JEPANG diam-diam telah tampil sebagai pemberi utang paling besar di dunia. Tak heran bila Presiden Soeharto, juga Prof. Widjojo Nitisastro, sebagai utusan khusus pemerintah RI, berharap agar pemerintah Jepang bisa meringankan beban utang Indonesia, yang ikut diimpit yendaka. Di Jepang ada empat instansi pemerintah yang mengurusi pinjaman luar negeri, biasa dikenal sebagai official development assistance (ODA) alias utang bersyarat lunak: departemen luar negeri, keuangan, MITI, dan Badan Perencanaan Ekonomi atau Bappenasnya Jepang. Pekan silam, Seiichi Okawa, Kepala Biro TEMPO di Tokyo, berhasil mewawancarai Koichiro Matsuura, 51 tahun, Dirjen Biro Kerja Sama LN Deplu Jepang. Suatu instansi kunci untuk pembagian ODA Jepang. Beberapa petikan: Bagaimana ceritanya hingga Jepang tampil sebagai pemberi pinjaman nomor satu di dunia, termasuk untuk beberapa negara di luar Benua Asia? Semula beleid pinjaman luar negeri dari Jepang memang lebih terpusat pada kawasan Asia. Tapi mengingat Jepang kemudian tumbuh sebagai raksasa ekonomi, maka datang pula permintaan dari negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Pemerintah Jepang pun merasa tanggung jawabnya semakin meluas. Senangkah Anda melihat hubungan bilateral Indonesia-Jepang belakangan ini? Ya, secara keseluruhan tampak berjalan bagus. Pemerintahan Soeharto memegang teguh beleid ekonominya. Untuk mengimbangi jatuhnya harga minyak, pemerintah ternyata mampu meningkatkan ekspor nonmigas. Hubungan dagang antara Indonesia dan Jepang pun semakin baik. Demikian pula hubungan antara PM Takeshita dan Presiden Soeharto. Kabarnya, PM Takeshita akan berkunjung ke Indonesia bulan Mei mendatang. Fenar. Dan saya percaya kedua negara akan memetik manfaat dari pertemuan puncak antara kedua pemimpin itu. Anda telah bicara lama dengan Prof. Widjojo dalam kunjungan babak keduanya baru-baru ini. Apa kesan Anda? Wah, saya kagum padanya. Dia pandai menjelaskan keadaan ekonomi di Indonesia saat ini. Menurut Widjojo, upaya diversifikasi yang dilakukan pemerintahnya sudah maksimum. Dia, misalnya, menjelaskan upaya pemerintah untuk sebisa mungkin menarik penghasilan dari pajak. Dia juga menjelaskan berbagai tindakan deregulasi ekonomi. Misalnya, membuka pintu lebih lebar bagi investasi asing yang ingin mendirikan industri ekspor, seperti di Korea Selatan dan Taiwan. Pertemuan untuk kedua kalinya dengan Profesor Widjojo -- yang pertama berlangsung Januari tahun ini -- semakin meyakinkan saya bahwa perekonomian Indonesia sedang menuju ke arah yang baik. Apakah itu berarti permintaan utang Indonesia yang baru untuk tahun ini akan diluluskan? Itu memang masih dalam proses pembicaraan. Soalnya, menurut Widjojo, utang Indonesia yang tadinya diperkirakan US$ 5,2 milyar, kemudian membengkak menjadi US$ 7,1 milyar akibat yendaka dan apresiasi beberapa mata uang kuat Eropa, misalnya DM. Jadi, yang masih harus ditambal adalah selisih US$ 1,9 milyar tadi. Hal ini juga telah dikemukakan Presiden Soeharto kepada PM Takeshita di Tokyo bulan lalu. Ada yang bilang, Indonesia paling sedikit membutuhkan pinjaman yang sama dengan tahun lalu, yakni US$ 2,3 milyar. Benarkah? Tentang berapa angkanya harap Anda mau bersabar. Masalahnya masih harus dirundingkan dengan Bank Dunia, sebagai anggota utama kelompok IGGI. Lalu, pemerintah Jepang akan mengutus sebuah tim 6 orang ke Jakarta, antara lain terdiri dari masing-masing kepala seksi urusan bantuan LN dari Deplu, Depkeu, MITI dan Badan Perencanaan Ekonomi, pada 26 Maret ini. Mereka akan membahas permintaan bantuan program dan proyek secara kongkret. Apakah jumlah pinjaman untuk tahun ini akan diumumkan ketika PM Takeshita berkunjung ke Indonesia Mei nanti? Tidak mesti demikian. Bagi kami, yang penting adalah mengecek terlebih dahulu secara lebih kongkret mengenai rencana bantuan program dan proyek. Baru kemudian angka bantuan bisa diputuskan. Indonesia tentu menginginkan agar jumlah bantuan program lebih besar dari bantuan proyek. Tapi kabarnya Jepang lebih suka kalau porsi bantuan proyek yang lebih besar. Benarkah? Begini. Anda harus ingat, semua bantuan yang diberikan Jepang kepada Indonesia, apakah itu berupa program atau proyek, adalah pinjaman berjangka panjang, dengan bunga yang rendah. Tapi bukankah tujuan pemberian pinjaman itu adalah untuk menolong agar negeri penerima bisa melakukan usaha mereka sendiri, tanpa banyak ikatan dari negara pemberi? Prinsipnya memang demikian. Dan kredit yen sebesar US$ 1,4 milyar yang kami setujui untuk diberikan kepada pemerintah Indonesia tahun lalu adalah berupa valuta asing, yang juga dikenal sebagai local currency cost financing. Kenapa prinsip tersebut tak dipegang teguh dalam praktek? Anda harus tahu bahwa Indonesia merupakan penerima bantuan program terbesar dari Jepang. Negeri lain, seperti RRC, tak mengenal bantuan seperti itu. Benarkah ada permintaan dari Indonesia agar menghitung nilai utang berdasarkan kurs yen -- dolar ketika pinjaman itu dibuat? Sama sekali tidak ada permintaan seperti itu. Masalah tersebut adalah risiko dari kurs valuta asing yang bisa berubah-ubah. Dahulu kan pernah terjadi yenyasu (nilai yen yang menurun melawan dolar AS). Kami terpaksa mengeluarkan yen lebih banyak untuk membeli barang-barang impor. Bisakah dikatakan bahwa bantuan hibah (grant) dari Jepang untuk Indonesia dalam tahun ini akan lebih besar dari tahun yang lalu? Saya kira demikian. Pemberian hibah dalam tahun lalu juga lebih besar dari tahun sebelumnya. Ketika itu, di tahun 1987, hibah dari Jepang seluruhnya berjumlah 16 milyar yen. Separuh dari jumlah tersebut berupa hibah untuk bantuan di bidang teknologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini