Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
VITALITAS selalu muncul setiap kali seseorang berada dalam kerumunan massa. Juga di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat hari-hari ini. Ini yang memberi keterangan mengapa gerakan mahasiswa dan protes-protes besar selalu memikat. Dengan berada di dalam massa, manusia menikmati perasaan alamiah atas hancurnya ketakutan terhadap jarak dan keterasingan.
Selama ini kita salah paham memahami massa. Pangkalnya adalah dalil-dalil pandangan aristokrat Prancis, Gustave Le Bon, dan pakar psikologi Sigmund Freud. Le Bon mengatakan, “To know the art of impressing the imagination of crowds is to know at the same time the art of governing them.... Isolated, he may be a cultivated individual; in a crowd, he is a barbarian—that is, a creature acting by instinct.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sinisme Le Bon tentang massa merefleksikan pandangan golongan elite yang melihat massa sebagai status mental inferior, menjijikkan, dan mengancam. Ia meyakini massa adalah kelompok yang tidak mampu berpikir sendiri, sehingga cara terbaik mendekatinya adalah dengan mengendalikannya. Sementara itu, Freud melihat massa sebagai gejala regresi ke masa silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandangan Le Bon dan Freud mendasari kebanyakan ilmuwan sosial yang melihat massa lebih sebagai instrumen politik: teori demokrasi dengan jengah mencoba menghaluskan massa menjadi warga. Kaum Marxis dan populis mengandalkan massa sambil merendahkannya.
Baru setelah terbitnya karya Elias Canetti, Masse und Macht, di tahun 1960 muncul pandangan tentang massa yang lebih positif. Canetti mengawali bukunya dengan kalimat: There is nothing that man fears more than the touch of the unknown.... Man always tends to avoid physical contact with anything strange. In the dark, the fear of unexpected touch can mount to panic. Secara alamiah manusia tumbuh dalam rasa takut. Tidak ada yang lebih menakutkan manusia ketimbang sentuhan dari sesuatu yang tak dikenali.
Manusia hidup dengan menanggung beban jarak. Perimeter merupakan mekanisme alamiah yang dibangun untuk mengatasi ketakutannya terhadap yang “asing”. Dengan itu, keinginan untuk menjadi sendiri sebagai pribadi adalah persoalan densitas, bukan persoalan ideologis sebagaimana yang seiring dibebankan dalam konsep “individualisme”. Dari sini Canetti menjelaskan pentingnya massa.
Dengan sedikit paradoks ia mengungkapkan: It is only in a crowd that man can become free of this fear of being touched.... As soon as a man has surrendered himself to the crowd, he ceases to fear its touch. Ideally, all equal there; no distinctions count not even that of sex. Gejala massa adalah satu-satunya kondisi ketika manusia mampu terbebaskan dari rasa takut akan intervensi dari sesuatu yang datang dari luar dan tak dikenali. Hanya dalam massa, beban atas jarak diluruhkan dan manusia bisa mengatasi rasa takutnya.
Pengalaman bersama massa mengungkapkan beberapa ciri mendasar. Pertama, dalam massa, manusia merasakan kesamaan atau kesetaraan. Kedua, dalam massa, individu bisa mengatasi ketakutannya. Dengan itu, massa mengembalikan vitalitas dan simbol kehidupan. Ketiga, dengan tumbuhnya perasaan setara dan hilangnya rasa takut, bersama massa merupakan wujud transformasi individu.
Transformasi itu ditegaskan secara lebih jauh dengan munculnya kecocokan antara perasaan nyaman secara psikologis dan pertumbuhan massa secara organis. Makin besar massa, makin nyaman individu di dalamnya. Hingga pada akhirnya tercapai momen terkuat dari massa yang disebut Canetti dengan istilah “the discharge”, yakni kondisi ketika “all belong to the crowd get rid of their differences and feel equal”.
Musuh terbesar massa adalah kuasa. Sementara massa menghasilkan densitas, kuasa menghasilkan jarak. Kerja kuasa dapat diumpamakan permainan “perintah untuk kabur” (dan untuk ditangkap lagi) kucing versus tikus. Dalam permainan itu, kucing sengaja memberi tikus kesempatan untuk lari sebelum ia menerkam dan melahap si tikus. Dari metafora ini, kuasa senantiasa mensyaratkan proksimitas yang kemudian diakhiri dengan pembekuan melalui kekerasan dan kematian.
Dengan metafora itu, Canetti memperingatkan betapa bahaya diktator-diktator yang terobsesi pada pemusatan kekuasaan. Kuasa memberikan kapasitas bagi mereka untuk bertindak sebagai Tuhan.
Namun diktator bukanlah Tuhan. Canetti mendefinisikannya sebagai seorang paranoid. Mempertahankan kekuasaan adalah hal yang paling penting baginya, tapi pada saat yang sama seorang diktator mendapat kesan selalu ada di bawah ancaman.
Penguasa yang paranoid selalu ingin mengendalikan rakyatnya dengan memonopoli keputusan ekstrem tentang hidup dan mati rakyatnya. Bagi mereka, yang paling aman dan sempurna adalah bila rakyat rela mati demi sang diktator—baik dalam perang, di kamp konsentrasi, maupun melalui pemberlakuan vonis hukuman mati.
Sifat-sifat Thanos dalam kekuasaan hanya bisa dikalahkan oleh kebersamaan di dalam massa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo