Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA personel Panitia Khusus Angket Century terus bertingkah bak selebritas politik yang banyak bicara, sebaiknya kita jangan terlalu menaruh harapan. Mereka sekarang perlu lebih banyak bekerja, berhenti melayani hasrat tampil di berbagai pentas. Kepada 30 orang itu—kalau masih ada gunanya—perlu disampaikan bahwa rakyat menunggu dan mengikuti kerja mereka. Janganlah cuma mahir adu bicara, apalagi terjerembap menjadi fitnah, hanya lantaran merasa menjadi pemeran utama dalam panggung politik nasional saat ini.
Panitia perlu ingat, sejarah angket Dewan Perwakilan Rakyat adalah riwayat kegagalan legislator menjalankan fungsi pengawasan. Hingga menjelang Pemilu 2009, ada delapan usul hak angket yang digelindingkan Dewan. Dari tiga hak angket yang diterima, semua tak jelas ujung-pangkalnya. Angket penjualan tanker raksasa Pertamina, transparansi pengelolaan minyak dan gas negara, dan kisruh daftar pemilih tetap, tak ada yang tuntas.
Wajar jika masyarakat mencibir ketika terbentuk panitia angket Century. Publik telanjur sering kecewa terhadap panitia yang di tengah jalan ternyata ”masuk angin”. Panitia mendadak gembos sebelum mendapat jawaban atas keingintahuan publik tentang pelbagai masalah krusial tadi. Dalam kasus Century, kompromi pengangkatan ketua panitia khusus angket bisa jadi pertanda bahwa forum ini sarat kepentingan politik. Idrus Marham, sang ketua, yang juga Sekretaris Jenderal Partai Golkar, bisa saja punya misi mengharmoniskan hubungan partainya dengan Istana.
Apa boleh buat, inilah risiko panggung politik. Karena itu, panitia harus membuktikan bahwa mereka mampu menumbangkan monumen kegagalan penuntasan angket di masa lalu. Panitia harus menunjukkan kecakapan mereka dalam menginvestigasi dugaan skandal ini dan menyingkirkan agenda terselubung partai. Staf ahli dan pendamping mesti diisi figur profesional sekelas sekondan dalam pertarungan catur dunia. Toh, panitia sudah menelan biaya yang sangat mahal. Waktu 60 hari yang tersedia—walaupun bisa diperpanjang—terbilang pendek untuk mengungkap habis perkara gawat ini.
Kata kunci di sini adalah fokus pada perkara pokok. Ketika memanggil mereka yang terkait, termasuk mantan wakil presiden Jusuf Kalla, Wakil Presiden Boediono, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, panitia sebaiknya zoom-in pada dua masalah pokok: kejelasan di balik kebijakan pengucuran dana penyelamatan, plus menelusuri aliran dana penyelamatan. Jika itu saja bisa dibongkar, panitia sudah bisa disebut berhasil.
Panitia hendaknya juga tidak menjadi alat politik siapa pun. Imbauan panitia agar Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani nonaktif sudah terlalu jauh dari wilayah kerja panitia. Terlalu naif untuk mengatakan panitia khusus tak mengerti bahwa syarat nonaktif itu setidaknya dua hal: tugas kedua pejabat itu terganggu oleh pemeriksaan Dewan, dan harus sesuai dengan aturan hukum. Sejauh ini belum ada aturan yang bisa dirujuk. Mudah diterka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan gampang menolak ”imbauan tanpa dasar” kuat itu.
Main-main ”politik recehan” begini bisa membuat panitia kehilangan kredibilitas. Bila tujuan mendekati kebenaran pada akhirnya diketahui ditukar dengan usaha mendongkel pejabat pemerintah, kepercayaan rakyat akan runtuh.
Hanya ketidakberpihakan dan kejujuran panitia khusus angket yang akan menepis cibiran masyarakat. Adakah dua hal itu mereka miliki?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo