Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Anomali Penurunan Ambang Batas Omzet Pajak UMKM

Pemerintah akan menurunkan ambang batas omzet pajak UMKM. Berisiko makin membebani pengusaha kecil dan menengah.

2 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Batasan omzet UMKM sejak 2013 yang sebesar Rp 4,8 miliar per tahun sudah tidak relevan lagi.

  • Ambang batas omzet UMKM seharusnya dinaikkan, bukan malah diturunkan.

  • Saatnya pemerintah bersikap adil terhadap pelaku UMKM.

PEMERINTAH berencana menurunkan ambang batas (threshold) omzet atas pajak usaha mikro, kecil, dan menengah atau pajak UMKM dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 3,6 miliar per tahun. Penurunan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan praktik beberapa negara. Pertimbangan lain adalah masalah keadilan pajak dan perluasan basis pajak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apakah alasan tersebut masuk akal? Dari perspektif pemerintah, alasan demikian terlihat masuk akal karena berpotensi meningkatkan penerimaan pajak. Namun bagaimana jika ditinjau dari sudut pandang wajib pajak itu sendiri alias para pelaku UMKM? Mari kita kaji.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara historis, implementasi pajak penghasilan (PPh) final UMKM dimulai pada 2013 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, yang kemudian disusul PP Nomor 23 Tahun 2018. Perbedaan mendasar kedua aturan ini adalah tidak adanya batasan umur pemakaian PPh final dalam PP Nomor 46 Tahun 2013.

Batasan itu baru muncul dalam PP Nomor 23 Tahun 2018. Untuk wajib pajak orang pribadi, diberikan batasan 7 tahun; wajib pajak badan untuk bentuk perusahaan terbatas 3 tahun; dan bentuk commanditaire vennootschap (CV), koperasi, serta yayasan, 4 tahun. Perbedaan lain, tarif dalam PP Nomor 46 Tahun 2013 sebesar 1 persen, sedangkan dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 turun menjadi 0,5 persen.

Selain itu, pada 2022, pemerintah menerbitkan PP Nomor 55 mengenai pajak UMKM. Perbedaan dengan peraturan sebelumnya, wajib pajak orang pribadi dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta tidak dikenai PPh final 0,5 persen.

Jika kita melihat secara historis, batasan omzet UMKM sejak 2013—saat PP Nomor 46 terbit—yang sebesar Rp 4,8 miliar per tahun sudah tidak relevan lagi. Apalagi jika kita mengestimasikan adanya kenaikan inflasi 2 persen setiap tahun. Jumlah itu, jika kita kalikan dengan 12 tahun, besaran inflasi sudah mencapai 24 persen. 

Dengan kondisi itu, logikanya, ambang batas seharusnya dinaikkan, bukan malah diturunkan. Dengan demikian, hitungan ambang batas itu menjadi Rp 4,8 miliar ditambah tingkat inflasi 24 persen menjadi Rp 5,9 miliar per tahun. Bukan turun menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.

Aturan penurunan batasan omzet atas pajak UMKM menjadi Rp 3,6 miliar per tahun jelas akan membuat pelaku UMKM kecewa. Sebab, pengusaha kelas mikro, kecil, dan menengah yang omzet usahanya melewati Rp 3,8 miliar per tahun harus menggunakan tarif normal berdasarkan Undang-Undang PPh Pasal 17. 

Dalam aturan itu terdapat ketentuan tarif progresif. Untuk wajib pajak orang pribadi, tarif progresifnya sebesar 5 persen, 15 persen, 25 persen, 30 persen, dan 35 persen dikalikan penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak berbentuk badan usaha (PT, CV, firma, yayasan, dan koperasi) akan dikenai tarif PPh Pasal 31 E sebesar 11 persen serta tarif PPh Pasal 17 sebesar 22 persen.

Penurunan ambang batas omzet PPh final UMKM akan berdampak terhadap UMKM yang beromzet di atas Rp 3,6 miliar, tapi tak sampai Rp 4,8 miliar. Pelaku usaha jelas akan makin terbebani karena biaya pajak yang dikeluarkan akan bertambah. 

Selain memikul beban pajak penghasilan, mereka masih harus menanggung pungutan pajak daerah (pajak restoran, pajak parkir, pajak bahan bakar, pajak air permukaan, pajak reklame, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, serta pajak bumi dan bangunan). Belum lagi beban dari maraknya pungutan liar yang membuat UMKM malah berbiaya tinggi sehingga makin sulit bersaing.

Saatnya Negara Berpihak kepada UMKM

Seyogianya pemerintah memberikan perhatian khusus kepada UMKM, terutama dari sisi pajak. Sektor ini, sejak lama berkontribusi besar dalam menggerakkan perekonomian negara. UMKM, sebagai salah satu kekuatan ekonomi, dapat menciptakan lapangan kerja. Hal ini bukan sekadar omong kosong. Krisis ekonomi 1997-1998 menjadi buktinya. 

Pada masa itu, berkat UMKM, perekonomian rakyat tetap berjalan. UMKM-lah yang terus menggerakkan perekonomian, bukan berkat kehebatan para pejabat dan konglomerat yang selalu dimanjakan oleh berbagai fasilitas. Hebatnya, pada masa krisis itu, sektor UMKM dapat bertahan hidup tanpa fasilitas atau insentif dari negara.

Saat ini, jumlah UMKM di Indonesia diperkirakan mencapai 66 juta unit usaha. Jelas ini jumlah yang fantastis dan makin menunjukkan bahwa UMKM merupakan salah satu pilar perekonomian Indonesia. Sektor ini berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan investasi. 

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, daya serap tenaga kerja oleh sektor UMKM mencapai 117 juta pekerja atau 97 persen dari daya serap tenaga kerja dunia usaha. Sementara itu, kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional (PDB) mencapai 61,1 persen atau setara dengan Rp 8.573,89 triliun. Barulah sisanya, yang sebesar 38,9 persen, berasal dari para pelaku usaha besar yang jumlahnya hanya 5.550 unit usaha atau 0,01 persen dari jumlah pelaku usaha di Tanah Air.

Selanjutnya, mari kita tengok kontribusi UMKM terhadap penerimaan negara melalui pajak penghasilan. Penghitungan sederhananya, tarif pajak UMKM sebesar 0,5 persen dikalikan dengan jumlah PDB dari UMKM yang sebesar Rp 8.573,89 triliun. Hasilnya, sektor usaha ini berkontribusi sebesar Rp 42,8 triliun. Tentu itu jumlah yang signifikan dan sangat membantu penerimaan negara.

Dengan melihat besarnya peran dan manfaat sektor UMKM dalam perekonomian negara, semestinya negara "membalas budi" dengan tak lagi menambah beban para pengusaha kecil serta menengah. Pemerintah bisa mengambil contoh penerapan kebijakan pajak UMKM di Cina. Di sana, pemerintah memberikan berbagai fasilitas pajak dan dukungan untuk UMKM. 

Di Cina, alih-alih membebani pelaku usaha dengan pajak, pemerintahnya justru memberikan pengurangan PPh sebesar 50 persen untuk wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha, pembebasan PPN untuk pendapatan bunga dari pinjaman mikro lembaga keuangan hingga akhir 2027, perpanjangan ketentuan pajak preferensial untuk perusahaan rintisan teknologi (startup) hingga akhir 2027, dan potongan pajak untuk perusahaan kecil.

Brian J. Arnold, dalam bukunya yang berjudul Taxation of Controlled Foreign Corporation, menjelaskan pajak bertujuan untuk keadilan, netralitas, penerimaan, pertimbangan administrasi, dan kepatuhan. Berangkat dari penjelasan itu, seharusnya pemerintah tak menurunkan ambang batas omzet pajak UMKM. Saatnya pemerintah bersikap adil terhadap pelaku UMKM yang selama ini sudah membayar pajak dengan baik.

Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Irwan Wisanggeni

Irwan Wisanggeni

Dosen Magister Akuntansi Universitas Trisakti

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus