Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penghapusan presidential treshold dalam pemilihan presiden akan membuka kompetisi terbuka menjadi presiden.
Partai tak akan berkoalisi sejak awal sehingga memungkinkan kaderisasi dan mengutamakan kepentingan publik
Ada beberapa risiko yang bisa dicegah oleh kesadaran pengurus partai untuk menyokong demokrasi.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menjadi kabar baik bagi demokrasi kita. Putusan tersebut membuka peluang yang luas bagi lahirnya calon pemimpin, yang selama ini didominasi kartel politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hakim konstitusi mengabulkan gugatan atas Pasal 222 Undang-Undang Pemilihan Umum pada Kamis, 2 Januari 2025. Akibatnya, partai politik tidak harus memiliki minimal 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau meraih 25 persen suara sah nasional untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sejumlah pemilihan umum, sistem presidential threshold menimbulkan persoalan. Aturan ambang batas membuat pemilik suara dihadapkan pada pilihan pasangan calon presiden-wakil presiden yang terbatas. Para calon tersebut umumnya juga mereka yang dipaksakan oleh partai politik dominan atau memiliki kursi banyak di DPR. Mereka mampu memaksakan calon yang diusung karena merasa paling berkontribusi dalam memenuhi syarat presidential threshold.
Dengan ambang batas itu, partai kecil dan menengah hanya bisa menjadi penggembira karena tidak mampu mengusung calon presiden sendiri. Saat bergabung dengan salah satu koalisi, mereka hanya dianggap sebagai pelengkap syarat mengusung calon presiden. Kondisi itu membuat partai-partai ini cenderung menjual suara mereka kepada calon tertentu. Mereka bergabung bukan karena perjuangan ideologi, melainkan lebih karena politik transaksional.
Karena itu, presidential threshold bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan publik sekaligus melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan. Pengaturan ambang batas bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan "pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum". Karena itu, wajar jika aturan tersebut puluhan kali digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Di awal tahun baru 2025, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang tepat. Putusan ini merupakan hal positif dalam menciptakan iklim demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Dengan dihapusnya presidential threshold, akan mendorong kompetisi yang lebih sehat dalam pemilihan presiden.
Dalam demokrasi, makin banyak calon pemimpin akan makin baik karena rakyat memiliki banyak pilihan dan saluran untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, ada mekanisme yang bakal menjaring para calon, termasuk sistem dua putaran dalam pemilihan presiden yang akan mengerucutkan para calon menjadi hanya dua atau tiga pasangan.
Meski begitu, penghapusan presidential threshold menyisakan sejumlah persoalan. Salah satunya, makin terbukanya peluang orang yang punya uang untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden. Mereka bisa lebih leluasa membeli suara partai politik untuk mengusungnya.
Untuk mengatasi persoalan ini, publik harus mendorong partai politik membuat sistem penjaringan calon presiden yang lebih demokratis. Misalnya dengan menggunakan konvensi. Partai politik juga bisa menggunakan kesempatan ini untuk memperbaiki kaderisasi. Kaderisasi dan kedekatan aktivis partai dengan rakyat akan membuka peluang calon yang diusung mereka memenangi pemilihan presiden.
Persoalan lain yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan munculnya kohabitasi politik atau situasi ketika presiden terpilih tidak mendapat dukungan kuat dari lembaga legislatif. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena calon presiden yang diusung oleh partai kecil juga memiliki peluang menang jika disukai rakyat. Apalagi pilihan rakyat tidak selalu sama, bahkan sering berlawanan, dengan keinginan mayoritas partai.
Pemerintahan yang tidak mendapat dukungan partai politik besar di lembaga legislatif biasanya akan kesulitan, terutama mengambil kebijakan strategis, sehingga pemerintahan menjadi kurang efektif. Namun kohabitasi politik bukan tanpa solusi. Komunikasi politik yang transparan bisa mendorong terbentuknya kerja sama antarpartai mendukung pemerintah. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo