarkan keluhan masyarakatnya. Mereka hanya mengharapkan hutannya tetap lestari, penuh dengan aneka pangan lokal dan sumber penghidupan. Kalaupun harus dikembangkan skala industri, mereka punya sagu dan pala, yang merupakan tanaman asli Papua, yang nilai ekonominya mungkin lebih baik daripada sawit bila dikembangkan dengan baik.
Mungkin sudah saatnya pemerintah tak memaksakan sawit di Papua. Kapan dan di mana pun, sawit tetap merupakan tanaman monokultur yang tak cocok bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan Papua. Jangan hanya karena kepentingan elite dan pasar global, masyarakat dikorbankan.
Karena itu, segera hentikan pembukaan hutan dan lahan untuk perkebunan sawit di sana. Izin-izin perkebunan sawit yang sudah telanjur diterbitkan tapi tak dioperasikan harus dicabut. Hutan yang telah ditebang dan belum ditanami harus dipulihkan. Perusahaan yang sudah beroperasi tapi melanggar ketentuan harus ditindak tegas. Hutan dan lahan yang dirampas dari masyarakat adat Papua harus dikembalikan. Hanya dengan cara itulah ancaman sawit di Papua bisa dihentikan, sehingga benteng terakhir hutan tropis itu tetap lestari.