Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Akibat Monopoli Naik Haji

Kementerian Agama mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji 2025 naik. Mendesak dilakukan penghapusan monopoli pemerintah. 

 

3 Januari 2025 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Agama mengumumkan ongkos naik haji tahun ini naik.

  • Agar kenaikan ongkos haji tak semena-mena, perlu dibuka kemungkinan swastanisasi haji.

  • Pemerintah Arab Saudi saja menyerahkan penyelenggaraan haji kepada perusahaan swasta.

PEMERINTAH tidak semestinya mengusulkan kenaikan biaya haji tahun ini ketika belum ada transparansi pelaksanaan ibadah rutin tahunan umat Islam tersebut. Tanpa ada perbaikan sistem pengelolaan dana haji dan penyelenggaraannya, ibadah haji berpotensi terus menjadi ajang korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Agama Nasaruddin Umar mengumumkan ongkos naik haji 2025 turun dibanding pada tahun sebelumnya. Menurut dia, pemerintah telah mengusulkan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sebesar Rp 93,39 juta per calon haji—turun Rp 20 ribu dari ongkos naik haji 2024 yang sebesar Rp 93,41 juta—kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, di balik klaim ongkos haji yang turun itu, sejatinya calon haji merogoh kocek lebih dalam karena biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) lebih besar Rp 9,37 juta ketimbang biaya yang sama pada 2024. Sementara pada tahun lalu besaran Bipih Rp 56 juta, kini angkanya naik menjadi Rp 65,37 juta. Kenaikan itu akibat pemerintah hanya bersedia menanggung 30 persen dari total BPIH, turun dari tahun sebelumnya yang sebesar 40 persen.

Sebenarnya calon haji tidak perlu menanggung 70 persen dari BPIH itu karena besaran nilai manfaat pengembangan dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) per 31 Desember 2024 sudah lebih dari Rp 12 triliun. Artinya, nilai tersebut masih cukup untuk menanggung 40 persen dari total BPIH tahun ini yang diperkirakan sebesar Rp 8 triliun.

Kenaikan Bipih ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal mengelola duit setoran awal haji. Padahal pembentukan BPKH bertujuan agar dana setoran haji dikelola secara profesional dan menghasilkan keuntungan atau nilai manfaat yang signifikan. Keuntungan tersebut untuk menutupi kenaikan biaya setiap tahunnya sehingga tak memberatkan anggota jemaah haji dalam melunasi BPIH.

BPIH tahun ini seharusnya bisa turun hingga di bawah Rp 90 juta. Penyelidikan Panitia Khusus Haji DPR atas penyelenggaraan ibadah haji 2024 menemukan banyak persoalan, termasuk inefisiensi dalam penyelenggaraan haji. Misalnya, kekisruhan pelayanan jasa boga dan penginapan, kurangnya tenda di Mina, minimnya transportasi Arafah-Mina-Muzdalifah, serta buruknya petugas haji titipan tanpa seleksi dan bimbingan teknis. Sebenarnya biaya tiket pesawat, akomodasi, dan konsumsi itu pun masih terbuka untuk dinegosiasikan.

Pangkal semua sengkarut ini adalah monopoli Kementerian Agama. Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah membuat Kementerian Agama punya kewenangan sebagai regulator sekaligus operator penyelenggaraan ibadah haji. Kontrol penuh itu membuat proses pengelolaan ibadah haji tidak transparan. Tidak pernah ada evaluasi secara terbuka dan tak ada perbaikan serius atas masalah berulang yang terjadi setiap musim haji.

Monopoli kewenangan haji ini terbukti mudah diselewengkan dan menjadi ladang korupsi. Contohnya, Menteri Agama Suryadharma Ali dihukum 10 tahun penjara dalam skandal rasuah penyelenggaraan ibadah haji 2010-2013. Lalu Menteri Agama periode 2001-2004, Said Agil Husin Al Munawar, divonis 5 tahun kurungan akibat kasus korupsi dana haji dan Dana Abadi Umat.

Peran ganda pemerintah sebagai regulator sekaligus operator itu yang menjadi sumber kekacauan penyelenggaraan haji. Sudah saatnya monopoli pemerintah ini dihentikan. Namun kondisi ideal ini sulit terlaksana karena Presiden Prabowo Subianto memilih membentuk Badan Penyelenggara Haji. Badan baru tersebut hanya menggantikan peran dan tugas serta fungsi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, yang selama ini berada di bawah Kementerian Agama.

Pemerintah seperti tutup mata atas keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji oleh biro perjalanan swasta. Berdasarkan data Kementerian Agama, ada 640 penyelenggara ibadah haji khusus yang aktif di seluruh Indonesia. Selama ini mereka juga sudah menyelenggarakan haji khusus. Dari 241 ribu kuota haji musim 2024, misalnya, sebanyak 27.680 orang merupakan anggota jemaah haji khusus.

Swastanisasi haji reguler juga sudah dilakukan pemerintah Arab Saudi yang menyerahkan pengelolaan haji kepada Syarikah—badan swasta pengganti Muassasah. Menjadi ganjil ketika pemerintah Indonesia tetap mempertahankan kebijakan yang selalu melahirkan persoalan setiap tahun.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus